Megawati
Itu Lucu
Garin Nugroho ; Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
25 Januari 2015
Alkisah, suatu hari Megawati merayakan hari jadi PDI-P di
Semarang dengan berkendaraan becak berdua dengan sahabatnya. Celakanya, Bapak
Tukang Becak bertubuh kurus dan pendek, sementara becak Semarang besar dan
tinggi sehingga kaki tukang becak hanya menyentuh ujung-ujung pedal pengayuh.
Sementara, suasana hiruk-pikuk masa PDI-P menyambut dengan
pekik ”merdeka” membahana. Lebih celaka lagi, Bapak Tukang Becak yang
simpatisan PDI-P ikut mengacungkan tangan ke atas meneriakkan kata ”merdeka”,
berganti tangan kanan dan kiri, melepas kemudi sembari terus mengayuh becak.
Alhasil, becak yang membawa Megawati dan sahabatnya berjalan serong kanan-kiri
seperti becak mabuk. Megawati lalu meminta Bapak Tukang Becak tidak perlu
mengacungkan tangan dan melepas kemudi becak, namun yang terjadi Bapak Tukang
Becak malah menegur Megawati tentang semangat kemerdekaan ala Bung Karno dan
terus mengacungkan tangan ke atas berteriak ”merdeka” , becak pun tidak
berhenti serong kanan dan kiri.
Kisah lucu di atas dituturkan ketika mengobrol dengan
Megawati dan beberapa sahabat terdekatnya sewaktu masih menjabat Wakil
Presiden. Bagi saya pribadi, banyak kisah lucu yang bisa dituturkan Megawati,
kisah yang kadang memperolok nasib dirinya, menunjukkan dimensi humanis yang
langka direkam banyak orang.
Kisah dari Megawati terkadang menjadi seloroh getir,
merepresentasikan drama politik besar yang menimpa dirinya sejak kecil,
remaja hingga masa sekarang. Simak, cerita sederhana Megawati ketika bertutur
periode menjelang berakhirnya kepemimpinan ayahnya-Presiden Soekarno, yang
dituturkan datar serta sedikit seloroh, namun menyimpan pengelolaan perasaan.
Megawati tidak secara langsung bertutur tentang daya tahan
kesabaran perasaannya, ketika dirinya diminta ayahnya menjamu nasi goreng
dengan ramah untuk sejumlah pemimpin mahasiswa yang datang menemui Bung karno
di Istana Negara. Sementara Bung Karno mengetahui bahwa mahasiswa-mahasiswa
itu akan menggulingkannya.
Kisah sederhana di atas, menunjukkan suatu hal yang
penting, yakni insting politik disertai kesabaran revolusioner yang sudah
terlatih menjadi bagian kehidupan Megawati melewati berbagai zaman. Sebuah
insting politik bercampur antara warisan keluarga dan pengalaman pribadi yang
menjadi kecerdasan politik instingtif yang tidak dipunyai dan bisa diajarkan
di kampus-kampus.
Ketahanan dalam drama besar politik tersebut terbaca
menjadi daya hidup Megawati dan PDI-P dewasa ini. Simak, sikap diam dan
terkadang terkesan mengurung diri, namun kemudian melakukan keputusan yang
jitu dalam momentum tertentu. Ambillah contoh, keputusan memilih Jokowi
sebagai kandidat presiden.
Alhasil, meski ia dicitrakan lawan politiknya dengan
stereotip ”keras hati, tidak terlalu pandai, dan pengendali partai dengan
keputusan serba individu”, sesungguhnya lawan politiknya sering tidak berdaya
menghadapi kecerdasan instingtif politik Megawati dengan langgam keras hati
itu.
Tersebutlah Megawati menghadiri kongres di Bali. Malam
hari sehabis kongres, Megawati ingin kuliner. Ia keluar ke lobi hotel bertemu
seseorang yang bersiap di depan lobi. Megawati memintanya mengambil mobil dan
mengantarnya berkeliling. Selepas berkeliling, Megawati balik ke hotel,
keanehan muncul, seseorang yang menyetir tersebut ternyata disambut oleh
istrinya yang kebingungan di lobi sibuk mencarinya. Selidik punya selidik,
ternyata seseorang yang dikira sopir panitia kongres adalah tamu hotel yang
akan menjemput istri, namun kekagumannya kepada Megawati menjadikannya
menuruti perintah Megawati dan merelakan dirinya menjadi sopir sementara
waktu.
Kisah di atas menunjukkan kekuatan Megawati sebagai ibu
ideologi bagi massa PDI-P dan pengagum Soekarmo, yang melahirkan kesetiaan
yang tak tergantikan, layaknya hubungan psikogis ibu dan anak. Pada
perspektif ibu ideologi ini, sesungguhnya nilai kekuatan langka yang tidak
dimiliki ketua partai lainnya.
Catatan di
atas menjadi peta sederhana yang menarik justru ketika Megawati telah
bersedia memimpin kembali PDI-P dan pemerintahan Jokowi menghadapi realitas
politik yang mulai dipenuhi ketegangan relasi dan kritik. Sementara, di
tengah politik diam Megawati yang melahirkan beragam interpretasi, semua
bertanya : Bagaimana sesungguhnya peran ibu ideologi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar