Advokat
dan Tuduhan Keterangan Palsu
Amir Syamsudin ; Advokat
dan Mantan Menteri Hukum dan HAM
|
KOMPAS,
28 Januari 2015
SAAT ini publik dikejutkan dengan penangkapan Bambang
Widjojanto terkait dugaan kejahatan Pasal 242 KUHP juncto Pasal 55 KUHP.
Sebab, pada saat itu dia bertindak sebagai kuasa hukum Ujang Iskandar, calon
bupati dari Partai Demokrat, dalam kasus Pilkada Kotawaringin Barat melawan
Sugianto Sabran, calon bupati dari PDI-P.
Bambang Widjojanto (BW) diduga telah menganjurkan saksi
memberi keterangan yang tidak benar alias palsu di persidangan Mahkamah
Konstitusi (MK). Tuduhan itu cukup mengejutkan karena kasus ini adalah kasus
pertama seorang advokat menjadi tersangka atas tuduhan sebagai pelaku pidana
pemalsuan terkait dengan pembelaan terhadap kliennya.
Tindak pidana pemalsuan
Pemalsuan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang
telah diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan Bab IX KUHP dengan judul ”Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu”.
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur
ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (obyek) yang sesuatunya itu tampak
dari luar seperti benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang
sebenarnya.
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap
dua norma dasar. Pertama adalah norma kebenaran (kepercayaan) yang
pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan. Kedua
adalah norma ketertiban masyarakat yang pelanggarnya tergolong dalam kelompok
kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
Terkait dengan kasus BW di atas, tidak ada tindak pidana
sendiri yang mengatur tentang kejahatan bagi seorang advokat yang
menganjurkan saksi persidangan memberi keterangan palsu di depan sidang
pengadilan sehingga tuduhan terhadap BW dikaitkan dengan ketentuan Pasal 55
Ayat (2) yang mengatur tentang pembujukan, uitlokking.
Pasal 242 Ayat (1) berbunyi , ”Barang siapa dalam hal-hal yang menurut undang-undang menuntut
sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi
hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang di atas sumpah, baik
dengan lisan maupun tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang
khusus untuk itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.” Kemudian, Pasal 55 Ayat
(2) berbunyi, ”Barang siapa yang
dengan, pemberian janji-janji, penyalahgunaan wewenang, kekerasan, ancaman,
tipu muslihat, atau dengan cara memberi kesempatan, sarana atau informasi
sengaja menganjurkan atau membujuk (dilakukannya) suatu tindak pidana akan
dipidana sebagai pelaku kejahatan.”
Pertanyaannya, kapan seorang ”saksi atau pembujuk saksi”
di depan persidangan dapat dihukum karena memberi keterangan palsu melanggar
Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP? Agar seorang saksi persidangan yang memberi
keterangan palsu dapat dihukum, harus memenuhi syarat formal dan material.
Syarat formalnya adalah seorang saksi persidangan dituduh memberi keterangan
palsu di persidangan harus ada penetapan hakim sidang.
Syarat materialnya adalah harus atas sumpah, keterangan itu diwajibkan menurut UU atau
menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu, dan
keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuannya diketahui oleh si
pemberi keterangan (saksi).
Pembujuk saksi palsu di dalam persidangan menurut hukum
harus memenuhi unsur-unsur pidana, antara lain adanya kesengajaan
menggerakkan orang lain, melakukan suatu tindakan yang dilarang undang-undang
dengan bantuan sarana sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 55 Ayat (2) KUHP,
keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan (secara
psikis), dan orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan
rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak
pidana.
Advokat dan saksi
Pertanyaannya kemudian, seorang advokat terkait dengan
upaya pembelaan terhadap kliennya kemudian telah mengarahkan saksi
persidangan memberi keterangan palsu, apakah yang bersangkutan dapat dituntut
melakukan tindak pidana pemalsuan melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 Ayat (2) KUHP.
Seorang advokat di dalam melakukan tugas profesionalnya di
dalam membela kliennya, pada hemat kami, tidak dapat dituntut melakukan
”pembujukan” terkait kejahatan pemberian keterangan palsu menurut Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP disebabkan unsur
”sarana pembujukan” sebagaimana disebutkan oleh ketentuan Pasal 55 Ayat (2)
KUHP tidak terpenuhi.
Di dalam melakukan pembelaan terhadap klien, seorang
advokat tidak memerlukan sarana pembujukan, seperti pemberian, janji-janji,
penyalahgunaan wewenang, kekerasan, ancaman, dan tipu muslihat, atau dengan
cara memberi kesempatan, sarana, atau informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 Ayat (2) KUHP. Pembujukan hanya dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana tergantung pada (ada/tidaknya) sejumlah ”sarana pembujukan”
yang diperinci dengan tegas oleh Pasal 55 Ayat (2) tersebut.
Saksi dan keterangan saksi menurut Pasal 185 KUHAP
memiliki penerapan sendiri, tidak tergantung pada palsu atau tidaknya
keterangan yang diberikan, tetapi apakah keterangan tersebut memiliki nilai
kekuatan pembuktian atau tidak. Apalagi, setiap saksi ketika dihadirkan di
depan persidangan, yang bersangkutan selalu diingatkan oleh hakim (imperatif
sifatnya) untuk memberi keterangan dengan benar tentang apa yang diketahui,
dilihat, dan dialaminya sendiri karena terikat sumpah. Jadi, menurut pendapat
kami, terkait dengan keterangan saksi di persidangan tidak berlaku ketentuan
Pasal 55 KUHP.
Dengan demikian, jelas apa pun anjuran atau pembujukan
yang dilakukan seorang advokat terhadap saksi persidangan tidak memenuhi
persyaratan Pasal 55 Ayat (2) KUHP sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan
sebagai ”pembujukan” dalam hukum pidana karena yang bersangkutan tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas keterangan yang diberikan seorang saksi di depan
persidangan. Selain tidak ada unsur kesalahan, tidak memenuhi persyaratan
sarana di dalam pembujukan Pasal 55 Ayat (2) KUHP juga disebabkan seorang
saksi di depan persidangan bertanggung jawab sendiri atas seluruh keterangan
yang diberikan di depan persidangan tentang apa yang dilihat, didengar, dan
dialaminya sendiri.
Kasus dugaan
pemalsuan oleh BW harus menjadi perhatian dan tak bisa dianggap enteng para
advokat. Publik mungkin lebih tertarik dengan masalah polisi versus KPK.
Namun, masalah tuduhan terhadap seorang advokat harus pula menjadi perhatian
bersama para advokat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar