Pilkada
dan Independensi Organisasi Guru
Ari Kristianawati ; Guru SMAN 1 Sragen
|
KOMPAS,
31 Januari
2018
Tahapan pilkada serentak telah dimulai
dengan pendaftaran bakal calon pasangan kepala daerah. Itu akan berlanjut
kepada tahapan yang lebih krusial dengan melibatkan dukungan massa secara
riil.
Berbagai kandidat calon kepala daerah
beserta pasangan telah mengatur strategi menggalang dukungan masyarakat.
Dukungan masyarakat itu tergabung dalam ormas, paguyuban, perhimpunan atau
serikat.
Organisasi yang memiliki keanggotaan dalam
jumlah besar menjadi incaran para kompetitor pilkada untuk dijadikan basis
dukungan melalui kontrak politik. Kontrak politik yang muatannya mengakomodasi
aspirasi dan usulan organisasi tersebut dengan imbalan mengerahkan anggotanya
untuk memilih kompetitor pilkada tertentu.
Salah satu organisasi besar yang punya
ikatan identitas dan solidaritas kolektif adalah organisasi guru. Organisasi
guru dalam perhelatan momen elektoral, seperti pemilu presiden (pilpres),
pemilu legislatif (pileg), dan pilkada, sering mendapat tawaran kontrak
politik. Bahkan, ada organisasi guru yang dalam momentum pilpres kelihatan
arah dukungan politik kepada capres tertentu. Arah dukungan politik yang
dikondisikan oleh elite organisasi guru yang dijanjikan jabatan strategis di
pemerintahan.
Organisasi guru saat ini tak hanya
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang jumlah anggotanya jutaan orang
dan memiliki struktur organisasi sampai tingkat kecamatan, bahkan satuan
kerja di sekolah negeri dan swasta. Ada juga organisasi guru di luar PGRI
yang juga eksis dalam menjalankan kiprahnya, yakni Ikatan Guru Indonesia,
Federasi Serikat Guru Indonesia, Federasi Guru Independen Indonesia, dan
lainnya.
Organisasi guru memang menarik minat
politisi dan calon kepala daerah untuk diajak kerja sama politik dalam agenda
pilkada. Organisasi guru dianggap sebagai kekuatan politik dengan basis massa
yang riil yang memiliki pengaruh di kalangan pemilih pemula (siswa) dan
masyarakat. Guru harus diakui masih menjadi sosok sosiokultural yang
pendapatnya memiliki daya persuasi bagi masyarakat, sehingga ketika guru dan
organisasi guru menjatuhkan pilihan politik pada kontestan pilkada tertentu,
akan mampu memengaruhi persepsi, opini, dan pilihan politik kelompok
masyarakat yang lain.
Soliditas organisasi guru dalam memenangkan
tokoh tertentu dalam panggung demokrasi elektoral sudah teruji. Organisasi
guru seperti PGRI sukses mengantarkan ketua umum PGRI menjadi anggota DPD.
Organisasi guru juga signifikan dalam menggalang dukungan suara untuk tokoh
tertentu dalam momentum elektoral semacam pilgub, pilpres, dan pileg.
Meskipun upaya penggalangan dukungan tidak dilakukan secara terang-terangan,
sinyal kontrak politik yang dijalin oleh organisasi guru cukup menjadi
petunjuk arah pilihan politik para guru.
Tak
etis
Secara etika organisasi profesi guru tidak
etis terjebak dalam ikatan politik praktis. Organisasi guru bukan organisasi
politik partisan, melainkan organisasi profesi dengan label kesamaan
identitas yang memiliki visi-misi dan filosofi yang berbeda dengan organisasi
yang lain. Apalagi organisasi profesi guru yang anggotanya mayoritas
berstatus aparatur sipil negara (ASN) adalah tak boleh melakukan kegiatan
politik praktis. ASN, sesuai UU dan peraturan, tak boleh terlibat dalam
kegiatan politik praktis.
Lantas apa untungnya organisasi guru
berpolitik? Organisasi guru tidak akan mendapatkan keuntungan ketika
cawe-cawe atau terlibat dalam agenda pilkada, pileg, atau pilpres. Yang
untung adalah elite pengurus
organisasi guru yang jelas dijanjikan jabatan, posisi, dan materi. Bagi
anggota organisasi guru, mereka tidak mendapatkan keuntungan ekonomis, politis,
ataupun posisi strategis. Toh, harus diakui, kesejahteraan guru saat ini
sudah lumayan baik semenjak diterapkan program sertifikasi dan remunerasi ala
daerah.
Para guru memang sebaiknya bersikap netral.
Para guru bisa menyalurkan hak pilih kepada kontestan pilkada yang dianggap
memiliki program bagus. Namun, organisasi guru tidak boleh melakukan
politisasi kebijakan atau keputusan organisasi untuk mendukung kontestan
tertentu dalam pilkada. Sangat disayangkan jika organisasi guru berpolitik
praktis dengan menggunakan label legitimasi anggotanya.
Independensi dalam agenda elektoral seperti
pilkada jauh lebih berguna bagi organisasi guru. Organisasi guru jika ingin
mengajukan usulan program dan gagasan bisa diserahkan sebagai ”petisi” atau
aspirasi kepada seluruh kontestan di dalam momen pilkada. Penting bagi
organisasi guru untuk menjaga soliditas internal yang terbebas dari hasrat
politik praktis. Organisasi guru harus mampu menempatkan diri sebagai
kekuatan penekan (the pressure group) terhadap kebijakan pendidikan yang
tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Demikian organisasi guru menjadi
kekuatan acuan (the reference group) untuk mengembangkan visi-misi, etika,
dan rencana aksi keprograman di bidang pendidikan yang berkualitas.
Menjadi kekuatan penekan dan kekuatan
acuan, organisasi guru harus menjaga jarak dengan kepentingan politik
partisan. Namun, organisasi guru tetap mengajukan resolusi keprograman untuk
dijadikan bahan (input) kebijakan politik pendidikan para calon kepala
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar