Timur
Tengah Pasca-Abdullah
Abdul Mu’ti ; Sekretaris
PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 27 Januari 2015
Setelah bertahta selama satu dasawarsa Raja Abdullah
meninggal dunia. Selama pemerintahannya, Raja Abdullah berhasil meletakkan
dasar-dasar reformasi politik, sosial, keagamaan, dan perdamaian di Arab
Saudi dan regional Timur Tengah.
Para pemimpin tertinggi negara-negara “sekutu” Arab Saudi
seperti Barack Obama (AS), Francois Hollande (Perancis), David Cameron dan
Pangeran Charles (Inggris), Erdogan (Turki), Nawaz Sharif (Pakistan) takziah
langsung dan memberikan penghormatan terakhir. Kehadiran mereka merupakan
pertanda pentingnya peranan Arab Saudi di dunia internasional.
Lima Tantangan Salman
Sesuai sistem baibaiat, Salman bin Abdul Aziz al-Saud
menduduki singgasana menggantikan Raja Abdullah. Sistem tersebut diciptakan
oleh Raja Abdullah pada 2006 untuk tiga tujuan: menjamin keberlangsungan
kepemimpinan kerajaan, menghindari perebutan kekuasaan di antara para putra
mahkota, dan menyiapkan pemimpin kerajaan yang kompeten.
Arab Saudi pernah mengalami masalah suksesi kepemimpinan
ketika Raja Faisal dibunuh pada 1975. Raja Salman berkuasa ketika Arab Saudi
berada dalam kondisi yang kuat dan stabil. Walau demikian, Salman mengalami
lima tantangan yang tidak ringan. Pertama, masalah “rumah tangga” kerajaan.
Ini terutama terkait suksesi generasi kedua pasca-Salman.
Sudah menjadi rahasia umum, terdapat rivalitas di antara para putra mahkota.
Jika Salman tidak arif membagi kekuasaan dan memelihara hubungan baik dengan
semua ahli waris kerajaan, suksesi berikutnya belum tentu aman oleh
permusuhan dalam selimut. Kedua, masalah keamanan terutama radikalisme dan
terorisme.
Dalam dua puluh tahun terakhir, Pemerintah Arab Saudi
harus bekerja keras melawan berbagai tindak kekerasan. Pada masa pemerintahan
Raja Fahd, serangkaian aksi kekerasan terjadi pada Juni 1996, Maret 2001, Mei
dan November 2003, April, Mei, Juni, dan Desember 2004.
Aparat keamanan Arab Saudi beberapa kali berhasil
menggagalkan upaya teror. Hanya ada sekali serangan teror pada masa
kepemimpinan Raja Abdullah (Februari 2007). Tetapi, negara petro dolar itu
tidaklah sepenuhnya aman. Raja Salman harus bekerja lebih keras memadamkan
bara dalam sekam, terutama dari jaringan al-Qaeda yang merupakan “anak
kandung” Kerajaan Saudi.
Ketiga,
masalah kedaulatan terutama separatisme di wilayah selatan. Arab Saudi adalah
negara yang sangat sensitif terhadap Syiah. Selain terkait ideologi, juga
terkait gerakan politik kaum separatis Syiah di perbatasan Yaman dan wilayah
timur yang kaya minyak. Ancaman separatisme lain datang dari pada pendukung Islamic State pimpinan al-Baghdadi.
Sebagai
keturunan Quraisy, al-Baghdadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan
merasa diri lebih berhak memimpin negara dibandingkan dengan keluarga Saudi.
Keempat, masalah ekonomi, terutama ancaman pengangguran. Separuh penduduk
Arab Saudi adalah kelompok muda di bawah 25 tahun.
Masalah ini
disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, kebijakan negara yang cenderung “memanjakan”.
Generasi muda Saudi dininabobokan dengan fasilitas sehingga miskin
kreativitas dan malas. Kedua, aset-aset strategis ekonomi dimonopoli oleh
keluarga kerajaan sehingga rakyat tidak memiliki akses luas. Kesenjangan
sosial yang semakin menganga bisa mengobarkan semangat melawan kerajaan.
Kelima,
masalah politik dan hak asasi manusia. Arab Saudi merupakan salah satu negara
yang paling buruk dalam penegakan hak asasi manusia, khususnya hak politik.
Pada 2009, Komisi HAM PBB mengingatkan tingginya represi dan pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Amnesti internasional
menyimpulkan Pemerintah Arab Saudi tidak bersungguh- sungguh memenuhi
komitmennya dalam pemenuhan hak-hak sipil di negaranya.
Dunia
mencatat reformasi politik yang telah dilakukan Raja Abdullah. Tetapi, bagi
para pejuang hak asasi manusia, langkah- langkah tersebut belumlah
signifikan. Merujuk Muasher (2014: 29) “...
Saudi Arabia Saudi Arabias record on political and cultural diversity,
representative government, and womens record on political and cultural
diversity, representative government, and womens rights ... does not suggest
a moderate, reformist approach.” Pemerintah Arab Saudi harus me-reken
dampak Arab Spring terhadap gerakan politik dan hak asasi manusia yang
merembet ke negaranya.
Perubahan di Timur Tengah?
Para analis
menilai Raja Salman adalah figur religius yang cenderung konservatif. Dalam
bidang ekonomi dia cenderung pragmatis. Karena itu, pemerintahan Raja Salman
tampak akan lebih memperkuat orientasi keagamaan dan memperluas pengaruh Arab
Saudi dalam bidang agama.
Dalam rangka
menjaga stabilitas keamanan dan meningkatkan ekonomi, Raja Salman tampaknya
akan lebih memperkuat pertahanan, mengefektifkan antiterorisme, dan lebih
tegas terhadap separatisme. Pilihannya adalah mempererat kerja sama dengan
pemerintahan Yaman yang konservatif untuk menekan gerakan kaum minoritas
Syiah. Jika langkah ini dilakukan, Arab Saudi akan semakin bersitegang dengan
Iran yang selama ini ditengarai mendukung gerakan Syiah.
Konstelasi
politik di Timur Tengah akan berubah jika Pemerintah Arab Saudi melakukan
ekspansi ideologi Wahabisme yang sudah dirintis sejak era 1970-an. Tujuan
utama langkah ini “merebut kembali” supremasi Arab Saudi sebagai “pemimpin”
umat Islam dunia. Arab Saudi adalah inisiator pembentukan Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dan Rabitah Rabitah Alam Islami.
Langkah
Pemerintah Arab Saudi ini tidak akan mudah. Pertama, faktor nasionalisme Arab
yang menguat setelah negaranegara Arab merdeka dari kolonialisme. Kedua,
faktor kemajuan ekonomi dan politik Turki. Dalam sejarah, Arab pernah
dikuasai oleh Turki Utsmani.
Pengaruh Arab
Saudi mulai digeser Turki terutama setelah OKI berubah menjadi Organisasi
Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation) , Juni 2011. Ketiga,
faktor perubahan kepemimpinan Iran. Sejak Revolusi Islam Iran 1979, Saudi
begitu khawatir dengan kebangkitan kaum Syiah di berbagai penjuru dunia.
Saudi juga
menaruh perhatian serius dengan membaiknya hubungan Iran dan negara-negara
Barat setelah Rouhani memegang tampuk kekuasaan. Benturan Sunni-Syiah di
Timur Tengah dengan segala dampak politik yang menyertainya adalah
perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap perdamaian.
Dalam konteks
ini kebijakan luar negeri Arab Saudi akan sangat berpengaruh terhadap penyelesaian
konflik di Suriah, Palestina, dan Mesir. Tujuan lain dari ekspansi Wahabisme
adalah meluruskan kesalahpahaman dan memperbaiki citra Pemerintah Arab Saudi.
Pascapemboman WTC 2001, citra Arab begitu buruk dan terpuruk. Sebanyak 15
dari 19 eksekutor pemegang paspor Arab Saudi.
Karena itu,
pemerintahan Raja Abdullah merintis dialog lintas iman dengan Vatikan.
Pemerintah Saudi juga mendirikan organisasi yang mensponsori dialog
antariman. Bisa jadi Raja Salman akan meninjau ulang kebijakan ini. Citra
Arab sebagai “agen” radikalisme dunia belum berubah sepenuhnya.
Selain itu,
kedekatan dengan Barat justru membangkitkan radikalisme dan sentimen
anti-Barat di dalam negeri. Perubahan kepemimpinan di Arab Saudi tentu akan
berpengaruh terhadap Indonesia. Secara keagamaan, bangsa Indonesia memiliki
emosional keagamaan danpendidikanyangkuat.
Diperkirakan,
ada jutaan warga negara Indonesia ber-mukim di Arab Saudi. Indonesia juga
sangat berkepentingan terkait jamaah haji dan umrah yang jumlahnya ratusan
ribu tiap tahun. Ratusan warga negara Indonesia (WNI) menunggu
eksekusipidanamati. Berbagai ketegangan keagamaan di dalam negeri, khususnya
yang terkait kaum Syiah, ditengarai terjadi karena faktor ekspansi ideologi
Saudi.
Pemerintahan
baru Indonesia perlu mengambil momentum kepemimpinan baru di Arab Saudi untuk
memperbarui hubungan dan menyelesaikan berbagai permasalahan ketenagakerjaan,
pendidikan dan keagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar