Stabilisasi
Harga Pangan
Toto Subandriyo ; Pemerhati Masalah Sosial-ekonomi,
Alumni IPB dan Magister Manajemen Universitas
Soedirman
|
KOMPAS,
26 Januari 2015
SUDAH menjadi aksioma generik di negeri ini, setiap
kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, maka serta-merta
akan segera diikuti dengan naiknya harga berbagai barang kebutuhan pokok dan
jasa. Ketika Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) jenis premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter dan solar dari
Rp 5.500/liter menjadi Rp 7.500/liter pada 17 November 2014, dampak
bergandanya langsung dirasakan. Harga berbagai kebutuhan pokok dan jasa
langsung ikut naik sehingga memicu inflasi bulan November dan Desember 2014
sebesar 1,5 persen, dan 2,46 persen.
Namun, aksioma itu tidak berlaku sebaliknya. Penurunan
harga beberapa jenis BBM yang dilakukan pemerintah tidak serta-merta dapat
ditransformasikan dalam bentuk penurunan harga kebutuhan pokok dan ongkos
transportasi yang sudah telanjur naik. Meski Presiden Joko Widodo sudah dua
kali mengumumkan penurunan harga premium dan solar (terakhir tanggal 19
Januari), harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat tidak serta-merta ikut
turun, bahkan masih tetap stabil tinggi.
Harga beras, misalnya. Di sejumlah daerah, harga beras
kualitas medium masih dalam kisaran Rp 9.500-Rp 10.000 per kilogram. Padahal,
untuk stabilisasi harga beras, pemerintah melalui Surat Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor B.1865/Dept.II/PMK/XII/2014 tanggal
17 Desember 2014 menginstruksikan kepada gubernur/bupati/wali kota seluruh
Indonesia untuk melakukan operasi pasar khusus beras menggunakan cadangan
beras pemerintah.
Sejak minggu terakhir Desember 2014 hingga 20 Januari 2015
telah digelontorkan tidak kurang dari 230 ribu ton beras kepada sekitar 15,5
juta rumah tangga sasaran (RTS). Setiap
RTS mendapatkan alokasi 15 kg dengan harga tebus layaknya harga tebus
beras untuk rakyat miskin (raskin) Rp 1.600 kg. Pertanyaannya, mengapa harga
beras dan harga kebutuhan pokok lainnya tak juga kunjung turun?
Konsumen neto
Khusus untuk komoditas pangan, terutama beras, selain
karena dampak berganda dari kebijakan kenaikan harga BBM, kenaikan tarif
dasar listrik, serta kenaikan harga elpiji, juga ada beberapa faktor lain
yang memengaruhi lonjakan harga beras. Di antaranya, juga dipicu oleh adanya
defisit pasokan beras ke pasar karena masih berlangsungnya musim paceklik. Di
sisi lain, alokasi raskin November dan
Desember 2014 sudah disalurkan menjelang Lebaran, dan keberlanjutan program
raskin Januari 2015 hingga kini belum ada kejelasan.
Dalam benak orang awam mungkin tebersit pikiran bahwa
lonjakan harga beras ini sangat menguntungkan petani. Pemikiran seperti itu
tidak benar, mengapa? Beras hasil panen para petani gurem (penggarap sawah
kurang dari 0,5 hektar) yang merupakan bagian terbesar dari entitas petani
negeri ini, telah habis dikonsumsi keluarga. Dalam istilah lain, mereka telah
menjadi net consumer beras. Untuk keperluan
makan sehari-hari mereka harus membeli beras seperti konsumen lainnya.
Di tengah impitan hidup karena melonjaknya harga berbagai
kebutuhan pokok pangan sekarang ini, masyarakat membutuhkan kehadiran
pemerintah dalam bentuk stabilisasi harga. Beberapa waktu terakhir kehadiran
pemerintah dirasakan nyaris nihil akibat situasi sosial politik dalam negeri
yang amat gaduh. Seluruh energi pemerintah nyaris habis terkuras untuk
mengurusi permasalahan sosial politik.
Situasi seperti sekarang ini mengingatkan kita tentang
arti pentingnya segera membentuk badan otoritas pangan, seperti diamanatkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dibentuknya sebuah lembaga
pemerintah yang menangani bidang pangan guna mewujudkan kedaulatan,
kemandirian, dan ketahanan pangan nasional. Lembaga yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada presiden ini mempunyai tugas pokok dan
fungsi melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi
pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Pilihan paling realistis untuk mengemban peran tesebut ada
pada Perum Bulog. Revitalisasi tugas pokok dan fungsi Perum Bulog diharapkan
dapat menjelma menjadi badan otoritas pangan yang kuat dan tangguh dengan dua
misi besar yang harus diemban.
Jangka panjang
Paling tidak ada lima langkah operasional dalam manajemen
pangan nasional harus dijalankan kembali oleh Bulog sebagai badan otoritas
pangan. Pertama, perlu menetapkan harga dasar (floor price) beberapa komoditas pangan strategis, seperti
gabah/beras, jagung, gula, daging sapi, kedelai, dan lain sebagainya. Harga
dasar yang memadai merupakan insentif
utama bagi petani untuk meningkatkan produksi.
Kedua, perlu menetapkan harga maksimum (ceiling price)
komoditas pangan strategis tersebut. Mekanisme ini bertujuan melindungi
konsumen dari kenaikan harga pangan yang tak terkendali. Ketiga, perlu
diberlakukan selisih harga dasar dan harga maksimum yang memadai untuk
merangsang perdagangan oleh swasta.
Keempat, perlu diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi terhadap pasar
dunia dengan fluktuasi yang lebar. Mekanisme ini ditujukan agar turbulensi
harga komoditas pangan di pasar dunia mudah diredam. Kelima, penguatan stok
pangan penyangga (buffer stock) yang dikuasai oleh pemerintah untuk kebutuhan
stabilisasi harga pada waktu tertentu, seperti pada saat Lebaran, Natal, dan
Tahun Baru, serta musim paceklik.
Agar menjadi badan otoritas pangan yang kokoh, maka Bulog
harus diberi kewenangan mengelola stok semua jenis pangan strategis.
Bukan hanya
itu, lembaga ini harus diberi kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan
stok pangan. Salah satunya dalam hal importasi komoditas pangan dengan porsi
lebih besar dibanding pelaku pasar
lain agar lembaga ini mampu mematahkan dominasi kartel pangan yang kini sudah
menggurita. Pendek kata, semua ini diharapkan menjadi kebijakan solutif
jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar