Sudah
Dua Kali, Lalu Bagaimana?
Suparman Marzuki ; Dosen Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
|
KOMPAS,
24 Januari
2018
Jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejatinya
tak boleh disandang orang dengan kualifikasi biasa-biasa saja. Jabatan
mahapenting itu seharusnya berada di pundak mereka yang memiliki integritas
dan kompetensi yang tidak disangsikan sedikit pun.
Untuk menemukan hakim yang memiliki
integritas dan kompetensi, dapat dilacak dari perjalanan hidup pribadi,
karier, dan intelektual seseorang. Mereka yang terpilih menduduki jabatan
mulia itu pun barulah sosok yang dipercaya untuk sementara, sampai dibuktikan
di ujung pengabdian bahwa ia lolos ujian dan berhasil menjalankan amanah itu
tanpa cacat.
Itu artinya setiap hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) masih berstatus dipercaya untuk sementara waktu. Sepanjang
waktu ia menjabat, ujian akan datang setiap saat, baik yang berasal dari luar
dirinya maupun dari dirinya sendiri.
Ada banyak ragam ujian integritas hakim.
Misalnya, suap untuk memainkan perkara, menyembunyikan konflik kepentingan
dalam penanganan perkara, dan menegosiasikan kasus secara diam-diam atau
terbuka untuk kepentingan mendapatkan jabatan kembali di masa depan. Ada juga
menjual pengaruh, menyalahgunakan kedudukan dan jabatan untuk kepentingan
pribadi, menceritakan perkara yang sedang ditangani kepada orang yang menjadi
pihak dalam sengketa, mengeluarkan kata-kata tidak patut, dan sebagainya.
Ujian-ujian kepercayaan telah terjadi dan
menimpa hakim-hakim MK terdahulu. Ada yang lolos ujian dan khusnul khotimah
dalam jabatan, ada yang gagal. Yang pertama terjadi pada 2011, diuji dengan
permainan perkara dan gagal lalu mundur sebagai hakim MK. Ujian kedua lebih
berat dan memalukan, menimpa Ketua MK Akil Mochtar: terkena operasi tangkap
tangan KPK lalu dipecat dan dipenjara. Ujian ketiga menimpa Patrialis Akbar
yang juga kena OTT KPK, mundur dan berakhir di penjara.
Belum lagi kepercayaan masyarakat pulih
akibat peristiwa-peristiwa itu, MK kembali tercoreng oleh sanksi etik yang
dijatuhkan Dewan Etik MK terhadap hakim sekaligus Ketua MK Arief Hidayat
untuk yang kedua kalinya. Sanksi yang dijatuhkan Dewan Etik kepada Arief,
jika diukur dengan jabatan, posisi, perbuatan, dan tindakan pengulangan yang
ia lakukan, sanksi yang pertama—apalagi yang kedua—jelas terlalu ringan.
Pada perbuatan pertama, Dewan Etik MK
menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua MK Arief Hidayat karena sang ketua
penjaga konstitusi itu membuat katebelece yang tidak pantas dilakukan. Dewan
Etik menyatakan, hakim Arief Hidayat dinyatakan melakukan pelanggaran ringan
terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi dengan sanksi teguran lisan.
Pada tindakan kedua, Dewan Etik MK kembali
menyatakan Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran kode etik atas
pertemuannya dengan sejumlah anggota Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza,
Jakarta Pusat, dan, karena itu, Arief dijatuhi sanksi ringan. Dewan Etik
menilai perbuatan itu merupakan pelanggaran etik karena sebagai Ketua MK
seharusnya Arief memberikan contoh dan teladan dalam memenuhi kode etik serta
senantiasa menjaga marwah wibawa MK.
Jadilah
sosok kesatria
Pertanyaan etisnya, apakah seorang hakim
yang telah terbukti melanggar etika dan dijatuhi sanksi sebanyak dua kali
masih etis untuk terus menjadi hakim, apalagi menjadi ketua lembaga terhormat
penjaga konstitusi itu? Kalau mau
dijawab jujur, dengan akal sehat dan nurani yang peka, seharusnya yang
bersangkutan menyatakan berhenti sebagai hakim MK.
Arti penting berhenti atau mundur bisa
dipersepsikan dalam dua aspek. Pada dimensi personal, tindakan mundur
bukanlah aib atau cela, melainkan tindakan etis dan kesatria sebagai wujud
hormat dan patuh kepada etika dan sumpah jabatan yang pernah diucapkan. Dari
sisi institusi, mundur adalah cara terbaik yang bisa dilakukan Arief dalam
memulihkan kepercayaan dan kehormatan MK sebagai penjaga konstitusi. Tindakan
kesatria semacam itu sekaligus membangun tradisi bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukan demi kehormatan, kepercayaan, dan kewibawaan MK.
Kita mesti terus berkaca dari tradisi
mundur bangsa lain. Park Hee Tae,
Kepala Parlemen Korea Selatan, mundur karena disebut melakukan
penyuapan untuk mendapatkan jabatan sebagai kepala partai. ”I say to the people
that I’m sorry,”kata Park melalui pernyataan tertulis yang dibacakan juru
bicara dalam konferensi pers pada 2012. Awal Januari 2016, Menteri Ekonomi
Jepang Akira Amari mundur karena tuduhan menerima suap dari sebuah perusahaan
konstruksi. Meski belakangan terbukti yang ”bermain” adalah anggota stafnya.
Jabatan hakim tentulah lebih mulia
dibandingkan semua jabatan sosok-sosok yang mundur dari jabatan di atas. Akan
tetapi, mereka berhasil membebaskan diri dari cengkeraman hasrat tinggi untuk
terus berkuasa dengan memilih memuliakan diri dan institusi dengan menyatakan
mundur dari jabatan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar