Turunnya
Harga BBM
Ibrahim Hasyim ; Ketua Umum Ikatan Alumni Akademi Migas (Ilugas)
|
KORAN
SINDO, 07 Januari 2015
Pemerintah
akhirnya mengumumkan penurunan harga premium dan minyak solar. Kesannya di
masyarakat adalah penurunan harga, tetapi sebenarnya pemerintahan Jokowi-JK
sedang memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia untuk melakukan
restrukturisasi kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang
bergeser dari dominasi pertimbangan sosial politik ke pertimbangan ekonomi.
Sejarah
kebijakan harga BBM dalam negeri terus berubah dari waktu ke waktu. Sejak
Indonesia menjadi produsen minyak bumi pada akhir dekade 60-an, kebijakan
harga seluruh jenis BBM ditetapkan oleh pemerintah dengan melakukan cross subsidy antara jenis BBM yang
harganya di atas biaya produksi seperti avgas, avtur, dan gasolin ke jenis
BBM yang harganya di bawah biaya produksi yaitu minyak tanah, minyak solar,
minyak diesel, dan minyak bakar.
Pada masa
lalu itu sangatlah kentara dominasi pertimbangan sosial karena besaran harga
tiap jenis BBM bersubsidi yang ditetapkan, biaya pokok produksi tiap jenis
selalu berbanding terbalik dengan harga jual. Pasalnya, biaya produksi kilang
yang paling mahal adalah minyak tanah, sedangkan minyak solar dan premium
lebih rendah.
Tetapi, harga
BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah justru terbalik, yang paling rendah
adalah minyak tanah karena pertimbangan penggunaan luas di rumah tangga untuk
memasak dan penerangan. Harga minyak solar lebih murah dari premium karena
digunakan untuk transportasi umum dan barang, nelayan, dan pertanian rakyat.
Menjadi lain
dengan BBM nonsubsidi karena ditetapkan oleh badan usaha menurut pertimbangan
komersial. Sejak diberlakukan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, pada
2006 pasar BBM dalam negeri terbelah, pasar dengan harga BBM bersubsidi yang
ditetapkan pemerintah dan harga BBM nonsubsidi yang ditetapkan oleh badan
usaha.
Kebijakan Harga Bervariasi
Dengan
keputusan pemerintah terakhir, kini ada empat kebijakan harga BBM yang
bervariasi. Pertama, harga premium turun, tapi tidak disubsidi lagi dan akan
dihapus. Kedua, harga minyak solar turun dengan subsidi tetap Rp1.000 per
liter sehingga subsidi tahunan bisa dikendalikan. Ketiga, harga minyak tanah
tidak berubah untuk menghindari dampak sosial.
Keempat,
bahan bakar minyak harga keekonomian diatur harga batas atas dan bawah oleh
pemerintah. Kebijakan ini memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia
yang berdampak pada penurunan biaya produksi premium di bawah harga jual
Rp8.500 per liter. Maka, terhitung 1 Januari 2015 harga diturunkan menjadi
Rp7.600 tanpa subsidi. Harga bisa saja kembali ke harga semula bilamana harga
minyak dunia naik kembali.
Kenaikan itu
dibiarkan berubah sendiri karena jika pemerintah yang mengubah, kerap
menimbulkan kehebohan sosial politik. Selanjutnya minyak solar diberi subsidi
tetap, satu gagasan lama yang ditetapkan untuk mengendalikan besaran subsidi
yang selalu membengkak dan menjadi keributan setiap tahun. Keputusan
pemerintah kali ini juga mengatur harga batas atas bawah dari harga BBM
keekonomian.
Mahkamah
Konstitusi prinsipnya melarang harga terbentuk dari persaingan pasar. Dengan
empat kebijakan tersebut, alhasil pada APBN-P 2015 nilai subsidi menurun
drastis, dari Rp200-an triliun sebelumnya, menjadi hanya Rp17 triliun.
Pemerintah seperti mendapat durian runtuh, suatu kondisi yang tidak pernah
terbayangkan terjadi saat awal pemerintahan Jokowi-JK ini yang justru pusing
menghadapi sempitnya ruang fiskal.
Tetapi, di
sisi lain harus diingat, dengan kebijakan yang bervariasi itu, dalam jangka
panjang akan membentuk pola konsumsi yang berbeda dari tiap jenis BBM yang
ujungnya pasti akan berimplikasi pada manajemen rantai pasok (supply chain management).
Potensi Masalah
Sekalipun
demikian, sayangnya kebijakan harga BBM kali ini masih menyisakan potensi
masalah ke depan. Harga minyak tanah bersubsidi tidak berubah sekalipun hanya
Rp2.500 per liter dengan disparitas harga yang menganga. Minyak tanah masih
digunakan di wilayah yang sulit dijangkau LPG 3 KG karena persoalan skala
volume dan infrastruktur.
Pertambahan
penduduk di daerah pemekaran, tapi terpencil ini pasti akan memicu
pertumbuhan konsumsi. Terbukti, konsumsi pada 2014 telah mencapai 1 juta
kiloliter, melebihi rencana 900.000 kiloliter. Dengan harga murah, secara
potensial konsumsi akan terus tumbuh apalagi sudah digunakan untuk bahan
bakar mesin perahu nelayan. Pemerintah tidak boleh diam untuk menyelesaikan
sisa masalah ini. Pembengkakan subsidi bisa datang dari sini karena besarnya
disparitas harga.
Karena itu,
pemerintah hanya punya dua pilihan, menaikkan harga atau memulai inisiatif
baru mengembangkan dan menyediakan energi lokal seperti mikrohidro, biogas,
dan energi biomassa lain. Sudah barang tentu, tenaga penyuluh energi perlu
pula disiapkan untuk mengedukasi masyarakat tentang cara memilih dan
menggunakan sumber energi yang tersedia di sekitar mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar