Akar
Ideologis Terorisme Keagamaan
Haidar Bagir ; Pengajar
Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina
|
KOMPAS,
29 Januari 2015
HARIAN Kompas
(15/1/2015) menyajikan tulisan menarik karya Noor Huda Ismail berjudul ”’Je Suis Charlie’ dan Terorisme di
Perancis”. Tulisan itu menyitir gagasan tentang lethal cocktail (campuran
mematikan) terkait tiga faktor yang mendorong orang terlibat dalam kekerasan
atau terorisme: individu yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi,
dan ideologi yang membenarkan.
Tulisan ini berusaha mengelaborasi akar-akar sosial-psikologis yang menyediakan ramuan bagi ketiga faktor
tersebut, khususnya ideologi yang membenarkan itu.
Zaman kita adalah zaman berkelimpahan. Namun, pada saat
yang sama, inilah zaman kegalauan. Kata pujangga kita, Ranggawarsita, inilah
zaman Kalabendu.
Jangankan bagi orang yang hidupnya susah secara ekonomi,
bagi orang-orang yang hidupnya berkecukupan, tekanan hidup semakin keras:
tuntutan kebutuhan artifisial yang terus muncul, beban pekerjaan yang overwhelming, lingkungan hidup yang kurang bersahabat dan
cenderung nafsi-nafsi, kerumitan kehidupan keluarga yang semakin meningkat
(ancaman terhadap hubungan suami/istri dan institusi perkawinan, juga semakin
besarnya tantangan terhadap pendidikan anak) telah membuat banyak orang
mengalami stres.
Dekonstruksi narasi besar
Agama dan spiritualitas, yang seharusnya dapat menjadi
oase tempat orang bisa melakukan tetirah,
justru malah sempat terpinggirkan. Kesemuanya ini berkontribusi pada lahirnya
perasaan teralienasi, bahkan dari diri sendiri, yang cenderung melahirkan
masyarakat yang depressed. Keberlimpahan serta kemajuan sains dan teknologi
yang tadinya dianggap bisa menjadi penopang kebahagiaan hidup justru
meninggalkan kehampaan psikologis dan spiritual karena hanya menegaskan
kenyataan bahwa—setelah semua keberlimpahan itu tercapai—kebahagiaan hidup
tak dapat ditemukan di situ.
Sayangnya, semangat dan mood zaman kita malah tidak membantu. Inilah zaman yang dicirikan
oleh gejala posmodernistik dalam bentuk arus dekonstruksi atas narasi-narasi
besar (grand narratives), termasuk
di dalamnya terhadap agama. Kenyataannya, zaman posmodernistik menandai
perubahan dari pengaruh menentukan agama dalam kehidupan masyarakat menuju
penguatan terhadap sekularisme, kalau malah bukan permusuhan terhadap agama.
Disimbolkan oleh tokoh Zarathustra-nya Nietzsche, zaman
kita seperti menyeru, ”Agama sudah mati!” Maka, jadilah zaman ini suatu zaman
yang di dalamnya penganutan agama terdedahkan pada kegamangan. Tak seperti
pada masa-masa lampau, di zaman ini, memeluk suatu keimanan bukanlah sesuatu
yang mudah. Ia selalu berada dalam ancaman dekonstruksi dan peragu-raguan,
baik oleh pemikiran sekuler, rasionalistik, dan materialistik maupun oleh
keragaman pemikiran keagamaan intra-agama sendiri yang semakin menjadi-jadi.
Gejala ini menjadi semakin kuat dengan adanya information
spill over (peluberan informasi) sebagai konsekuensi semakin digdayanya
teknologi informasi yang merupakan pilar era informasi dan globalisasi. Tak
seperti dulu, para pemeluk agama tak bisa lagi mengisolasi diri dari banjir
informasi yang mengancam kepercayaan
mereka. Televisi, internet, dan media sosial mencegat di mana-mana dengan
informasi yang menghantam orang bagai tsunami. Maka, banyak orang, karena
tidak lagi punya waktu dan energi untuk meng-engage berbagai pemikiran dan
informasi yang membanjir itu, berusaha mencari pegangan keyakinan yang simpel
(baca: simplistik) dan instan, tetapi pada saat yang sama, menjamin
ketenteraman hidup berkat janji keselamatan dunia akhirat yang ditawarkannya.
Nah, kebutuhan seperti ini sulit dipenuhi oleh para
pemikir dan ulama berkualitas yang cenderung menolak terkungkung dalam paham
keagamaan monolit dan tertutup. Bagi para agamawan seperti ini, sudah
seharusnya agama mengakomodasi
pluralitas yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Maka, bagi para penganut agama yang mengalami kebingungan
dan disorientasi—tetapi sudah telanjur kelelahan ini—kebutuhan akan pegangan
seperti ini dengan sangat baik dipenuhi oleh orang-orang yang membawa
paham-paham keyakinan yang bersifat fundamentalistik, integristik-total, dan
mengklaim diri sebagai satu-satunya dari kebenaran.
Orang-orang model seperti ini bukan hanya mengklaim bahwa
paham mereka pasti benar, bahkan lebih jauh memastikan bahwa yang selain
dirinya pasti salah dan membawa penganutnya jauh dari keselamatan dunia
akhirat. Dari para guru seperti inilah mereka merasa mendapatkan jaminan
keselamatan yang mereka cari juga ketenteraman dalam penganutan keimanan.
Sayangnya sikap-sikap sekelompok guru agama seperti ini masih diperparah oleh
perasaan bermusuhan yang meluap-luap kepada semua orang di luar mereka, baik
yang dianggap sebagai musuh agama, maupun—termasuk orang-orang yang seagama
dengan mereka—yang dianggap mendukung para musuh agama tersebut.
Penafsiran keagamaan
Bercampur dengan frustrasi yang diakibatkan oleh
faktor-faktor sosial ekonomi serta imbas persaingan kelompok politik dan
keagamaan lokal, regional, dan internasional yang menyediakan patronase—dua
bahan bagi ramuan mematikan ala
Richardson—”sekadar” paham ekstrem atau fundamentalistik bisa melahirkan
radikalisme dan terorisme keagamaan seperti yang kita saksikan semakin terasa
menjadi-jadi belakangan ini.
Maka, menjadi tugas para agamawan dan pemikir keagamaan
moderat untuk menawarkan suatu paham atau penafsiran keagamaan yang mampu
menjadi tandingan pemahaman sempit kaum fundamentalis dan radikal. Penulis
merasa bahwa sejenis pemahaman keagamaan yang bersifat mistik (sufistik) kiranya
merupakan alternatif yang paling efektif.
Sebelum yang lain-lain, sifat mistisisme yang menekankan pada
pembinaan dan perawatan kedekatan manusia kepada Tuhan-nya dapat memberikan
perasaan tenteram, kebahagiaan, dan jaminan keselamatan yang dicari semua
orang.
Selanjutnya, tak seperti fundamentalisme dan radikalisme
yang berporos pada eksklusivisme, kebencian, dan penggunaan kekerasan dalam
mencapai tujuan, mistisisme didominasi oleh inklusivisme, cinta, dan
kedamaian. Di sisi lain, mistisisme (sufisme) memang memberi ruang
seluas-luasnya bagi–bahkan cenderung tak melanggar ranah—urusan-urusan
duniawi sejauh ia diupayakan dengan memelihara moralitas dan moderasi.
Jadi,
sebaliknya menghambat bagi upaya-upaya ”sekuler” umat manusia, nilai-nilai
mistisisme justru kondusif terhadapnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar