Terbukanya
Rahasia Bank
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan dan
Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS,
26 Januari
2018
Tamat sudah era
kerahasiaan bank saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1/2017 disahkan menjadi UU Nomor 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan
untuk Kepentingan Perpajakan, pada 23 Agustus 2017. Bagaimana bank harus
menyikapi aturan anyar itu?
Lahirnya UU tersebut
terkait dengan perjanjian pertukaran informasi keuangan otomatis atau
automatic exchange of financial account information (AEoFAI) yang didukung
sepenuhnya oleh negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), termasuk Indonesia.
Secara ringkas, UU itu
bertujuan menyediakan jalan tol kepada Kementerian Keuangan, khususnya
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk mengintip data dan informasi nasabah
bank, pasar modal, serta perasuransian. Hal itu termasuk pula lembaga jasa
keuangan lain dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga
keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian
internasional perpajakan.
Dengan bahasa lebih
bening, DJP tidak perlu lagi minta persetujuan menteri keuangan dan pihak
lain, seperti Bank Indonesia (BI), untuk memperoleh akses data dan informasi
nasabah di industri keuangan. Sebelumnya, dan sesuai Pasal 41 UU No 7/1992
tentang Perbankan, “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia
atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada bank agar memberi keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta
surat-surat tentang keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada
pejabat pajak”.
Hal itu dipertegas pada
Pasal 42A yang menitahkan “Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42”.
Bagaimana hasil penerimaan
pajak sepanjang 2017? Sampai akhir 2017, realisasi penerimaan pajak mencapai
Rp 1.339,8 triliun atau 91 persen. Warta yang menyejukkan. Kalau tak
mempertimbangkan hasil program Pengampunan Pajak, penerimaan pajak 2017
tumbuh 12,6 persen dibandingkan dengan 2016. Ini penerimaan pajak tertinggi
selama 3 tahun terakhir. Pada 2015, penerimaan pajak hanya tumbuh 8,2 persen
dengan pencapaian 83,3 persen. Pada 2016, dengan Pengampunan Pajak, juga cuma
tumbuh 3,6 persen dengan pencapaian 83,5 persen.
Aneka
langkah strategis
Lantas, langkah strategis
apa saja yang patut diambil?
Pertama, bank mau tak mau
wajib melakukan sosialisasi dan edukasi kepada nasabah plus investor.
Prioritas pertama untuk nasabah prima (prime customers), yakni nasabah
korporasi, menengah, nasabah tajir perorangan, seperti wealth management.
Langkah itu layak
dilakukan mengingat nasabah jenis itu menjadi tulang punggung dana dan kredit
perbankan. Lantaran bank berfungsi sebagai intermediasi keuangan (financial
intermediary) antara nasabah yang memiliki dana dan yang membutuhkan kredit.
Sosialisasi dan edukasi diharapkan sanggup menekan berbagai resistensi berupa
kekhawatiran dan ketakutan.
Tentu saja, bank merasa
cemas jangan-jangan nasabah akan lari ke lain hati alias hengkang ke luar
negeri. Namun, bila negeri itu sudah “meratifikasi” perjanjian pertukaran
informasi keuangan (AEoFAI), tidak akan ada masalah. Artinya, percuma nasabah
lari ke luar negeri. Namun, apakah hal itu perlu dikhawatirkan? Selama ini
boleh dikatakan hampir tak ada nasabah prima bank yang lari ke luar negeri
terkait program Pengampunan Pajak yang berakhir Maret 2017. Dengan bahasa
lebih lugas, nasabah bank tak perlu risau dengan keterbukaan rahasia bank
jika memang tak memiliki masalah.
Kedua, dalam sosialisasi
dan edukasi, bank perlu juga menyampaikan kepada nasabah dan investor bahwa
bank dapat terkena sanksi. Tegasnya, pimpinan bank yang menolak memberikan
laporan atau tak melakukan verifikasi data bisa dipidana kurungan paling lama
satu tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Namun, selama ini industri
perbankan nasional telah diatur secara ketat (highly regulated) untuk
mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. Semangat itu terpatri dalam
asas kepatuhan (compliance).
Ketiga, terbitnya UU itu
akan membuat UU lain berubah karena dihapusnya pasal beberapa UU seperti UU
No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No 7/1992
tentang Perbankan, UU No 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No 21/2008 tentang
Perbankan Syariah, dan UU No 10/2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditas.
Meningkatkan
pengawasan
Akan tetapi, keempat,
jangan lupa bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, harus
menjamin bahwa data dan informasi nasabah tak digunakan untuk kepentingan di
luar perpajakan. Jangan sampai keterbukaan informasi justru disalahgunakan
dengan memanfaatkan jabatan dan wewenang yang berujung terjadinya kecurangan
(fraud), termasuk korupsi.
Bagaimana terjadinya
fraud? Ada teori segitiga kecurangan (fraud triangle) yang menurut Dr Donald
Cressey terdiri atas tiga elemen: motif (motive), kesempatan (opportunity),
dan rasionalisasi (rationalization). Motif adalah alasan seseorang melakukan
fraud. Bisa berupa keserakahan, balas dendam, tekanan keluarga, kecanduan
judi dan minuman, kebutuhan mendesak, dan utang selangit. Untuk itu, bisa
saja pejabat tinggi sudah mandi harta setiap hari, masih juga melakukan
fraud. Itu terjadi lantaran perilaku serakah.
Kesempatan merupakan
lingkungan yang mendukung dalam melaksanakan fraud. Umumnya, kesempatan itu
bersumber dari tingkat jabatan, posisi, kewenangan atau otoritas seseorang.
Audit internal yang kurang baik akan kian memperlonggar lahirnya kesempatan
bagi seseorang untuk berbuat fraud.
Adapun yang dimaksud
dengan rasionalisasi adalah bagaimana pelaku fraud melakukan justifikasi
(pembenaran) perilaku yang tak layak itu. Dengan bahasa lebih bening,
rasionalisasi merupakan sebab yang menjelaskan mengapa perilaku seseorang
berbeda motif dengan orang lainnya. Oleh karena itu, ketika pelaku fraud
telah melakukan rasionalisasi terhadap perbuatannya, ia tetap merasa tidak
bersalah sekalipun tertangkap basah. Bahkan, ia berani menyatakan tidak
pernah menerima uang, 1 sen pun tidak (Paul Sutaryono, infobanknews.com, 3
Mei 2017).
Inspektorat Jenderal Pajak
harus meningkatkan pengawasan semua jajaran di DJP. Upaya itu bertujuan
mempersempit elemen kesempatan pada segitiga fraud sehingga tidak melahirkan
fraud.
Kelima, Inspektorat
Jenderal Pajak pun dapat memberikan penghargaan (reward) kepada karyawan yang
berani menjadi peniup peluit (whistler blower) ketika diduga terjadi fraud.
Kiat ini manjur mengingat setiap karyawan akan saling mengawasi sesama
karyawan, bawahan atauatasan. Rasanya selama ini kasus korupsi di bidang
perpajakan hanya berhenti sampai eselon III, seperti kasus Gayus Tambunan
pada 2010 yang, meski berstatus tahanan, masih bisa menonton pertandingan
tenis di Pulau Dewata. Hal itu menyiratkan pengawasan masih tajam ke bawah,
tumpul ke atas.
Maka, tidak mengherankan
ketika muncul kasus suap oleh manajemen puncak BUMN, seperti PT Garuda
Indonesia yang disusul PT PAL Indonesia pada awal 2017. Itu menyiratkan bahwa
peran komisaris sebagai pengawas perlu lebih ditingkatkan. Hal ini sekaligus
menegaskan BUMN kian dituntut lebih profesional. Jangan sampai BUMN menjadi
sapi perah (cash cow) kelompok tertentu. Gejala itu diprediksi akan muncul
pada tahun politik 2018 ini dengan adanya 171 pilkada. Komisi Pemberantasan
Korupsi tak boleh lengah sehingga perlu dibangun perwakilan KPK di semua
provinsi. Masyarakat pun perlu mengawal Mahkamah Konstitusi supaya tidak
menjadi benteng terakhir dalam memenangi pilkada.
Demikian pula Badan Pemeriksa
Keuangan yang mengaudit Kementerian Keuangan sudah seharusnya terus
meningkatkan pengawasan. Kasus “perdagangan” Opini Wajar Tanpa Pengecualian
yang melibatkan pejabat BPK dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi pada Mei 2017 hendaknya jadi pelajaran berharga.
Peningkatan pengawasan amat diperlukan untuk menjamin data dan informasi di
industri keuangan dipakai hanya untuk kepentingan perpajakan.
Mengingat informasi pajak
itu berkaitan dengan industri keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan dituntut ikut mengawasi jalannya Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Pertukaran Informasi Berdasarkan
Perjanjian Internasional yang diundangkan 6 Maret 2017. PMK itu merupakan
tindak lanjut perppu tersebut. Pengawasan prima sangat diharapkan dapat
mengawal UU, PMK, dan aturan turunannya sekaligus mendorong Indonesia naik
kelas dari kategori yurisdiksi partially compliant ke largerly compliant.
Dengan begitu, pemerintah
bisa menggali lebih banyak sumber penerimaan pajak. Industri keuangan,
terutama perbankan, pun tetap dipercaya pemangku kepentingan meskipun rahasia
bank sudah terbuka sedemikan rupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar