Ancaman
Politik Uang di Pilkada
Asrinaldi A ; Dosen Ilmu Politik
Universitas Andalas
|
KOMPAS,
26 Januari
2018
Salah satu kekhawatiran
dalam pemilihan kepala daerah serentak gelombang ketiga ini adalah semakin
maraknya politik uang. Bagaimana tidak, dari awal pencalonan saja sudah ramai
diperbincangkan bagaimana partai politik meminta sejumlah uang kepada
calon. Hitungan tersebut berdasarkan
berapa jumlah kursi yang mereka miliki di DPRD sebagai syarat pencalonan
dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Tidak ada cara bagi calon kepala daerah kecuali harus menyiapkan uang
mahar ini jika ingin didukung, berikut uang untuk kampanye dan bahkan uang
untuk pemilih. Uang untuk pemilih
inilah yang sering dikaitkan dengan praktik politik uang yang akan disebar
menjelang pencoblosan.
Hampir setiap perhelatan
demokrasi elektoral yang melibatkan massa selalu ditemukan praktik politik
uang. Sebagian calon kepala daerah
memang menyandarkan pada strategi politik uang ini untuk mendapatkan suara
pemilih. Hanya dengan membagi-bagi
uang kepada pemilih dan meminta komitmen mereka untuk memilih satu aktivitas
pilkada, yaitu kampanye tidak perlu dilakukan oleh calon kepala daerah. Artinya, dengan politik uang, calon kepala
daerah tidak perlu lagi bekerja keras menjual ide dan gagasan mereka untuk
meyakinkan pemilih agar sudi memilihnya.
Apalagi tak semua calon kepala daerah memiliki kemampuan komunikasi
yang baik dengan massa agar memilihnya.
Sulitnya menghentikan
praktik politik uang ini tidak lepas dari berkembangnya budaya politik
subyektif di Indonesia. Realitas ini
dapat dilihat dari menguatnya hubungan patron-klien di tengah masyarakat. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan
budaya patron-klien tersebut. Karena
itu, tak mengherankan ada korelasi yang kuat antara budaya klientelisme ini
dengan perilaku politik uang yang marak setiap pilkada.
Dalam studinya, Tomsa dan
Ufen (2013:2-3) menjelaskan klientelisme ini dapat dipraktikkan dalam bentuk
tradisional seperti hubungan personal antar-individu ke bentuk modern yang
mengalami transformasi ke bentuk anonim dan hubungan yang sistematis. Menariknya, praktik ini juga melibatkan
partai politik dalam pola-pola organisasi yang formal.
Karena itu, tak
mengherankan klientelisme ini menyebabkan munculnya perilaku koruptif elite
politik ini dengan relasi patron-klien yang dibangun dengan
pendukungnya. Apalagi dalam pilkada,
ketika elite politik butuh dukungan massa yang banyak untuk memenangi pemilihan,
pilihannya adalah menghubungi para broker politik yang ada di setiap daerah
pemilihan yang dapat menggalang dukungan untuknya. Tentu dukungan tersebut tidak gratis.
Berkembangnya budaya
klientelisme ini tidak terlepas dari berkembangnya budaya dalam masyarakat
yang mengakui kedudukan elite yang menjadi pengayom dan harus dipatuhi. Apalagi dalam masyarakat pedesaan, budaya
klientelisme ini berkembang subur sehingga jadi sasaran politik uang. Jarang sekali politik uang yang dilakukan
calon kepala daerah menyasar masyarakat yang tergolong pada strata
menengah. Umumnya, yang disasar adalah
mereka yang berada pada strata bawah.
Sebab, kelompok masyarakat ini tidak memiliki pengetahuan dan efikasi
politik sebagaimana kelompok menengah yang kritis pada ide dan gagasan calon.
Upaya
pencegahan
Selain itu, budaya
klientelisme ini juga jadi bagian keseharian masyarakat sehingga sulit bagi
penyelenggara pilkada menghentikan praktik politik uang tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat, politik
uang yang dilakukan elite adalah rezeki yang datang kepada mereka sehingga
tidak perlu ditolak. Jadi, menurut
mereka, menerima uang dari calon kepala daerah adalah sesuatu yang
wajar. Malah, praktik bagi-bagi uang
dalam kampanye pilkada menjadi harapan masyarakat karena mereka memang butuh
uang.
Patut disayangkan, adanya
budaya seperti ini memang telah membuka ruang bagi calon kepala daerah untuk
memanfaatkannya. Dengan mengandalkan
uang yang banyak, calon kepala daerah berusaha membeli dukungan masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan apabila
demokrasi elektoral yang dilaksanakan diwarnai transaksi politik yang justru
mengurangi kualitas pilkada.
Jelas harus ada upaya
untuk mencegah praktik politik uang ini agar tidak berkembang, apalagi
sengaja dibiarkan. Dengan hanya
mengandalkan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) untuk menghentikan praktik politik uang ini, jelas tidak akan
efektif.
Sebenarnya, dalam jangka
pendek, mencegah praktik politik uang dapat dilakukan dengan aktif
menyosialisasikan ancaman sanksi pidana bagi penerima politik uang, serta
pembatalan pencalonan bagi calon kepala daerah yang melakukannya. Sayangnya, sosialisasi mengenai sanksi
pelaku politik uang yang diatur oleh UU No 10/2016 tentang Pilkada masih
banyak yang belum diketahui oleh calon kepala daerah, juga masyarakat sebagai
pemilih.
Bahkan, parpol yang
diharapkan bisa mendiseminasikan aturan main dalam pilkada malah tidak begitu
peduli dengan bahaya politik uang yang dilakukan oleh calon yang mereka
usung. Sepertinya parpol lebih fokus
memenangkan kandidatnya dengan cara apa pun, termasuk melalui politik
uang. Perilaku seperti ini kian
menegaskan rendahnya akuntabilitas partai politik sebagai pilar demokrasi
dalam mengembangkan pilkada yang berkualitas.
Sementara solusi jangka
panjang juga harus terus diupayakan oleh masyarakat kelas menengah yang
menjadi penghubung relasi kekuasaan yang ada dalam pilkada. Kelas menengah harus terus menyuarakan
bagaimana membangun relasi politik yang rasional di antara individu-individu,
baik sebagai elite maupun massa. Hal
ini dimaksudkan agar budaya klientelisme yang sudah jadi tradisi masyarakat
secara berangsur-angsur dapat dikurangi.
Menghilangkan budaya
klientelisme ini tidak saja mencegah praktik politik uang, tetapi juga
mengurangi perilaku dominatif, manipulatif, dan koruptif kepala daerah
setelah terpilih. Upaya ini memang tak
mudah. Namun, sepanjang niat dari
elite itu ada, politik uang sesungguhnya bisa dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar