Musim
Semi Persuasi
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
|
KOMPAS,
24 Januari
2018
Ragam aktivitas persuasi bersemi tahun ini.
Persuasi membuncah dalam wajah publisitas, kampanye, propaganda, dan
kerja-kerja kehumasan politik seiring dengan perhelatan pilkada serentak di
171 daerah.
Kandidasi telah usai, ditandai raihan tiket
usungan partai politik atau gabungan parpol saat masuk ke gelanggang
pertarungan. Setelah fase pendaftaran, ada penetapan pasangan calon (paslon)
resmi yang akan mengikuti kontestasi. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum
(KPU), terdapat 573 paslon yang mendaftar sebagai ”petarung” di Pilkada 2018.
Rinciannya, 443 paslon dari jalur parpol dan 130 dari jalur perseorangan.
Sebanyak 569 paslon diterima pendaftarannya, sedangkan empat ditolak.
Tahap berikutnya, masa kampanye 15
Februari-23 Juni 2018. Praktiknya, musim semi persuasi sudah dimulai saat
ini, terlihat dari gencarnya kampanye tersamar dengan beragam strateginya.
Semua pelaku kampanye, dari kandidat, tim
sukses, tim relawan, mesin partai, hingga konsultan, sangat menyadari bahwa
masa kampanye merupakan fase krusial di tengah suasana kompetitif. Hal ini
selaras dengan pandangan Gary A Mauser dalam bukunya , Political Marketing: An
Approach to Campign Strategy (1983), bahwa pemasaran politik merupakan
upaya memengaruhi perilaku massa (mass behavior) dalam situasi kompetitif.
Kandidat sibuk mencari ”tempat” dalam persepsi khalayak dan menggerakkan
perubahan perilaku memilih di lapis sosiologis, psikologis, ataupun rasional.
Targetnya dapat hasil suara sebanyak-banyaknya di TPS.
Namun, kampanye harus diletakkan tak semata
sebagai upaya meraup suara dengan menghalalkan segala cara. Akan tetapi,
harus dibingkai tanggung jawab politik guna menjaga kualitas kontestasi
elektoral tanpa terjebak pada cara kampanye predatoris mengerikan! Kampanye
dalam pilkada tidak semata dimaknai sebagai skema prosedural, tetapi juga
harus menjaga etos demokratik, seperti nilai ketaatan atas hukum dan keadaban
politik.
Kampanye sejatinya aktivitas persuasi.
Dalam tulisan Richard Perloff, The Dynamics of Persuasion, Communication and
Attitudes in the 21st Century (2010), komunikasi persuasif adalah proses
simbolik ketika komunikator mencoba meyakinkan orang lain untuk mengubah
sikap atau perilaku mengenai masalah tertentu lewat transmisi pesan, dalam
suasana pihak yang dipersuasi memiliki pilihan bebas.
Harus diingat oleh semua pihak yang
berkampanye, persuasi selalu melibatkan dua komponen. Pertama, komponen
argumentasi karena sejatinya basis komunikasi persuasif adalah model
rasional. Ada pesan simbolik yang diarahkan
untuk memengaruhi khalayak sasaran, dengan tujuan membentuk (shaping),
memperkuat (reinforcing), atau mengubah (changing) pemilih dengan
argumentasi. Komponen lainnya dalam komunikasi persuasif adalah pilihan bebas
(free choice). Pemilih menerima pesan persuasi dalam kesukarelaan untuk
menerima, menolak, atau tak berkomitmen apa pun. Jadi, sangatlah mengherankan
jika ada strategi kampanye yang bersifat intimidatif atau koersif.
Koersi merupakan teknik memaksa orang untuk
bertindak yang mungkin bertentangan dengan preferensi mereka. Biasanya menggunakan
ancaman dan beberapa konsekuensi buruk jika pihak lain tak melakukan yang
menjadi tuntutan pelaku. Teknik koersif inilah yang kerap menunjukkan wajah
bopeng kampanye elektoral. Kampanye predatoris adalah kampanye yang
”memangsa” orang lain secara semena-mena, menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan suara dan yakin dengan doktrin siapa kuat dialah yang menang,
tanpa mengindahkan aturan dan keadaban.
Modus
kampanye predatoris
Ada empat modus utama kampanye predatoris
yang sering ditemukan. Pertama, kampanye yang mengeksploitasi isu berdaya
ledak tinggi, seperti isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Eksploitasi diarahkan dengan mengintimidasi pemilih lewat beragam cara.
Misalnya, larangan menshalatkan jenazah bagi pendukung salah satu kandidat,
persekusi atau perburuan warga yang mengampanyekan salah satu pasangan lawan,
ujaran kebencian (hate speech), sweeping atau parade dari kampung ke kampung,
dari keluarga ke keluarga dengan menebar ancaman atas nama isu SARA. Kampanye
model ini mengeksploitasi mental bigot, yakni seseorang yang memiliki dasar
pemikiran, siapa pun yang tidak memiliki kepercayaan yang sama dengannya
adalah orang atau kelompok yang salah.
Kedua, kampanye lewat pembunuhan karakter
lawan (character assassination). Caranya, menebar fitnah, rumor, dan gosip
yang menjatuhkan lawan tanpa bukti. Kampanye menyerang (attacking campaign)
itu sebenarnya tidak semua salah. Ada kampanye negatif yang menyerang pihak
lain dengan data yang bisa diverifikasi, terbuka sumbernya, bisa
diperdebatkan dan dilengkapi data yang menguatkannya. Kampanye jenis ini
sah-sah saja. Sementara kampanye hitam menyerang pihak lain dengan fitnah,
hoaks, dan gosip yang disebar secara masif, sumbernya anonim, tak bisa
dipertanggungjawabkan. Kampanye ini tidak mengindahkan aturan hukum dan
etika. Terlebih, saat ini dimudahkan teknologi media sosial yang memudahkan
pesan diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan lewat kanal-kanal warga.
Kandidat pun banyak yang tergoda
menggunakan jasa buzzer, pasukan siber, yang menjadi para ”pembunuh” bayaran
yang siap menerima order menghabisi karakter lawan. Bisnis gelap pembunuhan
karakter ini menjadi lebih dahsyat jika terjadi persekongkolan sempurna
antara kandidat, buzzer di media sosial, oknum pekerja, dan pemilik media
arus utama yang meresonansikan isu menjadi realitas yang dikonstruksi sebagai
seolah-olah kebenaran. Perlu diingat, hipotesis Alexis S Tan dalam bukunya,
Mass Communication Theories and Research (1981), bahwa meningkatnya nilai
penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting
topik itu di khalayak. Kalau pembunuhan karakter yang ditonjolkan media,
seperti televisi, koran, radio atau media daring, dianggap sebagai kebenaran,
betapa rusaknya demokrasi kita.
Intimidasi
politik kartel
Ketiga, kampanye predatoris yang mewujud
dalam bentuk intimidasi politik kartel. Saat kampanye, pelaku menutup akses
hulu ke hilir dari persaingan sehat dan adu gagasan. Misalnya, banyak
kandidat petahana yang menguasai akses birokrasi, struktur jaringan sosial
tradisional, seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dan jaringan
preman. Selama masa kampanye, dia melancarkan intimidasi kepada aparatur
sipil negara yang tak mendukungnya dengan ancaman tak menaikkan pangkat,
golongan, ancaman pemindahan, dan lain-lain. Intimidasi dan pembatasan ruang
juga dilakukan kepada tim sukses pihak lain dengan membatasi ruang gerak
mereka saat berkampanye ke kantong-kantong pemilih.
Keempat, kampanye yang disponsori
penunggang bebas (free rider) kekuasaan. Para penunggang bebas itu adalah
pengusaha yang berkepentingan dengan sumber-sumber ekonomi, baik proyek
maupun sumber daya alam di daerah yang akan dimenangi kandidat. Para kandidat
bersponsor ini menerima gelontoran dana sangat besar yang digunakannya untuk
memersuasi pemilih lewat politik uang selama kampanye dan membeli suara (vote
buying). Di saat bersamaan, dia siapkan mekanisme intimidasi ke pemilih untuk
memastikan kemenangan. Jelas gelontoran dana investor tidak gratisan. Jika
dia menang, akan sangat merusak daerah dan masyarakat yang dipimpinnya.
Saatnya semua pihak mewaspadai, mengawasi,
dan melaporkan guna membatasi ruang gerak praktik kampanye predatoris ini.
Kampanye berkualitas akan membuat pilkada serentak kita naik kelas. Sebuah
kerugian jika kita terus-menerus dalam labirin kekuasaan dan terperangkap
dalam mekanisme prosedural bohong-bohongan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar