Mengapa
Impor (Lagi)?
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 29 Januari 2018
ADA-ada saja tindakan pemerintah yang menimbulkan
kontroversi. Polemik yang terhangat saat ini adalah terkait dengan kebijakan
impor. Isu ini terus menggelinding liar dan dampaknya bisa tidak main-main.
Sebab wacana impor yang ditelurkan pemerintah berkaitan dengan kebutuhan
pokok masyarakat Indonesia, khususnya terkait beras.
Sumber primer mengapa perdebatan impor
beras melahirkan kontroversi, karena terdapat gap informasi lapangan antara
yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat (yang
dalam hal ini diwakili Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian)
bersama BPS dituding memiliki data yang kurang sinkron mengenai jumlah
produksi beras nasional.
Pada sekitar akhir tahun lalu/awal tahun
ini dalam sebuah kesempatan, Menteri Pertanian mengatakan dengan merujuk data
dari BPS, luas tanam padi selama 2017 mencapai 16,4 juta hektare. Sementara
produksi padi pada Januari 2018 diprediksi mencapai 4,5 juta ton gabah kering
giling (GKG).
Adapun ketersediaan beras kita pada Januari
diproyeksikan mencapai 2,8 juta ton, Februari 5,4 juta ton, dan Maret 7,4
juta ton. Maka dengan konsumsi beras yang hanya sebesar 2,5 ton, seharusnya
ketersediaan beras kita pada Januari surplus sebesar 329.300 ton, Februari
2,9 juta ton, dan Maret 4,97 juta ton. Bahkan misalnya setelah Maret nanti
secara ekstrem tidak ada panen raya lagi, stok beras nasional bisa dibilang
masih cukup aman hingga memasuki masa Lebaran.
Namun belum sebulan berselang, Kementerian
Perdagangan mengatakan hal yang berbeda. Kita perlu mengimpor beras sebanyak
500.000 ton dari Thailand dan Vietnam untuk menjaga agar stok beras nasional
tercukupi. Tentu hal ini terdengar cukup aneh. Apalagi sepanjang bulan
Januari tidak ada momentum tahunan yang mendongkrak konsumsi masyarakat
secara besar-besaran seperti yang pada umumnya terjadi pada saat bulan
Ramadan hingga Lebaran atau pada saat perayaan Natal dan Tahun Baru.
Beberapa pemerintah daerah mulai ikut
bersuara dan menyayangkan mencuatnya wacana impor beras. Penggunaan dalih
bahwa stok beras nasional berada di bawah 1 juta ton belum cukup tepat karena
beberapa daerah memiliki surplus stok yang siap didistribusikan.
Sulawesi Selatan (Sulsel) yang selama ini
cukup rutin menjadi salah satu lumbung padi nasional mengatakan daerahnya
saat ini surplus sekitar 2,6 juta ton beras. Gubernur Sulsel amat siap jika
stok berasnya didistribusikan ke daerah yang kekurangan stok. Terlebih pada
sekitar Maret nanti mereka akan mendapatkan panen raya sehingga stok yang ada
harus segera dialirkan agar kualitasnya tidak semakin menurun.
Dinas Pertanian Provinsi Yogyakarta juga
mengatakan setiap tahunnya mereka rata-rata surplus 200.000–250.000 ton.
Angka-angka ini belum diagregatkan dengan proyeksi surplus tiga provinsi di
Pulau Jawa yang selama ini (bersama Sulsel) menopang hampir setengah stok
beras nasional, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kalau sudah
demikian, mengapa kita harus melakukan impor beras?
Beban
Psikologis
Sebagai komoditas pangan strategis, stok
beras akan begitu cepat memengaruhi psikologis masyarakat. Gubernur Bank
Indonesia (BI) mengatakan bahwa tingkat inflasi di Januari perlahan-lahan
akan merangkak hingga 0,6%. Penyebab terbesarnya tidak lain karena harga
pangan yang belum stabil. Meskipun demikian angkanya masih lebih rendah
ketimbang inflasi di Januari 2016 dan 2017 sehingga saat ini belum saatnya
memencet “tombol panik”.
Isu kelangkaan stok beras akan berimbas
pada meningkatnya spekulasi harga beras di pasaran. Faktor pemicu lain
dikatakan oleh BI karena mulai meningkatnya harga cabai. Kita perlu memandang
dengan lebih luas lagi fenomena yang terjadi karena tren-tren kenaikan harga
komoditas strategis akan segera memengaruhi stabilitas perekonomian nasional.
Terkait soal kebijakan stok pangan, ada
baiknya pula jika pemerintah lebih berhati-hati dalam memproyeksi dampaknya.
Tindakan pemerintah yang mewacanakan impor beras menjelang masa panen raya
bisa dibilang cukup gegabah.
Ketika nanti stok beras akan melimpah pada
saat panen raya, bisa-bisa harga yang diterima petani kita akan menurun
drastis karena ada asumsi excess supply. BPS mengakui harga beras
berkontribusi cukup tinggi terhadap tingkat inflasi, yaitu mencapai 3,8%.
Kenaikan harga beras meskipun hanya sedikit saja segera akan berpengaruh ke
inflasi.
Pemerintah perlu lebih arif lagi dalam
memaknai dampak kebijakan yang tidak bisa disusun hanya melalui pendekatan
matematis, khususnya terkait kebijakan pangan. Pemerintah harus
mempertimbangkan dampaknya terhadap kondisi psikologis masyarakat dan lebih
khususnya terhadap petani.
Kalau kebijakan pemerintah tidak mampu
memuliakan para petani, lama-lama eksistensi mereka akan tergerus oleh
kebijakan pemerintah sendiri. Ide swasembada seharusnya tidak berhenti
sebatas wacana. Karena evaluasi beberapa pemerintah daerah, produksi pangan
terus meningkat berkat salah satunya program pemerintah bertajuk Upaya Khusus
Padi Jagung Kedelai (UpsusPajale).
Sebetulnya ada persoalan lain yang lebih
urgent untuk segera diatasi. Jika dibandingkan dari sisi harga antara beras
nasional dan beras negara ASEAN lainnya, harga pasar kita cenderung masih
sangat tinggi.
Menurut data lembaga Food and Agriculture
Organization (FAO) PBB, pada 2017 harga beras Vietnam sekitar USD0,31/kg atau
setara dengan Rp4.100/kg dan Thailand harganya sekitar USD0,34/kg atau setara
dengan Rp4.496/kg. Sementara harga beras di dalam negeri sekitar USD0,79/kg
atau sekitar Rp10.447/kg secara rata-rata.
Tak hanya disparitas harga, faktor penyebab
lainnya adalah sistem distribusi beras yang buruk karena terlalu panjang
sehingga rawan aksi spekulasi. Peran Bulog perlu ditonjolkan lagi untuk
menopang pasokan beras nasional melalui operasi pasar beras. Konsistensi data
antarinstansi pemerintah juga amat dibutuhkan untuk menghindari munculnya
para spekulan pasar.
Berikutnya integrasi kebijakan dan
pengembangan infrastruktur di daerah juga perlu lebih dipacu. Jika melihat
secara sekilas mengapa pemerintah pusat memilih melakukan impor di saat banyak
daerah yang surplus produksi, bisa jadi ditengarai karena belum ada
koordinasi yang pas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pertimbangan lain juga bisa dipicu karena
ongkos logistik yang lebih tinggi untuk melakukan transaksi antardaerah ketimbang
antarnegara. Sementara itu terkadang perilaku konsumen selalu menuntut harga
yang terjangkau (murah) dan mengabaikan apakah produk tersebut hasil produksi
dalam negeri ataukah impor.
Pertimbangan berikutnya pemerintah juga
perlu menjaga momentum yang indah dari posisi neraca perdagangan kita yang
tengah dalam kondisi yang relatif membahagiakan. Jika merujuk pada data
ekspor-impor Indonesia dari BPS (2018), perkembangan neraca perdagangan kita
dalam masa yang cukup baik.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia
Januari–Desember 2017 mencapai USD168,73 miliar atau meningkat sekitar 16,22%
bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016, sedangkan ekspor
nonmigas mencapai USD152,99 miliar atau meningkat 15,83%. Adapun dari sisi
impor, secara kumulatif pada Januari–Desember 2017 nilainya mencapai sebesar
USD156,89 miliar atau meningkat 15,66% jika dibandingkan dengan tahun 2016.
Peningkatan terjadi pada impor migas dan nonmigas yang masing-masing sebesar
USD5,57 miliar (29,71%) dan USD15,67 miliar (13,41%).
Lebih lanjut peningkatan impor migas
disebabkan naiknya impor minyak mentah USD329,2 juta (4,89%), hasil minyak
USD4.183,5 juta (40,46%), dan gas USD1.055,1 juta (63,22%). Secara agregat
neraca perdagangan kita tahun lalu masih mendapatkan surplus USD11,84 miliar
atau naik sekitar 24,15% bila dibandingkan dengan surplus 2016.
Momentum indah ini seharusnya perlu dijaga.
Jika melihat angka-angka yang tersaji sebenarnya bisa dibilang kita tidak
perlu memangkas keuntungan perdagangan melalui impor beras. Harga dunia untuk
beberapa komoditas strategis juga semakin meningkat sehingga keuntungan bagi
Indonesia misalnya dari produksi kelapa sawit dan minyak seharusnya ikut
memperkuat peluang ekspor yang tengah meningkat dan menambah perbendaharaan
penerimaan negara.
Kesimpulannya, perlu ada kerja sama dari
semua sektor, bukan hanya pemerintah, tetapi termasuk asosiasi pengusaha,
untuk menghasilkan kerja yang koordinatif dan sinergis bagi kepentingan
perekonomian dalam negeri. Fokusnya terletak pada bagaimana mendorong
industri dalam negeri bangkit, petani dan pelaku usaha kecil dapat
terlindungi, serta struktur belanja yang lebih prorakyat.
Penerimaan negara perlu ditingkatkan dengan
stimulus investasi pemerintah yang lebih akurat serta jangan lupa juga
mempersiapkan “tantangan” berikutnya dalam waktu dekat, terutama dengan
adanya kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak kemungkinan akan
mendorong adanya inflasi dari kelompok bahan bakar minyak (BBM) dan segera
“menggusur” isu mengenai stok beras. Termasuk seberapa besar subsidi yang
harus ditanggung pemerintah untuk mempertahankan harga minyak dalam negeri.
Effort untuk menjaga stabilitas
perekonomian nasional dapat dipastikan tidak akan kunjung berhenti, apalagi
di tahun 2018 yang dianggap sebagai tahun politik. Pemerintah perlu tegas,
kalaupun ada kontroversi sebenarnya normal saja karena pilihan kebijakan
tidak pernah hanya ada satu, selalu ada pilihan dan pemerintah harus memilih
dan memutuskan dengan segala risikonya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar