Rabu, 31 Januari 2018

Trilogi Supermoon dan Siklus Banjir Jakarta

Trilogi Supermoon dan Siklus Banjir Jakarta
Gentio Harsono  ;  Dosen Universitas Pertahanan RI
                                            MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2018



                                                           
FENOMENA langka yang dikenal dengan trilogi supermoon diprediksi para ahli ilmu falak terjadi di Indonesia, puncaknya pada Rabu (31/1). Peristiwa itu langka karena peristiwa ini hanya terjadi dalam siklus 150 tahunan. Bulan akan berada pada titik terdekat dengan bumi (perigee). Bersamaan dengan itu, posisi bumi-bulan-matahari yang berada pada satu garis lurus menyebabkan gerhana bulan total mulai awal hingga tengah malam selama 3 jam 23 menit. Pengamat di bumi pun akan melihat bulan 30% lebih besar dan 14% lebih terang daripada purnama biasanya. Pasang tinggi air laut yang selama ini menjadi penyebab banjir rob di pesisir Jakarta patut mendapat perhatian oleh penduduk Jakarta Utara yang sering kali terpapar banjir rob. Teori gravitasi Newton (1642-1727) yang kemudian diturunkan formula matematikanya oleh Laplace (1749-1822) telah menghitung gaya tarik bulan-matahari terhadap bumi saat mencapai titik maksimumnya.

Pengaruh gravitasi bulan ialah paling dominan terhadap gaya penggerak pasang surut ini. Matahari hanya berkontribusi separuh kekuatan bulan. Tentu saja karena jarak bumi-bulan jauh lebih dekat daripada jarak bumi-matahari meski massa matahari jauh lebih besar daripada bulan. Artinya bahwa pada event trilogi supermoon ini, kedudukan air pasang akan mencapai titik lebih tinggi daripada biasanya.

Rob dan pasang surut

Banjir rob pesisir Jakarta dan pantai utara Jawa umumnya tidak lepas dari peristiwa periodik harian yang disebut dengan pasang surut. Meski bagi masyarakat pesisir Jakarta rob merupakan peristiwa normal dan rutin, rob selama lebih dua dasawarsa terakhir telah terjadi perubahan siklus dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas dari tahun ke tahun. Alasan utamanya tentu mengacu ke dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan pesisir, penurunan muka tanah, dan pemanasan global yang turut meningkatkan ancaman bencana terhadap penduduk Kota Jakarta. Sekarang siklus rob pun tidak lagi mengenal musim, bisa saja terjadi saat hujan maupun kemarau. Ini pertanda curah hujan bukanlah faktor utama yang menyebabkan fenomena rob.

Keunikan karakter hidrologi Jakarta pun turut mendukung. Pada periode tertentu luapan banjir datang dari hulu dan hilir dalam waktu sama. Lumpuhnya Jakarta akibat banjir sudah sering terjadi dan berulang pada jeda waktu yang berbeda-beda. Tentu kita masih ingat banjir di 2002, 2007, dan 2013 saat kiriman air deras datang dari wilayah atas di wilayah Bopuncur yang kerap terjadi ketika puncak curah hujan tinggi pada awal tahun. Sekarang perubahan iklim telah nyata berdampak pada meningkatnya pasokan air ini. Tren jumlah hari hujan di Indonesia menurun, tapi frekuensi hujan maksimum harian justru meningkat, menyebabkan tingginya debit air sungai secara ekstrem pada saat-saat tertentu.

Land subsidence

Masalah utama meningkatnya dampak rob ialah penurunan tanah (land subsidence) yang terjadi luar biasa di pesisir Jakarta. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jakarta (2010) menyebut 40% wilayah Jakarta berupa dataran rendah dengan ketinggian berada di bawah muka air laut pasang 1-1,5 meter. Bahkan, hasil penelitian oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL pada 2017 menemukan kedudukan beberapa titik di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Muara Baru berada 20 cm di atas muka laut rata-rata. Ini artinya tempat-tempat tersebut akan tergenang air laut selama periode pasang karena ketinggian air pasang di Teluk Jakarta dapat mencapai 60 cm di atas muka laut rata-rata. Parahnya lagi terjadi penurunan muka tanah di pesisir Jakarta secara luar biasa. Hasil survei Leveling Pushidrosal pada titik tinggi geodesi (TTG) sepanjang periode 1992-2013 bahkan memperoleh angka perhitungan penurunan tinggi muka tanah ekstrem di Pondok Dayung dan Ancol sekitar 20 cm/tahun.

The New York Times pada Kamis (21/12/2017) membeberkan perilaku penduduk Jakarta menyebabkan ancaman perubahan iklim. Jakarta diprediksi tenggelam lebih cepat daripada kota besar lain di dunia karena perilaku warga yang mengambil air permukaan tanah di bawahnya tanpa kendali. Tipologi tanah berupa rawa dengan beban yang harus diterima akibat menjamurnya bangunan beton di atasnya, yang semakin mempercepat proses land subsidence. Alih fungsi lahan basah rawa menjadi pusat-pusat kawasan bisnis. Sementara itu, faktor perubahan iklim akan membuat tinggi muka air Laut Jawa naik sekitar 91,4 cm di abad selanjutnya. Tentulah sangat beralasan untuk menjadi kekhawatiran kita.

Waspada banjir siklus 5 tahunan

Siaran pers yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tentang fenomena trilogi supermoon (2/1) dan potensi hujan lebat saat puncak musim penghujan patut menjadi perhatian bersama. Sungai-sungai di Jakarta dengan debit air maksimum akan tertahan di hilir bersamaan dengan waktu pasang tinggi. Luapan air sungai pun menyebabkan banjir tinggi dalam waktu yang lebih lama. Warga Jakarta sudah tentu harus mempersiapkan diri menghadapi siklus banjir lima tahunan ini. Ritme rutin aktivitas ekonomi, sosial, dan perdagangan di Ibu Kota tentu saja akan terganggu. Para karyawan libur karena jalan menuju tempat bekerja tidak bisa dilalui kendaraan bermotor.

Kantor, perusahaan, dan sekolah pun terpaksa libur karena prasarananya tidak berfungsi akibat tergenang banjir. Intensitas curah hujan tinggi dan fenomena trilogi supermoon ialah siklus alami. Perilaku manusialah yang harus mampu mengatasi dan mengubah di bumi tempat tinggalnya, tentu dengan memperbaiki cara-cara memperlakukan lingkungan dengan mengutamakan konservasi. Kini saatnya semua pihak menjaga lingkungan hidup dan menjadikan masalah lingkungan di sekitar kita berada di halaman paling depan pemikiran kita. Sedia payung sebelum hujan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar