Manuver
Barbar Hancurkan KPK
Feri Amsari ; Dosen
Hukum Tata Negara Universitas Andalas;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas
Andalas
|
DETIKNEWS,
27 Januari 2015
Acap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 'diterjang
badai' serangan balik para koruptor (corruptors
fight back). Lembaga antirasuah itu bahkan kerap berada di ujung tanduk.
Namun semuanya mampu dilewati, KPK selalu bertahan dan terselamatkan berkat
pertolongan masyarakat. Kini KPK kembali diuji cobaan berat.
Ketua KPK Abraham Samad menjadi pusat permasalahan ketika
dituduh 'duduk bersama tim sukses' Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) untuk membicarakan bursa calon wakil presiden pada pemilu presiden
(pilpres) 2014 lalu. Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDIP Hasto
Kristiyanto yang mengungkapkan hal itu. Masalah kian berat ketika Wakil Ketua
KPK Bambang Widjojanto ditangkap polisi seperti penjahat yang akan melarikan
diri.
Untuk melihat masalah ini lebih jernih, ada baiknya
permasalahan pimpinan KPK di atas disigi satu per satu. Dalam kasus Abraham,
pernyataan Hasto itu memperlihatkan bagaimana PDIP bekerja memenangkan
pertarungan. Sebagai aparat penegak hukum, Abraham dirayu untuk lari dari
konsistensinya sebagai orang terdepan dalam pemberantasan korupsi. Jadi,
sebelum mempertanyakan etika Abraham, PDIP harus terlebih dulu berkaca
terhadap segala tindakannya tersebut. Lalu, kondisi apa yang menyebabkan
Hasto berani malu membongkar aib partai sendiri?
Sulit bagi PDIP untuk menghindari dugaan bahwa pernyataan
Hasto berkaitan dengan tertundanya pelantikan Budi Gunawan (BG) sebagai
Kepala Polri. Pernyataan Hasto seolah Abraham menaruh dendam terhadap BG,
yang dianggap menggagalkannya sebagai calon wapres PDIP, patut dikritisi.
Sejauh manakah pengaruh BG dalam menentukan kebijakan PDIP sehingga dapat
menentukan siapa yang berhak menjadi calon wapres atau tidak? Bukankah BG
merupakan aparat penegak hukum yang harus independen?
Jadi pernyataan Hasto itu tidak boleh menjadi alasan bagi
publik mencurigai kinerja KPK. Setidaknya terdapat tiga alasan agar publik
tidak terpengaruh 'hasutan' PDIP.
Pertama, asas satu saksi bukanlah saksi (unus testis
nullus testis, Pasal 169 HIR/306 R.Bg) harus dijadikan pedoman dalam melihat
perkara ini. Keterangan yang disampaikan Hasto bukan berarti kebenaran
mutlak, sebab tuduhannya berpotensi menjadi fitnah yang berupaya
menghancurkan kesolidan internal KPK. Jika pun pertemuan itu terjadi,
keinginan Abraham menjadi calon wapres bukanlah kejahatan pidana. Apalagi
jika Ketua KPK itu tidak menjanjikan kepada PDIP keuntungan apa pun yang
terkait dengan jabatannya.
Kedua,
penetapan status tersangka BG tidak dapat dikaitkan dengan hasrat Abraham
menjadi calon wapres. Sebab, Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK menyatakan bahwa pimpinan KPK bekerja secara kolektif. Penentuan
seseorang sebagai tersangka adalah kerja bersama pimpinan KPK. Suara Abraham
hanya satu dari lima (sekarang empat) suara pimpinan yang ada. Sehingga,
penetapan BG sebagai tersangka tidak dapat dibatalkan dengan langkah hukum
apa pun.
Ketiga, sebaiknya publik melihat kasus
penundaan pelantikan Kepala Polri dan status tersangka yang menimpanya dengan
fokus kepada dugaan pidana korupsi yang melibatkannya. Segala hal yang
kemudian menyertai proses pemilihan Kepala Polri harus dianggap sebagai
kekuatan politik yang tidak senang kepada kinerja KPK.
Ada politik
tingkat tinggi yang sedang bermain untuk menyudutkan KPK hingga berada di
ujung tanduk. Dalam kasus penangkapan Bambang, publik sesungguhnya sudah
dipertontonkan aksi barbar kepolisian dalam upaya menghancurkan KPK. Tidakkah
bisa dijelaskan terlebih dulu apa sebabnya Bambang ditahan? Cara penangkapan
itu sangat kasar dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan.
Menghalangi Proses Hukum
Apabila
tindakan Hasto bertujuan hendak menghentikan proses hukum kasus rekening
gendut yang menimpa BG, perbuatan tersebut adalah pidana menghalang-halangi
proses penegakan hukum (obstruction of
justice). Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).”
Perlu
ketegasan tersendiri bagi KPK dalam menyikapi serangan yang dilakukan ke
tubuh KPK. Sebab, serangan itu diarahkan kepada pribadi pimpinan KPK secara
terencana. Mulai dari penyebaran foto-foto rekayasa perselingkuhan Abraham
Samad hingga tuduhan bermain politik dalam pencalonan wapres. Bahkan
penangkapan Bambang Widjojanto merupakan indikasi tegas bahwa terdapat
pergerakan terorganisasi untuk menyudutkan hingga menghancurkan lembaga yang
membanggakan ini.
KPK tidak
mempunyai kekuatan apa pun untuk melawan institusi Polri korup yang didukung
kekuatan politik, kecuali peran masyarakat dalam melindungi KPK. Melihat
ancaman di tubuh KPK saat ini, saatnya elemen publik kembali bahu-membahu
menghadapi upaya menghancurkan lembaga antirasuah ini. Jika tidak, kita akan
kehilangan sebuah harapan besar agar Indonesia bersih dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Mari selamatkan KPK sekali lagi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar