Sistem
Merit dalam Pemerintahan
Miftah Thoha ; Guru Besar Universitas
Gadjah Mada
|
KOMPAS,
30 Januari
2018
Baru-baru ini, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberikan penghargaan kepada
sejumlah pejabat tinggi yang berprestasi dalam berinovasi dan mampu menjadi
penjaga pelaksanaan sistem merit bagi manajemen aparatur sipil negara.
Upaya Menpan dan RB tersebut membuktikan
betapa serius pemerintah melaksanakan sistem merit yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
UU ini secara tegas melaksanakan dan mewujudkan sistem merit dalam
menata manajemen pemerintahan. Sistem
merit dalam praktik pemerintahan sudah lama dikenal dan dilaksanakan. Akan
tetapi, perwujudannya jauh dari yang seharusnya terjadi.
Menurut sejarah, sistem merit mulai dilakukan di zaman Dinasti Qin dan Han di
China. Dinasti ini mengenalkan sistem
merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan
seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan. Dalam upaya melaksanakan
kekuasaan kerajaan yang wilayahnya begitu luas, besar, dan menyebar,
pemerintahan Dinasti Qin dan Han menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang kompleks.
Prospektif jabatan tak terbatas bisa diisi
oleh calon dan mobilitas pejabat
pemerintah. Tingkatan atau peringkat jabatan ditetapkan dengan melakukan
sistem merit tersebut. Akhirnya,
sistem sembilan tingkatan (nine-rank system) jabatan dibentuk oleh tiga
dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han.
Dari China,
konsep sistem merit kemudian menyebar dipergunakan di British India di
abad ke-17 dan kemudian ke daratan Eropa dan Amerika. Negara kita semenjak
pemerintahan di awal kemerdekaan sampai sekarang juga telah mengenal dan
melaksanakan sistem merit dalam manajemen pemerintahan. Akan tetapi, upaya
pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan.
Sistem merit menurut konsepsi disiplin ilmu
merupakan suatu sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pertimbangan
dasar kompetensi bagi calon yang akan
diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan dipensiun sesuai UU berlaku.
Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian dan profesionalisme sesuai kebutuhan
jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian dan profesionalistik calon menjadi pertimbangan utama.
Selain itu, netralitas pejabat pemerintah
yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang tak bisa diabaikan.
Prinsip netralitas menunjukkan tak ada unsur kedekatan kepentingan, seperti
keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, dan konglomerasi. Selain
kompetensi dan netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada
akhlak juga menjadi pertimbangan bagi
calon aparatur pemerintah, baik sipil maupun militer.
Yang terjadi selama ini, sistem merit
dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja. Proses pengangkatan
calon secara diam-diam dilakukan
dengan melanggar konsepsi disiplin ilmu. Kompetensi calon diganti menjadi
kepentingan pemegang kekuasaan. Keahlian dan profesionalisme menjadi
sebaliknya, sesuai dengan persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan. Terkait
netralitas, dalam pelaksanaannya, semua ditentukan oleh pertimbangan
kedekatan calon dengan pemegang kekuasaan.
Cara melaksanakan sistem merit seperti itu
berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, lebih-lebih pada pemerintahan
Orde Baru yang berlangsung hampir 32 tahun. Bahkan, sisa-sisa pemerintahan
Orde Baru masih terasa dipraktikkan sampai sekarang. Itulah sebabnya, pada
2014, dengan dipelopori Komisi II DPR, terbentuk UU ASN yang sarat dengan
upaya menegakkan sistem merit ini.
UU ini oleh pemerintah pernah ditolak,
bahkan aparat pemda dengan disponsori dan didukung pemerintah pusat
berdemonstrasi menolak UU ASN. UU ini banyak menghadapi rintangan, baik di
kalangan politik di DPR sendiri maupun di birokrasi pemerintahan. Bahkan,
DPR, sebagai lembaga tempat inisiatif pembentukan UU ini berasal, berencana
merevisi dan menghapus adanya Komisi ASN, suatu lembaga penjaga sistem merit
(merit system protection board).
Tidak efektifnya pelaksanaan sistem merit
salah satunya karena pendekatan kekuasaan dijalankan oleh pejabat pemerintah.
Manajemen pemerintahan yang sentralistik lebih mengutamakan pendekatan
kekuasaan atau otoritas yang dipegang oleh pemegang jabatan, lebih-lebih jika
pemegang jabatan itu pejabat politik dari parpol. Akibatnya, semua tergantung
persepsi pemegang kekuasaan. Ketegasan dan loyalitas melaksanakan UU yang ada
menjadi samar-samar sesuai dengan aspirasi politik yang menjadi dasar
pertimbangan pemegang kekuasaan jabatan.
Politik kekuasaan inilah yang selama ini
mewarnai manajemen pemerintahan kita. Manajemen pemerintahan memang tanpa
kekuasaan, bukan lagi menjadi pemerintahan yang berdaulat. Namun, kekuasaan
yang selalu jadi andalan dalam
manajemen pemerintahan, tanpa melihat
pendekatan lain yang aspiratif
dan humanitif, akan banyak penyimpangan.
Pendekatan
kekuasaan
Pendekatan kekuasaan yang dilakukan secara
subyektif dari pertimbangan pemegang jabatan bisa dihindari dengan
mengendalikan emosi kekuasaan dan banyak mengamalkan pendekatan human
government yang menekankan pada manajemen pemerintah berbasis penghargaan
kepada faktor manusia ciptaan Tuhan yang Mulia ini. Manusia yang diciptakan utuh oleh Tuhan dilengkapi dengan kemampuan rasio pikir dan
kalbu hati nurani yang jernih. Manusia yang punya potensi pikir yang rasional
akan melahirkan calon-calon yang memiliki potensi dalam kompetensi dan
profesionalitasnya.
Di sinilah seharusnya sistem merit mendapat
tempat pada pendekatan kekuasaan dalam manajemen yang humanitif. Dengan
demikian, sistem merit bisa dijalankan sangat tergantung pada dua pihak.
Pertama, calon yang akan direkrut harus kompeten, profesional, dan
keahliannya sesuai dengan yang dibutuhkan, jujur dan loyal, berakhlak mulia.
Kedua, pejabat pemerintah pemegang kekuasaan harus netral.
Pejabat
politik-birokrat
Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya
dengan hubungan antara jabatan-jabatan politik dan birokrasi yang belum
pernah ditata dengan baik. Pejabat politik yang berasal dari kekuatan parpol
dalam sistem pemerintahan kita sudah lama kita kenal pula. Di awal
kemerdekaan, ketika pemerintah melaksanakan sistem demokrasi liberal,
partai-partai politik dibentuk oleh rakyat. Parpol adalah kesatuan aspirasi
politik dari sekelompok rakyat yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan,
melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang
ingin dicapai itu ialah kekuasaan pemerintahan. Mulai dari zaman liberal, zaman
demokrasi terpimpin, hingga era demokrasi reformasi sekarang ini, keinginan
parpol untuk kekuasaan tak pernah berubah.
Oleh karena itu, manajemen pemerintahan
yang aslinya ditempati para pejabat birokrasi pemerintah mulai dipimpin oleh
pejabat politik dari kekuatan parpol yang berkuasa atau yang memenangi suara
pemilu. Dari sinilah kehadiran jabatan politik dari partai politik memimpin
birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah secara otomatis jadi
subordinasi atau di bawah kendali jabatan politik.
Dari gambaran hubungan kedua jabatan ini,
sangat sulit pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan
politik yang menjadi atasannya.
Terpengaruhnya ASN dalam proses politik
banyak dijumpai di daerah-daerah ketika melaksanakan pilkada. Banyak pegawai
daerah yang ikut kampanye mendukung calon yang akan memimpin mereka di
pemerintah daerah. Mereka yang tak ikut mendukung jika calon tersebut menang
pilkada, bisa jadi kariernya tersendat. Di sinilah netralitas aparatur
menjadi masalah dalam melaksanakan sistem merit.
Ada gagasan sebaiknya ASN seperti TNI dan
Polri, yakni tidak ikut memilih dan dipilih dalam pemilu dan pilkada. Jika
ikut memilih dan dipilih, mereka harus pensiun dari ASN.
Di Amerika, upaya lain untuk menghindari intervensi
politik dari pejabat politik adalah, begitu pejabat politik dari partai
tertentu menjadi dan memimpin birokrasi pemerintahan, pejabat politik
tersebut harus melepaskan ikatan dan identitas partai politiknya. Mereka
harus menjadi penjabat negara
(official government).
Untuk mendukung kebijakan Menpan dan RB
dalam memperkuat pelaksanaan UU No 5/2014 tentang ASN, yang harus menjalankan
sistem merit secara konsekuen, dua hal yang disebutkan di atas—yakni
pendekatan kekuasaan pejabat dan tata hubungan pejabat politik dan pejabat
birokrat—perlu dibenahi. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi togel Sgp mbah jambrong
BalasHapus