Sosiopolitik
dan Mitigasi Konflik Pilkada
M Ridha Saleh ; Direktur Rumah Mediasi
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 24 Januari 2018
TAHUN 2018 akan menjadi tahun yang sangat
penting bagi pematangan demokrasi Indonesia karena akan berlangsung pilkada
serentak di 171 daerah. Pada tahun ini juga akan ditetapkan calon presiden
dan wakil presiden yang akan bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, hampir
rutin ditemui protes atau luapan kekecewaan yang menimbulkan benturan
horizontal antarpihak yang merasa dirugikan dalam kontestasi ini. Jika pihak
yang dirugikan secara prosedural menggunakan jalur konstitusi untuk menggugat
dugaan kecurangan lawan, tentu konflik bisa dilokalisasi. Namun, jika
cara-cara yang digunakan adalah kekerasan, maka ini adalah hal dikhawatirkan
banyak pihak sebagai dampak buruk dari proses demokrasi yang sedang dan terus
menerus dibangun.
Sumber
Konflik
Konflik dalam pilkada tidak hanya
diakibatkan oleh satu sumber, kebanyakan mempunyai sebab-sebab ganda. Namun
pada umumnya, konflik yang nyata terjadi disebabkan oleh aspek prosedural dan
ketidaknetralan penyelenggara pemilu. Terbukti pada pilkada serentak 2016,
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat 31 anggota Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah karena
kelalaian, penyalahgunaan kewenangan, kesalahan prosedur, atau dianggap tidak
netral.
Kombinasi lain dari masalah tersebut antara
lain munculnya konflik antar-elite kekuasaan, keterlibatan institusi
strategis, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, serta benturan antarpihak
yang kehilangan kontrol politik. Semua ini dapat diidentifikasi sebagai
faktor yang sangat kuat penyebab konflik terbuka dalam pilkada.
Namun demikian, dari berbagai pengalaman
empirik, konflik-konflik terbuka dalam pilkada juga dipicu oleh kepentingan
pragmatis tersembunyi dari setiap kontestan, misalnya ketidaksiapan mereka
berkompetisi secara sehat dan ketidaksiapan menerima kekalahan. Oleh karena
itu, konflik sering terpusat pada ambisi setiap pihak untuk memperoleh
kekuasaan yang lebih besar atau kekhawatiran akan kehilangan kekuasaan.
Namun perlu dicermati dalam konstelasi
sosiopolitik seperti itu bahwa identitas individu dari calon peserta pilkada
akan mengental menjadi identitas kelompok, seperti suku, agama, dan etnik.
Itu kemudian diartikulasikan menjadi identitas mayoritas lalu dilegitimasi
secara sosiopolitik sebagai pihak paling berhak daripada pihak lainnya untuk
berkuasa. Ketika setiap kelompok politik merasa lebih unggul dibandingkan
dengan kelompok lainnya, maka akan terjadi kecenderungan in-group dan out-group (Hoog, 2003) sebagai salah satu sumber
utama penyebab konflik. Apalagi dengan dimasukkannya prasangka dan stereotip
kepada out-group, maka masing-masing pihak akan melihatnya sebagai pihak
berlawanan sehingga pada akhirnya menimbulkan ketegangan yang berujung pada
terjadinya konflik.
Faktor lain yang perlu diwaspadai dari
penyebab konflik adalah pola-pola emosi dan reaksi-reaksi psikologi aktor
elite kekuasaan, baik yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Ini
memegang peran penting dan kuat dalam memengaruhi proses dan dinamika
terjadinya konflik horizontal. Memang konsentrasi kekuatan secara fisik
terorganisasi di komunitas, tapi determinasi gerakan dan mobilisasi kekuatan
cenderung tersentral pada elite penguasanya.
Kolaborasi Konflik
Tahun 2018 juga akan menjadi tahun
tergerusnya berbagai sektor-sektor strategis, seperti sektor perkebunan
besar, pertambangan, dan kehutanan. Bahkan, bobot dan durasi persinggungan
antarkorporasi dan elite politik akan semakin intens. Sebab secara relasi
antara politik elektoral dan modal dalam sistem politik Indonesia sekarang
masih cenderung kolaboratif. Laporan Walhi 2014 menyebutkan, sumber-sumber
logistik yang beredar dalam pilkada dan pemilu legislatif diduga bersumber
dari industri ekstraktif melalui konsesi tertentu antarelite kekuasaan. Ini
tak lain karena desakan biaya politik yang sangat mahal.
Pada pilkada tahun ini ada beberapa daerah
yang memiliki potensi sumber daya alam besar, di antaranya Provinsi
Kalimantan Timur dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Ini adalah
wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Bahkan, di wilayah tersebut
hingga saat ini belum terjadi perubahan struktur penguasaan sumber daya alam.
Tidak hanya di daerah tersebut, sejumlah
daerah lain yang ikut dalam pilkada serentak tahun ini merupakan titik di
mana konflik tanah dan sumber daya alamnya juga tidak mengalami penurunan
bahkan eskalasinya menunjukkan peningkatan. Tentu hal ini akan berimplikasi
progresif karena bersinggungan dengan konflik yang muncul karena dinamika
pilkada. Konflik manifes seperti tanah dan sumber daya alam yang sedang
berlangsung di wilayah pilkada akan cenderung berkorelasi dan menambah
eskalasi konflik politik dalam pilkada.
Pramediasi
Dalam dunia konflik ada asumsi yang berkembang
bahwa konflik selalu ada dalam kehidupan manusia, apalagi dalam suatu
peristiwa yang di dalamnya berseliweran kepentingan politik. Oleh karena itu,
paling penting adalah bagaimana meminimalisasi dan mengelola konflik tersebut
agar tidak berkembang menjadi konflik kekerasan yang meluas.
Jika penyelesaian pelanggaran yang bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilkada sudah tersedia prosedurnya,
maka upaya mencegah konflik kekerasan akar rumput di arena pilkada merupakan
tindakan strategis yang diperlukan dan merupakan tanggung jawab semua pihak.
Mitigasi konflik harus terus dilakukan karena pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa selalu ada beberapa peristiwa yang menjadi pemicu konflik
pilkada, baik yang terorganisasi maupun spontan.
Dibutuhkan pramediasi, yakni suatu upaya di
akar rumput untuk membangun kesadaran tentang hak pilih dan hak prosedural.
Warga perlu ditempatkan sebagai pihak strategis dalam proses demokrasi
melalui mekanisme pelembagaan dialog-dialog dan menempatkan mereka pada
posisi sebagai subjek politik dalam pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar