Gempa
Jakarta
Daryono ; Kepala Bidang Informasi
Gempa Bumi dan
Peringatan Dini Tsunami,
BMKG
|
KOMPAS,
30 Januari
2018
Mungkin kita tidak akan pernah tahu bahwa
Jakarta dulu pernah luluh lantak akibat gempa jika Arthur Wichmann tidak
menyusun katalog sejarah gempa Indonesia pada tahun 1918. Gempa dahsyat
Jakarta—kala itu masih bernama Batavia—terjadi pada malam hari, tanggal 5
Januari 1699. Batavia mengalami bencana gempa bumi yang tidak pernah terjadi
sebelumnya dan tak pernah dibayangkan.
Willard A Hanna dalambukunya, Hikayat
Jakarta, menggambarkan lebih detail dampak gempa yang terjadi. Dikisahkan
bahwa citra Batavia yang dijuluki ”Ratu Timur” menjadi pudar setelah
diguncang peristiwa gempa dahsyat tersebut. Guncangan gempa yang terjadi
digambarkan amat mengerikan karena disertai letusan gunung api dan hujan abu
tebal. Dampak gempa disebutkan menimbulkan kerusakan parah di seluruh penjuru
kota, bahkan menyebabkan kacaunya persediaan air bersih di Batavia akibat
porak-porandanya sistem aliran air di seluruh kota.
Batavia ternyata tidak sekali itu diguncang
gempa berskala besar. Dalam catatan Wichmann berikutnya disebutkan bahwa pada
tanggal 22 Januari 1780 Batavia kembali diguncang gempa kuat yang merusak.
Beberapa sumber menyebutkan gempa ini merobohkan Observatorium Mohr, yaitu
observatorium pertama di Batavia yang dibangun pada 1765.
Sayangnya, kedua catatan peristiwa bencana
di Jakarta tersebut kini sudah dilupakan banyak orang. Bahkan, dalam
literatur kajian bahaya gempa bumi kita, kejadian tersebut jarang disebut.
Lebih dari dua abad lamanya di Jakarta
tidak terjadi gempa kuat yang merusak. Artinya, hampir empat generasi pemukim
di Jakarta tidak pernah mengalami peristiwa gempa dahsyat seperti yang pernah
terjadi sebelumnya. Hal ini tampaknya mampu membangun sebuah anggapan bahwa
wilayah Jakarta merupakan kawasan aman gempa bumi. Apalagi, hingga kini belum
ada bukti yang sahih mengenai keberadaan sumber gempa di wilayah Jakarta.
Anggapan Jakarta aman gempa ternyata salah.
Pada tanggal 23 Januari 2018, gempa berkekuatan M 6,1 mengguncang Jakarta.
Semua orang dibuat kaget dan tersadar, ternyata Jakarta juga tidak aman
gempa. Dan, satu hal penting untuk dicatat, pusat gempa tersebut ternyata
bersumber di Samudra Hindia, sebuah tempat yang jaraknya lebih dari 150
kilometer dari Jakarta.
Kuatnya guncangan gempa membuat semua warga
panik. Mereka gagap karena tidak tahu harus berbuat apa. Kini terbukti,
ternyata warga Jakarta tidak siap menghadapi gempa. Mereka banyak yang belum
tahu langkah tepat saat di dalam rumah ataupun gedung bertingkat. Apakah
harus memaksakan diri lari keluar atau cukup mencari tempat aman di dalam
rumah? Apakah tetap bertahan di lantai gedung tempat mereka tinggal atau
harus turun gedung lewat tangga?
Bingung dan panik justru dapat membahayakan
keselamatan saat krisis. Sekali ini dapat dimaklumi karena selama ini warga
Jakarta selalu berhadapan dengan banjir ketimbang gempa, tetapi ke depan
warga Jakarta harus siap menghadapi gempa.
Gempa di selatan Banten lalu sebenarnya
memberikan pesan penting kepada warga Jakarta dan sekitarnya bahwa sumber
gempa dari jauh pun dapat jadi ancaman bagi Jakarta. Gempa kemarin hanya
berkekuatan M 6,1, sementara hasil kajian terbaru Pusat Studi Gempa Nasional
menunjukkan bahwa zona subduksi selatan Jawa Barat dan Banten mampu memicu
gempa dengan kekuatan M 8,7. Jika itu terjadi, wilayah Jakarta akan terdampak
guncangan dengan intensitas VI-VII MMI (Modified Mercally Intensity), yang
artinya Jakarta berpotensi mengalami kerusakan.
Warga Jakarta harus memahami kesiagaan
meskipun di Jakarta tidak terdapat sumber gempa karena Jakarta dapat
diguncang gempa kuat dari sumber gempa sesar aktif di Jawa Barat dan Banten.
Juga ancaman sumber gempa zona subduksi lempeng di Samudra Hindia.
Kini saatnya warga Jakarta dan sekitarnya
harus memulai edukasi mitigasi bencana agar lebih memahami bahaya gempa bumi
dan cara menghadapinya. Kegiatan sosialisasi yang melibatkan para ahli dapat
dilakukan di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, perkantoran, dan di
masyarakat. Aspek keamanan bangunan juga harus diperhatikan. Perlu ada audit
bangunan dan gedung bertingkat serta perlunya dilakukan penguatan jika
ditemukan bangunan yang tidak memenuhi standar aman gempa bumi.
Ke depan, warga Jakarta sepatutnya menerima
kenyataan akan adanya potensi bahaya gempa. Kondisi alam yang kurang
”bersahabat” ini tentu harus diterima sehingga mau tidak mau, suka tidak
suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai penduduk yang
tinggal dan menumpang di batas pertemuan lempeng tektonik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar