Mengawal
Isu LGBT pada RUU KUHP
Agus Riewanto ; Pengajar Fakultas Hukum
dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
Surakarta
|
REPUBLIKA,
23 Januari
2018
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
pemerintah tengah membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU KUHP). Salah satu substansi yang menjadi perhatian publik adalah
soal pengaturan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang hendak
dimasukkan ke dalam materi dalam RUU KUHP ini. (Republika, 22/1).
Dalam draf RUU KUHP ini akan diperluas
makna ketentuan Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (pemerkosaan), dan Pasal 292
(pencabulan) sebagaimana tertuang dalam KUHP produk Belanda yang masih
diberlakukan hingga saat ini. Ketiga pasal ini telah diujimaterialkan
(judicial review) oleh sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar MK
memberikan tafsir, bahwa LGBT dapat dikenai pidana sebagaimana perbuatan
zina, pemerkosaan, dan pencabulan sebagai bukan delik aduan dan merupakan
delik pidana murni.
Namun, MK melalui amar Putusan No
46/PUU-XIV/2016 menolaknya, karena perluasan jenis delik pidana bukan
merupakan kewenangannya, karena telah memasuki wilayah kebijakan pembuatan tindak
pidana baru yang kewenangannya ada pada pembentuk undang-undang, yaitu DPR
dan presiden.
Itulah sebabnya inisiatif DPR dan presiden
yang hendak memasukkan isu LGBT ke dalam RUU KUHP ini merupakan langkah
positif dalam rangka merespons putusan MK tersebut, sekaligus merespons
harapan publik yang menghendaki LGBT sebagai delik pidana baru dalam sistem
hukum pidana di Indonesia. Namun, yang perlu dicermati secara kritis delik
anti-LGBT dalam draf RUU KUHP ini sebatas pelarangan LGBT untuk anak-anak di bawah
usia 18 tahun, bukan untuk semua orang.
Dalam draf RUU KUHP Pasal 492 menyatakan,
setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sesama
jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan
belas) tahun, dipidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun.
RUU
KUHP Repetisi KUHP
Jika dibaca secara cermat sesungguhnya
ketentuan draf Pasal 492 RUU KUHP ini perancangnya hanya melakukan
ekstensifikasi yang parsial, bukan imparsial atau holistik. Karena dalam
ketentuan draf Pasal 492 RUU KUHP ini tidak membuat delik pidana LGBT untuk
orang dewasa.
Draf Pasal 492 RUU KUHP ini hanya sebatas
melindungi anak-anak dengan memperjelas definisi anak, yaitu berusia di bawah
18 tahun, tapi tidak cukup kuat komitmennya dalam melindungi moralitas
bangsa, karena tidak melarang perbuatan LGBT untuk orang dewasa yang
disamakan dengan perbuatan zina dalam ketentuan Pasal 284 dan Pasal 285 KUHP
yang pernah dimintakan uji materi ke MK.
Artinya, draf Pasal 492 RUU KUHP ini
hanyalah merepetisi bunyi ketentuan Pasal 292 KUHP yang menyatakan, “Orang
yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama
kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Perancang draf RUU KUHP ini belum memiliki
komitmen kuat mengatur anti-LGBT secara imparsilitas atau holistik,
sebagaimana disuarakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia, yang menghendaki
KUHP yang baru nanti dapat mengatur secara komprehensif tentang larangan
delik LGBT.
Seharusnya, DPR dan pemerintah lebih
aspiratif untuk mendengar dan merasakan denyut nadi suara publik yang
menghendaki LGBT, sebagai delik yang dilarang secara tegas dengan aneka
pengaturan yang lebih komprehensif dari sekadar merepitisi ketentuan Pasal
292 KUHP.
Pengaturan
komprehensif
Untuk menunjukkan komitmen DPR dan
pemerintah anti-LGBT dalam RUU KUHP ini seharusnya diatur beberapa hal,
antara lain:
Pertama, perlunya diatur bahwa perbuatan
LGBT merupakan delik pidana baru yang setara dengan perbuatan zina, sehingga
dapat menjerat semua orang, baik anak-anak maupun dewasa jika melakukan
perbuatan LGBT dapat dipidana. Dengan demikian, konsekuensi ketentuan Pasal
284 (perzinaan) dalam KUHP juga harus diubah dengan menempatkan perbuatan
zina berlaku untuk semua orang tanpa harus harus menunggu ada pihak yang
dirugikan dengan eksepsional, salah satunya harus telah bersuami atau
beristri, tapi juga berlaku untuk mereka yang LGBT dan non-LGBT.
Kedua, perlunya mempertegas perbuatan LGBT
merupakan delik pidana absolut bukan delik pidana aduan. Sehingga siapa pun
yang melakukan perbuatan LGBT dapat ditangkap oleh aparatur hukum tanpa harus
menunggu aduan masyarakat. Karena acap kali masyarakat takut melaporkan
perbuatan LGBT ini, bahkan yang lebih tragis lagi korban perbuatan LGBT ini
juga tak berani melaporkan kepada aparat hukum.
Ketiga, perlunya diatur tentang pelarangan
aneka kegiatan yang terkait dengan penyokong LGBT, mulai dari penyebaran
konten video LGBT yang harus dikategorikan sebagai pornografi, unjuk rasa di
depan umum yang dimaksudkan untuk mendukung LGBT, hingga perbuatan ciuman
dilakukan sesama jenis di depan umum dapat dikenai pidana.
Ketegasan RUU KUHP untuk melarang perbuatan
LGBT dalam politik kriminal di Indonesia ini penting dilakukan, karena ada
sejumlah kalangan, terutama pihak asing yang meminta agar LGBT ini diatur
dalam UU organik khusus LGBT. Jika permintaan ini disetujui DPR dan
pemerintah, justru akan membahayakan moralitas bangsa, karena dengan
dimasukkan LGBT dalam UU khusus akan berdampak pada pengakuan eksistensi LGBT
di dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Itulah sebabnya isu-isu mengenai LGBT ini
cukup diatur secara komprehensif di dalam satu UU saja, yaitu bagian dari KUHP.
Dengan cara ini, akan kian jelas arah penegakan hukum pidana, karena semua
persoalan delik pidana yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan bersifat
fundamental cukup diatur dalam kodifikasi KUHP bukan di undang-undang
organik.
DPR dan pemerintah tak perlu takut dari
tekanan dan intervensi asing untuk menegaskan pengaturan kebijakan tentang
anti-LGBT ini di dalam sistem hukum Indonesia. Ini dilakukan melalui
pengesahan draf RUU KUHP menjadi KUHP pengganti KUHP lama produk kolonial
Belanda, yang telah ketinggalan zaman dalam merespons perkembangan delik
pidana pada era milenial ini.
Keberanian DPR dan pemerintah yang
anti-LGBT ini sekaligus untuk menegaskan, setiap negara memiliki kekhasan
dalam sistem hukumnya, karena sesungguhnya hukum adalah suara rakyat
(volkgeits). Jika mayoritas rakyat menghendaki anti-LGBT, sudah seharusnya
DPR dan pemerintah mendengarkannya dengan cara membentuk produk undang-undang
baru, yang sesuai dengan keinginan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar