KPK
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
26 Januari 2015
(Dimuat kembali dari Tempo edisi 5-11 Oktober 2009)
SEMUA bermula di Hong Kong,
kurang-lebih. Seorang teman yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing
mengingatkan: film I Corrupt All Cops
(produksi 2009) menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan korupsi
dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.
Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini menceritakan
pergulatan beberapa petugas Independent
Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira polisi Hong
Kong yang korup. Wong Jing berusaha untuk tak norak, kata teman itu, tapi
filmnya akhirnya hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.
Sejarah ICAC, yang didirikan
pemerintah Hong Kong pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang
berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan
potongan-potongan cerita yang lurus.
ICAC mencatat prestasi ketika
lembaga baru ini memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi
yang tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening
banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekannya.
Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong.
Ke dalam kurungan.
Tapi dengan segera HKPF, angkatan
kepolisian kota itu, merasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh
anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi. Akhirnya kepala
pemerintahan Hong Kong (dulu disebut "Governor") memutuskan untuk
memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang
melakukan kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun merosot.
Tapi kemudian terbukti, kebijakan
pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu polisi Hong Kong memperbaiki diri.
Bahkan HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya oleh ICAC pada
2008. Dari sini tampak, kekuasaan -- apa pun asal-usulnya -- tak pernah
berada di sebuah ruang politik yang konstan.
Kekuasaan ICAC yang luas dan
dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya
untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan. April
2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau menganggap rekaman yang
dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal
yang mengatur penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim
pengadilan distrik menganggap ICAC telah melanggar "secara terang-terangan"
hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh
merekam percakapan mereka.
ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa
mengatakan, dirinya adalah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya
polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mereka,
seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut "normal".
Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an,
sebagaimana di Indonesia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat
di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekuasaannya yang
tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang sebelum
bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut,
dari ruang ke ruang, meminta uang.
Dalam situasi itu, kejahatan terbesar
korupsi adalah menghancurkan “modal sosial” sebuah sikap masyarakat yang
percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan kepercayaan itu
rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi "I can accept
cash", atau "I corrupt all cops") adalah indikasi hancurnya
"modal sosial". Negeri telah jadi sederet labirin yang membusuk.
Maka ICAC, terlebih lagi KPK,
lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga
sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK bahkan
lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong, komisi itu tak punya wewenang
menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.
KPK juga tak hanya harus bebas
penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong, ICAC bekerja secara
independen namun bertanggung jawab kepada "Chief Executive", yang
dulu disebut "Governor". Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab
kepada Presiden.
Keluarbiasaan itu mungkin kini tak
hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan
kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben) "daerah tak bertuan antara hukum
publik dan fakta politik". Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir
dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.
Tapi pada akhirnya kedaulatan itu
bertopang pada legitimasi yang contingent.
Tak ada dasar yang a priori yang
membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu, datang
begitu saja.
Dengan kata lain, di "daerah
tak bertuan", kekuasaan justru semakin perlu pembenaran. Apalagi
kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari
pilihan rakyat -- sumber mandat sebuah demokrasi -- melainkan dari
badan-badan yang dipilih rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar
dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun
KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti
politik ("the political")
berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap dirinya.
Maka konflik bukanlah sesuatu yang
mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film
Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis, tapi akan ada korban
manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di "daerah tak bertuan", perjuangan melawan korupsi adalah
perebutan tiap jengkal ruang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus
dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemasan,
tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar