Pilkada-Pilpres:
”Faktor Rasa Asyik”
Budiarto Shambazy ; Wartawan Kompas
1982-2017
|
KOMPAS,
29 Januari
2018
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah
2018 dan Pemilihan Legislatif-Pemilihan Presiden 2019 akan berlangsung aman.
Indonesia tidak akan bergejolak alias bebas dari instabilitas politik,
apalagi mengalami krisis seperti tahun 1998.
Stabilitas politik tetap terjaga karena
demokrasi kita telah terkonsolidasi dengan nyaris sempurna. Lagi pula,
sepanjang sejarah kita, proses pemilu, pilpres, dan pilkada tidak pernah
memicu gejolak besar yang mengganggu kehidupan sehari-hari.
Jadwal Pilkada 2018 memang padat. Dimulai
dengan masa kampanye 15 Februari-24 Juni 2018, kemudian pilkada serentak itu
sendiri digelar pada 27 Juni 2018.
Total ada 579 pasangan calon yang berlaga
untuk merebut kursi kepala daerah di 171 lokasi, termasuk di 17 provinsi atau
separuh dari jumlah provinsi di negeri ini. Jumlah pemilih pada pilkada serentak
ini mencapai sekitar 160 juta jiwa.
Dari masa kampanye sekitar empat bulan itu,
diperkirakan kampanyenya mereda ketika umat Muslim memulai ibadah puasa pada
medio Mei. Kelesuan itu berlangsung lebih kurang satu setengah bulan mulai
dari puasa hari pertama diikuti perayaan Idul Fitri, dan kemudian kesibukan
para pemudik sekitar dua pekan setelah Lebaran.
Jangan pula dilupakan pada pada 14 Juni-15
Juli 2018 akan berlangsung Piala Dunia sepak bola di Rusia yang dapat menjadi
pengalih dari hebohnya Pilkada 2018.
Setelah pencoblosan usai, penetapan hasil
Pilkada 2018 untuk tingkat kabupaten/kota akan diumumkan pada 4-6 Juli dan
untuk tingkat provinsi 7-9 Juli 2018.
Apa yang terjadi setelah Komisi Pemilihan
Umum (KPU) mengumumkan penetapan? Jika menilik pada penyelenggaraan
pilkada-pilkada sebelumnya, tak mustahil terjadi amok massa berskala rendah,
seperti pembakaran kantor-kantor KPU daerah (KPUD) di sejumlah lokasi rawan.
Juga pasti terjadi perselisihan di antara pasangan calon yang akan disengketakan
ke Mahkamah Konstitusi.
Setelah ingar bingar Pilkada 2018 rampung,
masih ada proses Pileg-Pilpres 2019. Bersamaan dengan penetapan hasil Pilkada
2018 itu, KPU sudah harus memulai tugas mengurus Pileg-Pipres 2019.
Dalam periode 4-17 Juli 2018, semua partai
peserta Pileg 2019 mulai menyiapkan anggota DPR/DPRD masing-masing. Begitu
juga dengan calon-calon ”senator” atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Penetapan seluruh anggota DPR/DPRD yang berkompetisi diumumkan KPU pada 20-23
September 2018.
Pilpres
2019
Jangan dilupakan pula, sejak Juli 2018 kita
mulai dihebohkan oleh persiapan-persiapan final menjelang penyelenggaraan
Asian Games di Jakarta dan Palembang pada 18 Agustus-2 September 2018.
Tri Sukses Asian Games mencakup sukses
penyelenggaraan (fasilitas olahraga dan infrastruktur), sukses prestasi
(jumlah medali emas dan peringkat peserta), serta sukses ekonomi (pariwisata,
merchandising, dan penjualan tiket). Tercapai atau tidaknya Tri Sukses ini,
akan cukup berpengaruh terhadap popularitas Presiden Jokowi.
Nah, sekarang mari kita tinjau jadwal
Pilpres 2019. Sebagai petahana, Presiden Jokowi sudah harus mendaftar sebagai
capres pada 4-10 Agustus 2018. Bukan saja dirinya, Jokowi juga sudah harus
mendaftarkan cawapres pilihan dia pada hari-hari tersebut. Demikian pula
tentunya, capres-cawapres lainnya.
Pada 13 Oktober 2018, kampanya Pilpres 2019
sudah dimulai sampai 13 April 2019. Total ada waktu sekitar setengah tahun
untuk kampanye capres-cawapres.
Jeda politik dengan demikian hanya terjadi
pada periode Juli-September 2018. Pada Oktober 2018, sudah dimulai pula
kampanye Pilpres 2019 sampai April 2019. Bangsa ini jelas akan menjalani
banyak agenda nasional tahun 2018-2019. Meski, sekali lagi, seluruh rangkaian
Pilkada-Pileg-Pilpres 2018-2019 berlangsung aman.
Tahun-tahun
demokrasi
Saya kurang setuju dengan istilah yang
sering didengang-dengungkan, yakni ”tahun politik”. Istilah ini menimbulkan
kesan agak muram, lebih kurang mencerminkan keterbelahan politik kita yang
marak sekali ditampakkan di media sosial melalui fenomena hoaks beberapa
tahun terakhir ini.
Selain itu, suasana politik kita juga agak
terganggu akibat manipulasi politik identitas terutama yang menyinggung suku,
agama, dan ras.
Istilah yang lebih tepat adalah
”tahun-tahun demokrasi” pada dua tahun berturut-turut 2018 dan 2019. Apalagi,
agenda politik nasional kita boleh padat, tapi diselingi pula oleh kesempatan
beribadah sepanjang Ramadhan dan menikmati sajian olahraga Piala Dunia dan
Asian Games 2018.
Hidup pun serasa lengkap. Dalam bahasa
Inggris, ”What’s more could you ask for?” Sebagai warga negara dalam sebuah
demokrasi yang sehat, kita dapat menikmati seluruh sajian dengan rasa
optimisme yang tinggi.
Tahun-tahun demokrasi bermakna bahwa kita
memiliki hak memilih kepala daerah, anggota legislatif, dan presiden-wakil
presiden. Kita memilih mereka bukan untuk mengepalai suku kita atau
berdasarkan kesamaan agama kita dengan mereka. Kita memilih mereka karena
kemampuan mereka. Di lain pihak, kita tidak memilih calon-calon yang lain karena
kita menganggap mereka kurang bisa memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
kita.
Betul ada teori yang mengkhawatirkan
menipulasi politik identitas akan di copy paste di daerah-daerah tertentu
pada Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019. Kekhawatiran ini sepertinya agak
berlebihan.
Alasannya, kompetisi Pilkada 2018 umumnya
tidak terjadi antara dua paslon (bipolaritas) yang konfrontatif dan kondusif
untuk manipulasi politik identitas. Namun, antara lebih dari dua kontestan
(multipolaritas) yang kurang konfrontatif dan kondusif untuk memanipulasi
politik identitas.
Dan, semangat menahan diri agar tak
terjebak manipulasi politik identitas sudah diingatkan sebaik-baiknya oleh
jajaran penyelenggara, pengamanan, dan pengawas pemilihan di tingkat lokal
ataupun nasional.
Dalam dunia ekonomi dikenal istilah ”faktor
rasa asyik” (the feel-good factor) yang merujuk pada daya beli masyarakat
yang mencukupi. Rasa asyik serupa juga sedang kita rasakan dalam menghadapi
tahun-tahun demokrasi 2018-2019. Siapa bilang demokrasi tidak mengasyikkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar