MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2015
Artikel TA ini kemudian dimuat juga di KORAN TEMPO 28 Januari
2015
http://koran.tempo.co/konten/2015/01/28/363465/Tarif-Murah-vs-Keselamatan-Penerbangan |
PASCAJATUHNYA Air Asia QZ8501,
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menggulirkan kebijakan baru, yakni
menaikkan tarif batas bawah pada pesawat terbang menjadi 40% dari tarif batas
atas. Bahkan, Menhub diklaim ingin menghapus praktik penerbangan berbasis tarif
murah low cost carrier (LCC) demi
meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia. Keselamatan dalam
bertransportasi ialah prioritas pertama dan utama.Tak ada toleransi sedikit
pun dalam hal itu.
Dalam konteks itu, upaya Menhub
untuk meningkatkan keselamatan penerbangan patut diapresiasi. Namun, jika
menggunakan instrumen tarif LCC untuk menggapai hal tersebut, itulah yang
harus kita sikapi secara kritis. Benarkah LCC menjadi pemicu rendahnya
keselamatan penerbangan di Indonesia, yang sejak 2007--menurut US Federal Aviation Administration
(FAA), bertengger pada rating kedua? Sementara keselamatan penerbangan di
negeri jiran, Singapura, dan Malaysia bertengger di rating pertama.
Deregulasi penerbangan
Bermula dari dibukanya keran
deregulasi penerbangan di Indonesia pada 2000, penumpang pesawat di Indonesia
terus melonjak.Ani mo masyarakat bermigrasi ke transportasi udara begitu
tinggi. Tidak mengherankan jika pada 2015, jumlah penumpang pesawat di
Indonesia diprediksi lebih dari 100 juta orang. Guna menyongsong deregulasi
penerbangan dimaksud, salah satu strategi maskapai menggaet konsumen ialah
menerapkan penerbangan berbasis LCC.
Strategi itu tampaknya cukup
ampuh. Terbukti dari total jumlah penumpang pesawat, yakni 60-65% ialah
kelompok pengguna budget traveller dan hanya 40% yang premium traveller.
Untuk mewujudkan LCC, umumnya maskapai mengurangi inflight services, seperti tak ada makan minum, tak ada hiburan,
tempat duduk dipersempit, pengaturan kelas tempat duduk, tiket promosi,
online check-in, dan peniadaan kelas bisnis atau eksekutif. Di atas kertas,
jika pengawasan regulator kuat, maskapai yang menerapkan LCC rasanya tidak mengurangi
hal-hal prinsip yang terkait dengan keselamatan penerbangan, misalnya biaya maintenance.
Bandara over kapasitas
Saat industri penerbangan di
Indonesia begitu agresif, ironisnya kesiapan infrastruktur dan sumber daya
manusia di sektor penerbangan justru sangat tidak mendukung. Lihatlah, jumlah
airport (bandara) masih sangat minim, dan over kapasitas. Nyaris semua
bandara besar (dan sedang) di Indonesia mengalami overcapacity. Sebagai contoh, Bandara Soekarno Hatta (Soetta)
overkapasitasnya sangat akut. Bandara Soetta didesain hanya untuk menampung
19-20 juta penumpang per tahunnya, tetapi kini sudah mencapai 59-60 juta
penumpang per tahun. Pantas saja potret pelayanan Bandara Soetta bak terminal
bus. Padahal, Bandara Soetta ialah `jendela' bagi Indonesia. Bagi sektor
penerbangan, bandara yang memadai menjadi prasyarat utama yang tak bisa
ditawar (no bargain).
Pilot minim
Dari sisi sumber daya manusia juga
sami mawon. Terbukti, minimnya
jumlah pilot. Kini pilot lokal yang mengantongi sertifi kat terbang hanya
5.500. Jumlah itu masih sangat kurang dari segi kebutuhan. Menurut Federasi Pilot Indonesia, masih kurang
8.000 9.000 pilot, sedangkan sekolah pilot yang ada di Indonesia hanya mampu
meluluskan 650-an pilot baru per tahun. Untuk menutup kekurangan itu, airline
mengimpor pilot asing yang kini jum lahnya tak kurang dari 700-an orang. Impor
pilot asing masih bisa dimaklumi, tetapi ka lau yang terjadi ialah
`mengeksploitasi' jam terbang pilot, itu persoalan yang sangat serius.
Selain pilot, sumber daya manusia
yang masih sangat kurang bagi dunia penerbangan di Indonesia ialah petugas
pengatur lalu lintas udara air traffic controller (ATC). Menurut Indonesia Air Traffic Control Association
(IATCA), jumlah petugas ATC di Indonesia saat ini hanya 1.200-an. Dari
2.200-an orang yang dibutuhkan (masih kurang 1.000-an). Bahkan, yang tak
kalah ironisnya, petugas pengawas atau inspektur untuk mengawasi kinerja
maskapai pun masih kurang. Kemenhub sebagai regulator atau pengawas saat ini
hanya memiliki 100 orang principal
operation inspector (POI) dan principal
maintenance inspector (PMI). Konon, Kemenhub justru meminjam inspektur
maskapai untuk memeriksa maskapai. Bagaimana mungkin mengawasi kinerja
maskapai secara independen jika petugas inspekturnya kurang? Padahal, jumlah
armada pesawat terus bertumbuh. Semua maskapai berlomba mendatangkan pesawat
baru. Lion Air menargetkan 1.000 armada.
Itulah berbagai persoalan krusial
yang kini membelit industri penerbangan di Indonesia. Bukan hanya persoalan
finansial dan manajerial maskapai, melainkan juga justru regulatorlah yang
dibelit persoalan, yakni infrastruktur bandara minim dan overkapasitas,
teknologi ATC masih kuno, serta kurangnya petugas ATC dan petugas inspektor.
Minimnya jumlah pilot memicu desas desus tidak sedap, yakni pilot `diekspoloitasi'
demi mengejar pendapatan setinggi tingginya.
Minimnya petugas inspektur
mengakibatkan pengawasan regulator terhadap operator mandul. Regulator nyaris
tak berdaya berhadapan dengan operator yang kian agresif itu. Apalagi,
meminjam sinyalemen mantan Menteri Perhubungan era Presiden Abdurrahman Wahid
(Budi Mulyawan Suyitno), bahwa operator akan bersih jika regulatornya juga
bersih. Ibarat seekor ikan, jika badannya busuk, pasti kepalanya juga busuk.
Ada sinyal kuat bahwa oknum regulator bermain patgulipat dengan operator.
Dengan demikian, jika Menhub Jonan
meniadakan tarif LCC dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan
di Indonesia menjadi tidak relevan. Aspek ketidakberesan infrastruktur
bandara, teknologi ATC, pilot, petugas ATC, petugas inspektur, serta lemahnya
pengawasan oleh regulator (dugaan patgulipat), yakni jauh lebih krusial
mereduksi keselamatan penerbangan di Indonesia daripada persoalan pentarifan.
Tarif murah bukanlah penyebab
utama buruknya keselamatan penerbangan di Indonesia dan bukan pula menjadi
jaminan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Maskapai dari negara maju
pun lazim menerapkan LCC dan amanaman saja, seperti maskapai di Singapura,
Australia, dan Jepang. Alih-alih menaikkan besaran tarif LCC (menghapus?)
hanya akan menggerus hak-hak publik untuk menggunakan moda transportasi udara
yang manusiawi, aman, dan terjangkau (affordability).
Sektor pariwisata, bahkan pertumbuhan makro
ekonomi pun bisa terancam karenanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar