Mengukur
Jangkauan Diplomasi Indonesia
di
Asia Selatan
M Sya’roni Rofii ; Direktur Eksekutif
Center for Indonesia and International Affairs (Cifa); Doktor Bidang Politik
dan Hubungan Internasional
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2018
KUNJUNGAN kenegaraan Presiden Joko Widodo
dengan rute Asia Selatan kali ini memiliki nilai strategis bagi penguatan
pengaruh Indonesia di kawasan Asia Pasifik. Dari sisi politik, kawasan itu
dihuni negara-negara yang memiliki pengaruh penting bagi keseimbangan
kawasan, sedangkan dari sisi ekonomi mereka menjanjikan potensi pasar yang
sangat besar. Rute perjalanan luar negeri Presiden Jokowi dimulai dari Sri
Lanka, India, Pakistan, Bangladesh, dan berakhir di Afghanistan. Dari
kunjungan tersebut, beberapa momen menarik yang perlu mendapat apresiasi
tentu saja seputar percobaan jet tempur milik angkatan udara Pakistan yang
merupakan produk kolaborasi antara Tiongkok dan Pakistan.
Kemudian kunjungan presiden ke Cox’s Bazar
yang merupakan lokasi pengungsi Rohingya yang terusir dari Myanmar. Lokasi
tersebut juga menjadi pusat kegiatan relawan kemanusiaan yang diinisiasi
organisasi kemasyarakatan Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan
Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Keberanian dan kehadiran pemimpin Indonesia
untuk berkunjung ke Afghanistan di saat ibu kota negara itu beberapa hari
sebelumnya mendapat serangan bom, bagi pemerintah Afghanistan, tentu saja
menjadi dukungan moral tersendiri.
Berbagi simpati dan solidaritas ialah modal
utama yang menyatukan negara-negara Asia Pasifik yang juga mengingatkan kita
pada momentum sejarah Konferensi Asia Afrika pada 1955, yaitu sebagian besar
pendukung utama gerakan tersebut datang dari kawasan ini.
Indonesia hingga hari ini memiliki
kemewahan untuk bersandar pada besarnya sejarah diplomasi di masa lalu, yaitu
negara-negara Asia Afrika dan Pasifik dipertemukan di Kota Bandung untuk
menyatukan ide-ide yang berserakan tentang sebuah dunia yang adil. Adil di
bidang politik maupun ekonomi. Pemimpin Indonesia saat itu, Soekarno-Hatta,
merupakan figur sentral yang begitu disegani di panggung internasional karena
manuver-manuver politik mereka yang cerdas dan terukur membuat derajat
negara-negara Asia Afrika yang baru merdeka terangkat seketika.
Membangun
dari kawasan
Belakangan kita berhadapan dengan realitas
baru yang jauh dari imajinasi Perang Dingin. Kepemimpinan global saat ini
tengah mengalami kevakuman dan belum ada satu pun negara yang mampu
menggantikan posisi Amerika Serikat (AS). AS yang diharapkan mampu menjadi
motor penggerak pembangunan global dan pencipta keseimbangan nyatanya justru
menarik diri dari isu-isu global. Hal ini tecermin dari Presiden AS Donald
Trump yang menarik diri dari Trans Pacific Partnership, menganulir
kesepakatan soal Climate Change, hingga pencabutan keanggotaan dari UNESCO.
Mundurnya AS dari percaturan global seolah
membenarkan pernyataan Ian Bremmer, ilmuan politik AS yang menyatakan saat
ini dunia tengah memasuki era ketika tidak ada kekuatan dominan di bidang
ekonomi dan politik. Ia menjelaskan AS sebetulnya tidak lagi memiliki sumber
daya yang cukup untuk mengurus urusan internasional, begitu juga Uni Eropa
dan Jepang. Rakyat mereka berharap para pemimpin mereka fokus mengurus urusan
domestik. Fenomena ini disebut Ian Bremmer sebagai G-Zero. Senada dengan
Bremmer, suatu hari Hillary Clinton saat menjabat Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat juga pernah berujar bahwa masa depan ada di Asia Pasifik. Faktanya
saat ini Asia memang cukup stabil baik dari sisi ekonomi maupun politik.
Negara-negara Asia juga mulai unjuk kebolehan dalam menebarkan pengaruh ke
berbagai penjuru dunia.
Ketika AS, Eropa, dan Jepang tidak lagi
aktif untuk melakukan ekspansi seperti tahun-tahun sebelumnya karena fokus
menata ekonomi domestik yang belum benar-benar pulih akibat badai krisis pada
2008, aktor kawasan Asia justru mulai aktif menebarkan pengaruh mereka ke
berbagai penjuru dunia. Tiongkok dan India ialah dua contohnya. Tiongkok
sejak satu dekade terakhir telah menjadi bahan pembicaraan para pemimpin
negara di berbagai belahan dunia karena program unggulan mereka di bidang
proyek infrastruktur yang mereka sebut One Belt One Road (OBOR) di bawah
skema Belt Road Initiative (BRI). Sementara itu, India dikenal sebagai negara
yang mampu melahirkan jutaan teknisi terampil bidang informasi teknologi dan
mampu menawarkan produk kompetitif. Baik Tiongkok maupun India merupakan
anggota BRICS sebuah organisasi yang terdiri atas Brasil, Rusia, India,
Tiongkok, dan Afrika Selatan. Pada awalnya forum ini ditujukan untuk mengkaji
potensi ekonomi negara-negara anggota. Namun, mereka justru hendak mengarah
pada bentuk yang lebih serius dalam bentuk pendirian bank yang mereka sebut sebagai
New Development Bank.
Belakangan, hampir semua aktor negara
tampak pragmatis dalam membangun hubungan. Batas-batas ideologi politik yang
pernah membuat mereka berseteru di masa lalu kini tampak tak lagi relevan.
Kondisi inilah yang memberikan kesempatan kepada Tiongkok untuk mengakses
hampir seluruh penjuru dunia. Jika dibandingkan dengan Tiongkok, Indonesia
sebetulnya memiliki modal persahabatan yang jauh lebih besar dengan hampir
seluruh negara di dunia. Doktrin politik luar negeri yang bebas dan aktif
memberikan ruang bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan setiap pihak
sepanjang mampu mendatangkan keuntungan bagi negara tiap-tiap negara. Kita
berharap kunjungan ke Asia Selatan menjadi salah satu langkah strategis untuk
memperkuat pengaruh Indonesia di kawasan dan manfaatnya bisa dirasakan
segenap rakyat Indonesia dan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar