Jaringan
LGBT dan Advokasi yang Keliru
Naupal ; Peneliti dan Pengajar
Filsafat Agama di Universitas Indonesia (UI)
|
REPUBLIKA,
24 Januari
2018
Fenomena LGBT di Indonesia sungguh sangat
memprihatikan. Menurut survey CIA (2015), jumlah populasi LGBT di Indonesia
adalah kelima terbesar di dunia setelah Cina, India, Eropa, dan Amerika.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2012, ada setidaknya 1.096.970 gay di
Indonesia.
Data statistik terakhir mengatakan, tiga
persen penduduk Indonesia adalah gay. Itu berarti ada pertumbuhan 10 persen
gay di Indonesia setiap tahunnya. Terlepas dari teori LGBT itu natural
(kodrati) atau konstruksi sosial dan lingkungan, fenomena ini sangat
memalukan di negara yang menganut ideologi Pancasila dan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perilaku seks yang menyimpang menurut
ajaran agama ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh jaringan LGBT tingkat
global, proyek sekularisme, dan advokasi yang keliru. Advokasi atas komunitas
LGBT selama ini, baik di tingkat lokal maupun global, dengan berbagai
fasilitas dana dan jaringan media informasinya tidak memberikan solusi final,
tapi malah menumbuhsuburkan, bahkan melegalkannya sebagai gaya hidup dan
pilihan dari masyarakat plural yang bebas.
Proyek
sekularisme
Jaringan LGBT yang cukup luas tidak bisa
dilepaskan dari pandangan dunia yang sekuler. Salah satu proyek sekularisme
dalam bidang moral adalah melepaskan ikatan ajaran dan norma agama dalam
berperilaku dan gaya hidup. Sekularisme berusaha sedapat mungkin mendalilkan
konsep baik dan buruk berdasarkan kesepakatan dan konstruksi bersama.
Artinya, baik dan buruk perilaku adalah
berdasarkan kontrak sosial, bukan lagi berdasarkan dalil agama. Agama
dianggap sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Dengan mengikuti teori konstruksi sosial
Berger dan Luckmann, yang meyakini bahwa realitas tak lain adalah hasil
ciptaan manusia melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di
sekelilingnya, maka pandangan heteroseksual yang selama ini dianggap natural
dan normal adalah konstruksi masyarakat yang terus-menerus dibentuk, sehingga
mempunyai pesan simbolis yang mapan dan diperkuat lagi dengan dalil agama.
Pada tingkat ini manusia menciptakan dunia
dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang
menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta
memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Dengan dalih itu dan sejalan dengan
perkembangan zaman, paham sekuler mengamini teori konstruksi sosial. Bahwa
tidak ada yang sifatnya esensial dan mutlak, semuanya adalah relatif dan
disepakati berdasarkan konstruksi sosial.
Pandangan yang menyatakan LGBT adalah
abnormal, sakit mental, atau bahkan perilaku yang menyimpang dari kodrat
kemanusiaan adalah pandangan yang usang dan tidak lagi sesuai dengan dunia
kontemporer, yang mengusung kehendak bebas dan penghargaan pada pilihan
eksistensial individu masing-masing.
Kaum sekuler menolak klaim universalisme
dan absolutisme moral. Bahwa hanya ada satu ajaran moral yang menuntun dan
membimbing arah moral seseorang dalam menjalani hidup ini, seperti agama dan
tradisi.
Dalam hubungannya dengan komunitas LGBT,
sekularisme mendukung setiap individu untuk mengekspresikan dan
mengaktualisasikan pilihan kehendak dirinya, untuk menjadi gay, lesbi, atau
apa pun kehendaknya, tanpa boleh ada pihak mana pun yang menghalanginya, yang
disebutnya sebagai basic rights atau fundamental rights yang melekat pada
diri setiap orang. Dengan ini dikatakan, homoseksual bukanlah suatu
penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang
didasarkan pada tindakan pilihan setiap orang.
Upaya untuk menghalangi atau
mendeskriminasi pilihan hidup seseorang dianggap sebagai penodaan dan
penghinaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Bagi sekularisme tidak ada
lagi batasan moralitas, tapi yang ada adalah nihilisme moral, segalanya
serbaboleh.
Melihat realitas sosial tidak lain adalah
konstruksi sosial yang dikreasikan oleh individu, maka individulah yang
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya.
Dengan dalih itu, kampanye untuk membebaskan individu dari ikatan moral agama
yang selama ini menjadi penghalang kaum liberalisme dan sekularisme untuk
mengegolkan cita-citanya, yaitu nihilisme moral dan kebebasan individual
menjadi corong sekularisme, untuk mengafirmasi keberadaan LGBT atas nama HAM
dan perjuangan antidiskriminasi.
Afirmasi atas komunitas ini diperjuangkan
dengan berbagai jaringan dana dan media yang kuat, baik di tingkat lokal
maupun global. Targetnya adalah rekognisi, legitimasi, dan legalisasi atas
praktik-praktik LGBT oleh negara.
Di Indonesia setidaknya ada dua LSM yang
berorientasi pada advokasi terhadap LGBT di Indonesia. Pertama, Gaya Warna
Lentera Indonesia (GWL-INA) yang bermitra dengan 119 organisasi yang terkait
dengan gay langsung atau tidak langsung di 28 provinsi. Kedua, LGBTIQ
Indonesia yang merupakan subordinasi dari LGBTIQ dunia, yang berurusan dengan
komunitas perilaku seksual yang aneh-aneh.
Usaha mereka mencapai sukses besar di
beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat (26/06/2015) dan Australia
(15/11/2017). Jaringan LGBT di Indonesia juga cukup masif menyuarakan hal
yang sama. Dan sangat memprihatikankan sekali jika konstruksi moralitas ala
liberalisme dan sekularisme dengan slogan “HAM dan antidiskriminasi” berhasil
menggantikan konstruksi moral, yang bersumber dari ajaran-ajaran agama dan
tradisi yang sudah mengakar kuat di bumi Indonesia.
Advokasi
keliru
Berkembangnya pemahaman sekularisme yang
memaknai kebebasan sebagai pilihan eksistensial manusia yang merdeka di dunia
barat, berdampak pada tercerabutnya kodrat manusia dari norma-norma ajaran
agama dalam perilaku sehari-hari, termasuk di dalamnya perilaku seksual.
Awalnya LGBT dianggap sebagai penyakit
mental, bahkan pada abad ke-19, American Psychiatric Assosiation (APA)
menganggapnya sebagai mental disorder. Kemudian pada tahun 1952, diagnosis
para psikiater dan Statistik Manual of Mental Health (DSM) di Amerika
menetapkan bahwa homoseksual adalah “gangguan kepribadian sosiopat”.
Pada tahun 1968, kaum homoseksual
dinyatakan sebagai pelaku “penyimpangan seksual”, begitu juga pada tahun
1973, homoseksual dinyatakan sebagai “penyakit mental”. Namun, setelah tahun
1973, melalui American Psychiatric Association, kaum homoseksual tidak lagi
dinyatakan “berpenyakit mental”. Karena adanya tuntutan dan tekanan dari
komunitas LGBT dan kampanye antidiskriminasi atas kemanusiaan, akhirnya
American Psychiatric Association menghapus homoseksualitas dari DSM
berdasarkan hasil voting, bukan berdasarkan hasil riset ilmiah.
Hakikatnya, seperti yang dikatakan oleh
Charles W Socarides, homoseksualitas itu bukan hanya merupakan bawaan sejak
lahir (kodrat/natural/genetik) yang jumlahnya sangat kecil. Tapi karena
dikonstruksi oleh lingkungan dan akhirnya menjadi gaya hidup dan pilihan
secara sadar.
W Socaridas menolak genetis menjadi faktor
penyebab utama LGBT, karena terbukti ada faktor lingkungan yang juga dapat berpengaruh
terhadap seseorang untuk menjadi LGBT. Berdasarkan itu, advokasi atas
komunitas LGBT harus untuk menyembuhkan mereka, bukan melegitimasi dan
melegalisasinya. Namun, advokasi atas LGBT saat kini menjadi salah dan
keliru, karena adanya klaim LGBT bukan suatu masalah pada dirinya.
Dalih HAM dan antidiskriminasi sering kali
menjadi selubung untuk advokasi komunitas LGBT. Memang advokasi dalam batas
antidiskriminasi dan antikekerasan adalah suatu tujuan luhur, tapi sebaiknya
diikuti dengan solusi bukan malah legitimasi dan legalisasi, karena komunitas
LGBT bagai virus yang siap memangsa generasi muda bangsa. Pertumbuhan pesat
komunitas gay di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masifnya advokasi yanng
keliru selama ini.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim
mayoritas dan yang mendasarkan negaranya atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah
seharusnya negara dengan segala fasilitas yang dimilikinya mengadvokasi
komunitas LGBT, dengan memandangnya sebagai korban yang harus diselamatkan
sebelum jatuhnya ribuan korban generasi bangsa berikutnya. Caranya untuk
penanganan korban dengan merehabilitasi mereka ke “rumah rehabilitasi” lewat
berbagai pendekatan yang manusiawi dengan tidak melupakan sisi kebatinan dari
si korban.
Dari sisi legalitas, diperlukan kontrak
sosial mayoritas komponen bangsa untuk terus menyuarakan “anti-LGBT” kepada
DPR dan Pemerintah untuk membendung masifnya kampanye mereka yang akan
melegitimasi perilaku LGBT. Dari sisi pencegahan, diperlukan langkah
strategis dan terencana dengan melibatkan unsur Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
(PDSKJI), Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dengan memasukkan pendidikan seks yang sesuai dengan ajaran agama dan tradisi
ketimuran, dalam kurikulum pendidikan agama di sekolah tingkat menengah dan
tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar