100 Hari
Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla
Janji
yang Tak Tampak
Hermas E Prabowo ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
30 Januari 2015
SESUAI agenda Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla, pemerintah ingin mewujudkan kemandirian pangan. Dalam praktiknya,
agenda membangun program kemandirian pangan dan kesejahteraan produsen
pangan, yakni petani, kerap terabaikan. Pemerintah terlalu fokus pada target
pencapaian swasembada pangan yang keberhasilannya lebih mudah diukur dan
pencapaiannya lebih mudah daripada memprioritaskan peningkatan kesejahteraan
petani.
Ada masalah yang tidak pernah diungkap transparan, yakni
seberapa besar peningkatan pendapatan petani bisa dicapai melalui peningkatan
produktivitas dan luas areal pertanaman.
Jika pendapatan petani naik, apakah mereka menjadi
sejahtera? Apakah pendapatan yang naik sedikit itu tidak akan tergerus
inflasi akibat naiknya kebutuhan hidup, atau justru lebih parah lagi kenaikan
pendapatan yang sedikit itu tertimbun inflasi?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada
1993-2013 rata-rata peningkatan produktivitas petani hanya 0,82 persen. Pada
periode yang sama, inflasi rata-rata meningkat 11,3 persen per tahun. Dari
data ini terlihat, daya beli dan tingkat kesejahteraan petani berangsur-angsur
turun. Kondisi ini bisa menjadi alasan berkurangnya 5,1 juta rumah tangga
petani pada 2003-2013.
Pendapatan petani pangan rata-rata Rp 1 juta per bulan.
Jumlah ini jauh di bawah pendapatan buruh pabrik yang rata-rata sudah di atas
Rp 2 juta per bulan.
Saat ini, lebih dari 5 juta rumah tangga petani (RTP)
memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Dengan asumsi setiap RTP terdiri
atas empat orang, ada 20 juta jiwa yang menggantungkan pendapatan pada lahan
0,5 hektar itu.
Jamak terjadi, petani tidak selalu panen akibat serangan
hama-penyakit dan perubahan iklim global. Peningkatan produktivitas tanaman
pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai, pasti meningkatkan pendapatan
petani. Namun, hal itu belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan petani karena
peningkatan pendapatan sangat terbatas.
Bagaimana dengan peningkatan indeks pertanaman (IP)? Lahan
pertanian yang belum beririgasi umumnya berada di luar Pulau Jawa. Petani
pangan di Jawa dikenal ulet, gigih, kreatif, dan pantang menyerah. Di mana ada
air mengalir, petani akan memanfaatkannya untuk mengairi lahan. Tanpa ada
saluran irigasi teknis/semiteknis, selama daerah itu terjangkau aliran air,
petani akan mencetak sawah.
Di Jawa, ruang bagi peningkatan IP pangan dalam skala luas
sangat sempit. Padahal, di situlah basis petani miskin. Memang di
daerah-daerah tertentu di bagian tengah dan selatan Jawa, di areal perbukitan
dan pegunungan, ada potensi peningkatan IP. Alasannya, sumber air sungai
tersedia.
Persoalannya, skalanya kecil dan sangat tidak efisien.
Misalnya, butuh investasi hingga ratusan juta rupiah untuk membangun bendung
guna menaikkan elevasi air sungai untuk irigasi yang hanya memenuhi kebutuhan
50 hektar lahan.
IP di lahan itu akan naik berlipat-libat, dari satu
menjadi tiga. Pertanyaannya, apakah hal itu efisien dan bisa dijalankan
dengan standar penganggaran pembangunan irigasi yang berbasis pada luas
lahan?
Dengan rata-rata kepemilikan lahan pertanian kurang dari
0,5 hektar di Jawa, petani pangan tidak bakal hidup sejahtera. Instrumen
utama peningkatan pendapatan, yaitu peningkatan produktivitas dan IP, tidak
mampu mendongkrak pendapatan petani gurem di Jawa secara signifikan.
Kondisi sebaliknya terjadi di luar Pulau Jawa karena
rata-rata IP masih rendah, satu atau dua kali tanam dalam setahun. Luas
rata-rata kepemilikan lahan pertanian di luar Jawa minimal satu hektar.
Bergema di Istana
Di Jawa sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan
bagaimana menetapkan target budidaya pertanian pangan. Sadar tidak akan bisa
sejahtera dengan lahan 0,5 hektar atau kuran, petani kecil di Jawa umumnya
menjadikan usaha pertanian pangan sebagai pekerjaan sambilan.
Target mereka tidak meningkatkan produktivitas
setinggi-tingginya, tetapi agar bisa rutin panen setiap kali tanamsehingga
memilih benih padi, jagung, atau kedelai yang biasa ditanam dan dikenali
karakternya.
Tujuan utama budidaya pangan yang mereka lakukan tidak
untuk meraih pendapatan setinggi-tingginya, tetapi sekadar memenuhi kebutuhan
makan keluarga.
Dalam konteks ini saja sudah tidak ada kesesuaian target
antara pemerintah dan petani sebagai produsen pangan. Pemerintah
menggebu-gebu ingin menaikkan produktivitas dan produksi pangan. Di sisi
lain, petani kecil yang merupakan persentase terbesar petani di Indonesia
menjadikan target pemenuhan pangan keluarga sebagai tujuan utama. Kalau ada
sisa, baru dijual. Inovasi berisiko dan mereka tidak mau mengambil risiko
karena kegureman usaha taninya.
Melihat kenyataan di atas, keinginan pemerintah
meningkatkan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan tidak sejalan
dengan harapan dan keinginan petani, terutama petani kecil. Oleh karena itu,
upaya membangun pencapaian swasembada pangan tidak bergaung di tingkat
petani.
Gema swasembada pangan hanya ada di Istana Negara, Kementerian
Pertanian, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten, mulai senyap di
kecamatan dan desa, serta denyutnya lemah di tingkat rumah tangga petani.
Program pencapaian swasembada pangan dengan anggaran besar
bagaikan menepuk ruang hampa. Peningkatan produksi pangan lebih bergantung
pada nasib baik dan kondisi iklim yang mendukung daripada program-program
pemerintah. Tentu program itu bermanfaat, tetapi masih jauh dari yang
diharapkan.
Upaya memotivasi petani agar sejahtera menjadi hal utama
jika ingin mencapai swasembada pangan berkelanjutan. Upaya memotivasi yang
dilakukan harus realistis dan terukur.
Kalau tidak mungkin menyejahterakan petani padi, jagung,
dan kedelai, atau komoditas lain, seperti gula dan daging sapi, dengan skala
usaha kecil, solusinya tentu harus meningkatkan skala usaha. Dengan
meningkatkan skala usaha, pendapatan petani akan naik berlipat-lipat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar