Kerja
Sama Indo-Pasifik
Aleksius Jemadu ; Guru Besar Politik
Internasional Universitas Pelita Harapan
|
KOMPAS,
30 Januari
2018
Dalam kunjungannya ke India dan Pakistan
baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan kepada kedua tuan rumah
mengenai pentingnya membangun ekosistem perdamaian, stabilitas, dan
kesejahteraan yang dikenal dengan ide kerja sama Indo-Pasifik.
Ide ini bukanlah sesuatu yang baru karena
pada 2013 sudah pernah disampaikan mantan Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa. Tujuan awalnya adalah keinginan Indonesia agar interaksi
negara-negara di lingkar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik tidak
dikendalikan oleh hasrat mencapai keseimbangan kekuatan atau balance of power,
tetapi dynamic equilibrium atau
keseimbangan yang dinamis, dengan mengakomodasi kepentingan semua negara
besar. Apa motivasi Indonesia menghidupkan kembali wacana kerja sama
Indo-Pasifik ini?
Dinamika
regional
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu
digambarkan konteks perkembangan politik internasional di kawasan Asia
Pasifik, di mana minimnya pengaturan keamanan regional yang efektif dapat menimbulkan miskalkulasi dan eskalasi
yang berisiko tinggi.
Pertama, krisis senjata nuklir Korea Utara
yang praktis bisa menjangkau daratan Amerika Serikat (AS) serta sekutunya,
baik Jepang maupun Korea Selatan, belum menemukan solusi permanen yang
memuaskan semua pihak. Memang saat ini ada peredaan ketegangan dalam hubungan
Pyongyang dan Seoul melalui kesediaan Korea Utara berpartisipasi dalam
Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, 9-25 Februari 2018. Akan tetapi, hal ini
belum menjadi jaminan bahwa rezim Kim Jong Un di Korea Utara akan melucuti
senjata nuklirnya. Bahkan ada yang menduga, sikap kooperatif ini hanya untuk
meringankan beban sanksi ekonomi oleh Dewan Keamanan PBB.
Kedua, China tampaknya semakin sensitif
terhadap setiap upaya dari pihak luar untuk mempermasalahkan kontrol de
facto-nya atas beberapa pulau yang disengketakan di Laut China Selatan.
Bahkan, baru-baru ini bersamaan dengan kunjungan Menteri Pertahanan AS Jim
Mattis ke Indonesia dan Vietnam, China memprotes keras adanya kapal perusak
AS, USS Hopper, yang dituding masuk Laut China Selatan karena dianggap
melanggar kedaulatan negara itu. Kendati AS di bawah Presiden Donald Trump
lebih memprioritaskan kebijakan dalam negeri, ada juga niat untuk
diikutsertakan dalam kerja sama dengan Indonesia dan Filipina untuk menjaga
keamanan di sekitar Laut Natuna. Bisa diduga bahwa selain ingin mendukung
penumpasan terorisme di perairan Filipina Selatan, AS juga ingin membangun
akses untuk memantau lebih dekat ke wilayah sengketa di Laut China Selatan.
Ketiga, nuansa persaingan antara India dan
China sebagai dua raksasa Asia semakin terasa dan keduanya sama-sama melirik
potensi ASEAN, baik sebagai entitas politik maupun ekonomi yang semakin
penting. India semakin menyadari ketertinggalannya dibandingkan China dalam
memanfaatkan pertumbuhan daya beli kelas menengah di ASEAN. Misalnya, pada
tahun 2015, volume ekspor China ke ASEAN sudah mencapai sekitar 139 miliar
dollar AS, sedangkan India baru sekitar 39 miliar dollar AS
(www.aseansec.org). Ketika merayakan 25 tahun kemitraan India-ASEAN, Perdana
Menteri Narendra Modi menekankan kebijakan Act East Policy yang antara lain
bertujuan mengintensifkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara ASEAN.
Dua
konsep kerja sama
Urgensi kerja sama Indo-Pasifik yang
inklusif, sesuai usul Indonesia, semakin mendesak karena sudah mulai
dirasakan gejala polarisasi dua konsep kerja sama di kawasan ini. Pertama,
dalam tur ke Asia pada November tahun lalu, Presiden Donald Trump melontarkan
gagasan kerja sama Indo-Pasifik versi AS, yang intinya menyatukan
negara-negara demokrasi di kawasan ini, seperti India, Australia, dan Jepang,
untuk mengimbangi dominasi China yang semakin kuat.
Dalam perkembangan selanjutnya, menghadapi
ancaman nuklir Korea Utara, Australia dan Jepang sedang mempersiapkan
pembentukan pakta militer yang tentu saja menimbulkan kecurigaan di pihak
China (Kompas, 19 Januari 2018). India juga tidak tinggal diam. Seorang
analis strategis India dari South Asia Analysis Group, Subhash Kapila, bahkan
mengusulkan segera dibentuknya Indo-Pacific Treaty Organization (IPTO),
meniru pola NATO di Eropa. Ini demi mengimbangi kebijakan China yang tampil
agresif mulai dari Laut China Selatan sampai perbatasan dengan India di
Pegunungan Himalaya (http://www.indiandefencereview.com).
Kedua, konsep kemitraan atau kerja sama
versi China di kawasan Indo-Pasifik agak berbeda karena lebih mengutamakan
instrumentalisasi perdagangan dan investasi melalui implementasi gagasan Satu
Sabuk Satu Jalur (OBOR). Beijing sudah memperhitungkan bahwa semua negara di
kawasan ini pasti tergiur dengan kekuatan pasar China dan sumber daya
finansial yang dimilikinya. Seorang diplomat dari Kedutaan Besar China di
Jakarta, Wang Liping, memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan total
impor barang dan jasa China akan melampaui 10 triliun dollar AS (Kompas, 27
Januari 2018).
Sikap
Indonesia
Menghadapi dinamika kawasan di lingkar
Indo-Pasifik seperti yang diuraikan di atas, sangat masuk akal apabila
Indonesia sebagai kekuatan konstruktif dan moderat di Asia, serta sejalan
dengan prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif, mempromosikan kerja sama
Indo-Pasifik yang inklusif, terbuka, dan komprehensif. Konsep ini diharapkan
bisa diterima semua pihak karena tidak mengutamakan kontestasi kekuatan
(struggle for power), tetapi membangun ekosistem perdamaian, stabilitas, dan
kemakmuran.
Tentu saja ini suatu inisiatif kebijakan
luar negeri yang positif. Dengan catatan, ini harus diimbangi dengan upaya
peningkatan kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan kerja sama yang ada demi
pembangunan nasional. Bagaimanapun, dalam hal yang terakhir ini, kita sangat
tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di lingkungan ASEAN. Semoga! ●
|
Kualitas artikel kamu bagus gan.. aku suka baca artikel kamu.. seperti artikel peduliayam.com dengan link :
BalasHapushttps://peduliayam.com/2019/06/21/melatih-ayam-teknik-pukul-atas-menjadi-teknik-full-kontrol/