Revisi
UU Pemilihan Kepala Daerah
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Januari 2015
BOLEH jadi, Undang-Undang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan Kepala Daerah)
merupakan produk hukum yang berasal dari proses yang sangat unik. Bahkan,
dari sejarah pembentukan UU di Indonesia, produk hukum ini memiliki sejarah
dan hikayat manuver yang amat berliku. Karena posisi tersebut, produk hukum
yang berupaya memberi makna terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 ini layak
dipertimbangkan untuk diajukan dan dicatat dalam Museum Rekor Indonesia.
Bila hendak menoleh ke belakang,
UU Pemilihan Kepala Daerah ini berasal dari posisi politik pemerintah (yaitu
Kementerian Dalam Negeri) mengubah pola yang berupaya mengubah pola pemilihan
kepala daerah dari dipilih secara langsung menjadi dipilih anggota DPRD.
Namun, begitu mengetahui kemungkinan reaksi mayoritas kekuatan politik di
DPR, pemerintah menggeser keinginannya menjadi hanya gubernur yang dipilih
DPRD dan bupati/wali kota tetap dipilih langsung. Lalu, posisi ini berubah
lagi; gubernur dipilih langsung, sebaliknya bupati/wali kota dipilih anggota
DPRD.
Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah
memilih mengalah menghadapi keinginan politik di DPR; tetap mempertahankan
pola pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Begitu pemerintah
berubah sikap dengan menyetujui model pemilihan langsung, setelah hasil
Pemilu Anggota Legislatif 2014 diketahui dan polarisasi politik di sekitar pemilihan
presiden dan wakil presiden, mayoritas partai politik (parpol) di DPR berputar
haluan dengan cara mendukung pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD.
Sama-sama diketahui, proses
persetujuan UU Pemilihan Kepala Daerah (26/9/2014) menghasilkan drama politik
yang menggelikan. Bahkan setelah disetujui,
drama politiknya menjadi kian seru yang ditandai dengan penolakan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, sebagai salah satu pihak yang memiliki
kewenangan sama besarnya dengan DPR, penolakan tersebut mesti disampaikan
pada proses persetujuan bersama dengan DPR. Artinya, secara konstitusional,
jika pemerintah (baca: presiden) tidak setuju, rancangan undang-undang tidak
akan menjadi UU.
Keunikan tersebut berlanjut dengan
sangat singkatnya wajtu pemberlakuan UU No 22/2014. Hanya dalam hitungan jam,
UU No 22/2014 dicabut keberlakuannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2014 (Perppu No 1/2014).
Sebagaimana diketahui, parpol yang
pada saat pembahasan di DPR mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD
tiba-tiba berbalik arah mendukung Perppu No 1/2014. Apa pun pertimbangan di
balik perubahan sikap parpol tersebut, kita tentu memberikan apresiasi karena
mereka telah kembali ke jalan yang benar; memulihkan daulat rakyat dalam menentukan
kepala daerah.
Keniscayaan revisi
Sebagai sebuah produk hukum yang
dituntaskan dalam periode proses politik dengan tensi tinggi, hampir dapat
dipastikan sebagian substansinya memiliki kelemahan. Oleh karena itu, melakukan
perubahan atas beberapa substansi menjadi semacam keniscayaan yang tak
terelakkan.
Pada titik itu, publik perlu
memberikan apresiasi lain terhadap anggota DPR karena pembahasan persetujuan
Perppu No 1/2014 berlangsung sangat singkat. Dengan pembahasan yang begitu
singkat, masih tersedia waktu yang cukup untuk merevisi beberapa substansi
dalam UU Pemilihan Kepala Daerah.
Karena semua kekuatan politik di
DPR setuju dengan Perppu No 1/2014 1/2014, pertanyaan sentral yang hadir ke
permukaan; mengapa dalam pembahasan persetujuan tidak dilakukan saja
perubahan beberapa substansi yang dianggap bermasalah tersebut?
Secara formal, meski semua parpol
menilai terdapat banyak substansi yang harus direvisi, langkah ke arah itu
tak bisa dilakukan dalam proses perse tu juan. Berdasarkan keten tuan Pasal
22 UUD 1945, DPR sebagai pihak yang memiliki ruang menilai hak subjektif
presiden dalam mengeluarkan perppu hanya bisa mengambil sikap setuju atau
tidak setuju dengan produk hukum tersebut.
Bahkan, keterbatasan ruang DPR ini
ditegaskan kembali oleh Pasal 52 ayat (3) UU No 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan bahwa DPR hanya memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan atas perppu. Dalam hal DPR setuju, perppu
ditetapkan menjadi UU.
Dengan keterbatasan tersebut,
secara formal, perubahan betapa pun kecilnya menjadi sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan. Pilihan satu-satunya, perubahan dilakukan dengan cara mempercepat
pem bahasan untuk memperoleh persetujuan.
Kemudian, setelah persetujuan, presiden
segera melakukan tindakan pengesahan dan pemerintah harus segera menuju
tahapan pengundangan. Beruntungnya, sebagai sebuah keniscayaan melakukan
revisi, parpol di DPR dan pemerintah telah bersepakat mengoreksi beberapa
materi dalam Perppu No 1/2014.
Terkait dengan keniscayaan revisi,
banyak kalangan percaya bila tidak dilakukan kesepakatan, beberapa substansi
yang dinilai bermasalah akan diteruskan menjadi bagian dalam proses pemilihan
kepala daerah ke depan. Dengan kesepakatan tersebut, parpol dan pemerintah
menjadi terikat melakukan revisi setelah Perppu No 1/2014 menjadi UU. Tak
hanya ih wal substansi, kedua belah pihak juga menyepakati bahwa revisi dilakukan
dalam jangka waktu yang terbatas, yaitu tidak melewati pertengahan Februari
2015. Kesepakatan ini penting untuk memastikan penyelenggara memulai
tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah.
Substansi revisi
Salah satu kesepakatan yang sangat
positif, sekalipun akan dilakukan perubahan, publik tidak perlu ragu bahwa
pemerintah dan DPR akan mengganti pola pemilihan kepala daerah. Ihwal ini,
kedua belah pihak (termasuk DPD) telah sepakat dengan pemilihan langsung.
Secara positif, kesepakatan melakukan revisi membuka ruang dan kesempatan
kepada kita mengajukan atau mengemukakan usul perubahan yang akan dilakukan.
Pertama, untuk menghindari
sengkarut perdebatan seputar keabsahan penyelenggara pemilihan kepala daerah,
revisi perlu memberikan penegasan soal ini. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tidak masuk dalam rezim pemilihan
umum.
Karena itu, formulasi pengaturan
otoritas KPU RI, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota harus mampu
meminimalisai (jika perlu menghentikan) perdebatan di sekitar ini. Sepanjang
yang saya ketahui, masalah penyelenggara menjadi salah satu isu yang selalu
dipertanyakakan sebagian anggota KPU. PU.
Kedua, uji publik dengan menjadikannya
sebagai tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Sebagaimana
termaktub dalam Pasal 38 ayat (1) Perppu No 1/2014, warga negara Indonesia
yang mendaftar sebagai bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal
calon wali kota yang diusulkan oleh parpol, gabungan parpol, atau
perseorangan wajib mengikuti uji publik.
Sebagai gagasan baru, adanya ruang
untuk melakukan uji publik tentu sangat menarik. Sebagai tahapan yang
eksplisit diwajibkan bagi setiap bakal calon, uji publik menjadi aneh karena
proses ini tidak dapat menggugurkan pencalonan. Cara pandang begini muncul
apabila dalam proses diketahui bakal calon memiliki masalah dengan
kapabilitas dan integritas, misalnya tidak bisa digugurkan pihak yang
melakukan uji publik.
Karena tidak memungkinkan untuk
mendiskualifikasi bakal calon, tahapan uji publik menjadi sesuatu yang layak
ditimbang lagi untuk terus dipertahankan. Gagasan ini mendesak karena uji publik
menjadi tahap penyelenggaraan yang mesti dipenuhi.
Apalagi, dengan keharusan
melakukannya tiga bulan sebelum pendaftaran calon, proses penyelenggaraan uji
publik akan memerlukan banyak waktu dalam proses pemilihan kepala daerah.
Dengan ketentuan tiga bulan tersebut, sangat mungkin tahapan uji publik
menghabiskan waktu tiga sampai empat bulan.
Sebagai sebuah gagasan baru, dalam
berbagai kesempatan saya kemukakan (misalnya di Koran Sindo, 20/1), sebaiknya
uji publik dijadikan kewajiban parpol dalam merekrut calon sebelum diajukan
kepada penyelenggara pemilihan. Untuk ini, parpol yang mesti dipaksa
melakukan proses pencalonan yang terbuka dan transparan agar calon tidak
lahir melalui proses oligarkis partai politik. Misalnya, parpol didorong
melakukan semacam konvensi dalam menentukan calon.
Supaya memiliki daya ikat, bagi
parpol yang tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif, penyelenggara
membatalkan haknya mengajukan calon. Untuk itu, revisi Perppu No 1/2014 perlu
mengatur secara tegas otoritas penyelenggara dalam menolak calon yang
diajukan parpol.
Ketiga, pengaturan ihwal dinasti
politik. Dalam hal ini, Pasal 7 huruf q Perppu No 1/2014 menyatakan calon
tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Ketentuan ini dimaknai
sebagai bentuk pelarangan atas kemungkinan munculnya dinasti politik dalam
pemilihan kepala daerah.
Ihwal larangan tidak memiliki
konflik kepentingan ini, dalam Penjelasan Pasal 7 huruf q dinyatakan; tidak
memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas,
ke bawah, dan ke samping dengan petahana kecuali telah melewati satu kali
masa jabatan.
Secara jujur harus diakui,
hadirnya larangan ini dipicu pengalaman beberapa daerah yang memunculkan
semacam dinasti. Meski demikian, pelarangan begini potensial memicu masalah
konstitusionalitas dengan cara menguji ke Mahkamah Konstitusi. Apalagi UUD
1945 mengatur hak setiap warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan.
Karena itu, supaya niat baik ini
tidak menjadi kontraproduktif, menjadi jauh lebih baik jika yang diatur ialah
larangan tegas dan rinci bagi petahana menggunakan fasilitas jabatannya untuk
mendukung calon yang memiliki ikatan keluarga dan ikatan perkawinan.
Keempat, penyelengaraan pemilihan
secara serentak. Dalam soal ini, harus ditimbang betul untuk menyelenggarakan
serentak secara nasional, atau melakukan pemilihan menjadi dua tahap
pelaksanaan.
Selain tak sederhana untuk
menghitung transisi kelebihan atau kekurangan masa jabatan kepala daerah yang
ada saat ini karena harus dilaksanakan secara serentak, masalah keamanan dan
potensi konflik secara nasional perlu pula diperhitungkan. Untuk ini,
barangkali perlu dipikirkan alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah secara serentak dengan memilih basis provinsi.
Selain substansi di atas, masih
terdapat masalah-masalah lain yang mestinya direvisi dalam UU Pemilihan
Kepala Daerah. Misalnya, penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah,
kemungkinan menjadikan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala di dalam
satu paket, dan antisipasi meruyaknya praktik politik uang. Jauh lebih
penting dari semua itu, revisi substansi UU Pemilihan Kepala Daerah harus
menjamin terlaksananya pemilihan yang berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar