Menyedihkan,
100 Hari Jokowi-JK
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
|
SINAR
HARAPAN, 26 Januari 2015
Sangat disayangkan mendengar pidato Joko Widodo (Jokowi)
pada perayaan Natal di Papua, 27 Desember tahun lalu. Ungkapannya atas kasus
pembantaian lima warga, empat di antaranya pelajar SMA, pada 8 Desember 2014
terkesan basa-basi, dingin, dan tanpa empati yang tepat.
Bagaimana tidak, ia hanya menggunakan kalimat retoris yang
mengharapkan tidak terjadi lagi kasus serupa di Papua.
Tidak muncul kata-kata keprihatinan mendalam pada
peringatan hari hak asasi manusia (HAM) sedunia, 10 Desember lalu. Pernyataannya
di Papua hanya eufemisme yang ingin melarikan diri secepat-sepatnya untuk
tidak mengutuk tindakan yang bisa semakin menyakiti hati Papua; pemilihnya
terbesar pada pilpres lalu.
Ia tak menggunakan kalimat kecaman atas perilaku aparat
keamanan yang telah bertindak brutal itu, kecuali agar kasus itu segera
diusut. Secara umum, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla (JK) sudah menunjukkan
sinyal tidak akan meminta maaf untuk kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Rentetan Pengabaian
Demikian pula kasus GKI Yasmin, Bogor, yang kembali gagal
melaksanakan ibadah Natal 25 Desember tahun lalu. Upaya mereka untuk
beribadah diganggu dan dilecehkan komunitas intoleran. Kasus ini juga tidak
dibela Wali Kota Bogor yang baru, Bima Arya Sugiarto. Aksi keprihatinan yang
dilakukan di depan istana seperti serbet tertiup angin: hilang dan lecek
tergilas debu jalanan. Aksi jemaat GKI Yasmin ke-82 kali di depan istana pada
Minggu (19/1), berharap Jokowi menemui mereka, bertepuk sebelah tangan.
Bukan hanya GKI Yasmin, pengabaian atas keyakinan
minoritas juga terjadi di banyak tempat. Di Langsa, Aceh, jemaat Gereja
Bethel Indonesia (GBI) dilarang melakukan misa pada Natal lalu karena tidak
ada izin dari Wali Kota Langsa. Demikian pula kasus intimidasi dan kata-kata
kebencian yang diterima jemaah Ahmadiyah, Syiah, komunitas penghayat, dan
agama lokal.
Harapan Jokowi akan membawa aura pluralisme lebih sehat,
belum terbukti. Lihat juga perasaan keluarga korban pelanggaran HAM yang
terabaikan begitu lama, membatu bersama waktu. Para keluarga korban Semanggi,
penghilangan paksa, dan kasus HAM lainnya yang tergabung aksi kamisan, tidak
jua dikunjungi Jokowi sampai detik ini.
Tanggal 22 Januari lalu menjadi aksi ke-382, tepat delapan
tahun sudah mereka menatap Istana, panas dan hujan. Mereka tidak pernah absen
kecuali pada hari libur nasional, untuk terus melakukan aksi sunyi.
Raut muka Maria Katarina Sumarsih, ibunda Benardinus
Realino Norma Irawan (Wawan), masih sama: memendam harapan negara memayungi
keadilan bagi anaknya yang menjadi korban tragedi Semanggi I, 11-13 November
1998. Sosok tua beruban itu tak pernah dendam. Ia tidak pernah menggunakan
kata-kata sarkartis, bahkan ketika Jokowi tak juga menyapanya.
Kata-kata Lumpuh
Kembali saya membuka-buka dokumen Visi-Misi Jokowi-JK pada
masa kampanye pilpres. Dokumen itu dipublikasi pada Mei 2014, dua bulan
sebelum pilpres. Kalimat-kalimat di situ bersinar dengan indahnya.
Puisi-prosa menyihir ratusan ribu relawan yang bekerja dengan penuh dedikasi,
tanpa dibayar.
Saya pribadi begitu antusias memenangkan pasangan ini,
dengan risiko dianggap partisan. Risiko diterjang demi Indonesia yang lebih
baik. Saat itu lautan relawan memandang inilah pemimpin yang berani membuat
lompatan jauh ke depan bagi bangsa ini. Sayangnya, kata-kata itu lumpuh. Jangankan
berlari, berjalan pun susah menemukan konteksnya pada 100 hari pemerintahan
Jokowi-JK.
Pada bagian identifikasi problem pokok bangsa, ada satu
bagian tentang pentingnya negara menjaga kewibawaannya agar jangan hilang.
“Wibawa negara merosot ketika negara tak kuasa memberikan rasa aman kepada
segenap warganegara, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan
wilayah, membiarkan pelanggaran HAM, lemah dalam penegakan hukum, dan tidak
berdaya dalam mengelola konfik sosial.”
Seratus hari pemerintahan Jokowi-JK, kata-kata itu
terempas entah kemana. Di dalam dokumen yang berisi sembilan program
prioritas Jokowi-JK, atau populer dengan istilah Nawacita, Jokowi-JK hanya
mendeteksi problem ketika kekuasaan belum di genggaman.
Ketika kekuasaan didapatkan, kata-kata itu terburai lepas
tak bertemu konteks. Frasa tersebut meyakini negara akan menjadi lemah jika
tak mampu menjaga martabatnya, yaitu melindungi kehormatan warganegaranya.
Kasus pelanggaran HAM di masa lalu menunjukkan negara mencoba berwibawa
melalui jalan kekerasan sesungguhnya wujud kesadaran palsu.
Lemahnya spirit penegakan hukum dan HAM pada masa
Jokowi-JK ini menunjukkan titik lemah fundamental pemerintahan sekarang.
Kritik atas lemahnya sikap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM, sektarianisme, mafia hokum, dan oligarki politik
kini berulang dengan wajah lebih bopeng pada pemerintahan Jokowi-JK. Mereka
menghadapi bejana penuh air kata-kata yang terciprat ke wajah sendiri.
Kritiknya atas pemerintahan SBY tidak seasin kebijakannya.
Pada 28 Januari 2014, pemerintahan Jokowi telah melewati
100 hari pertama. Namun, 100 hari ini telah dilewati dengan semakin pudarnya
harapan para pemilih. Bukti pamungkas ketika Jokowi masih memunculkan nama
Budi Gunawan sebagai calon Kapolri—padahal dari dokumen yang telah ia miliki,
status tersangka sang jenderal polisi itu telah diketahui. Jika nantinya
muncul konflik antara KPK dan lembaga kepresiden, bandul dukungan publik
pasti berada di sisi KPK.
Saya menolak analisis spekulatif bahwa pemerintahan Jokowi
tersandera politik patrimonialisme partai-partai pendukung, terutama PDIP dan
Nasdem. Selama ini, digambarkan Jokowi hanya cantrik Megawati dan Surya
Paloh. Tidak! Jokowi yang saya temui sehari sebelum pencalonannya sebagai
calon presiden bukanlah sosok selembek itu. Ia adalah sosok yang memiliki
kepercayaan diri tinggi atas tindakan-tindakannya.
Jika kini harapan rakyat menciut, tak lain karena pilihan
politiknya sendiri secara sadar menciutkan itu. Disfungsi pemerintahan Jokowi
saat ini akibat kebijakan-kebijakan blundernya sendiri, menutup diri dari
masukan para relawan dan kritik-kritik konstruktif. Hal ini belum lagi
dihitung postur ideologi ekonomi pemerintahan sekarang yang semakin liberal
dengan pilihan menteri proneolib.
Para menteri
perekonomian saat ini seperti menjorokkan negara ini pada perangkap
globalisasi. Kini Jokowi semakin sulit menata arah politik menjadi lebih
gembira dengan dukungan penuh rakyat. Menyedihkan menyambut 100 hari
Jokowi-JK tanpa kesan mendalam, tanpa semangat dan filosofi perubahan yang
dulu dipancangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar