Kriminalisasi
KPK
Hifdzil Alim ; Peneliti
dari Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM, serta Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
|
SUARA
MERDEKA, 27 Januari 2015
KATA krimininalisasi kembali muncul. Sudah ”diwanti-wanti”
supaya tak muncul lagi namun tanpa
dinyana-nyana kata itu menyeruak secara tiba-tiba. Pemicunya adalah Bambang
Widjojanto yang diinisialkan BW oleh beberapa pihak, salah satu pimpinan KPK,
yang ditangkap penyidik Bareskrim Mabes Polri (23/1/15).
Saya bukan ahli bahasa yang bisa tepat mendefinisikan kata
kriminalisasi. Hanya imbuhan ”isasi” pada kata kriminal saya maknai adanya
proses untuk mengkriminalkan. Kriminal berarti berkait kejahatan yang dapat
dihukum dengan undang-undang (KBBI; 2008: 819). Pendek kata, ada usaha
mencari-cari atau mengada-adakan perbuatan kriminal terhadap
seseorang/lembaga, yang sebenarnya tidak ada.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa penangkapan BW sampai
pada asumsi adanya kriminalisasi terhadap KPK? Bukankah penangkapan itu juga
bagian dari penegakan hukum? Setidak-tidaknya ada tiga alasan runtut, sebagai
satu kesatuan, untuk menilainya.
Pertama; penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka
korupsi oleh KPK (13/1/15). Jenderal bintang tiga itu disangka melanggar
Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf a, Pasal 12 Huruf b, atau Pasal
12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ia diduga menerima
hadiah dan suap selama melaksanakan tugas kepolisiannya.
Penetapan tersangka dilakukan KPK setelah mendalami hasil
penelusuran Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap
rekening mencurigakan milik beberapa jenderal polisi tahun 2010. Artinya,
langkah hukum ini bukan ujug-ujug. Ada waktu hampir 4 tahun bagi penyidik KPK
untuk mempelajari dan meyakinkan lidik-sidiknya.
Setelah penetapan status tersangka itu, tampaknya ada
usaha dari Komjen Budi untuk menyoal kebijakan hukum KPK. Kabarnya, Ketua KPK
Abraham Samad dan BW dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan
wewenang. Tujuannya jelas supaya komisi antirasuah kesusahan memeriksa karena
pimpinannya dijerat hukum.
Ternyata strategi pelaporan penyalahgunaan wewenang
meleset. Alhasil, dicari jalan lain. Jangan-jangan, yang memungkinkan adalah
menetapkan BW sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP
perihal sumpah palsu dan keterangan palsu. Artinya, penangkapan BW adalah
strategi sampingan untuk memperlambat kinerja KPK. Bila benar demikian,
bukankah Bareskrim sedang mengada-ada?
Kemudian, langkah yang mengada-ada itu dikuatkan dengan
alasan kedua bahwa ternyata pelaporan kembali dugaan kasus kesaksian palsu
atas nama BW (dan lainnya) sudah dicabut. Bupati Kota Waringin Barat (Kobar)
Kalimantan Tengah, Ujang Iskandar menuturkan (23/1/15), laporan kasus
kesaksian palsu itu dulu memang pernah disampaikan ke Bareskrim. Pelapornya
Sugianto alias Yusuf Sugianto alias Sugianto Sabran, pesaingnya di pilkada
Kobar. Sugianto menuduh para saksi Ujang Iskandar —BW ada di dalamnya— telah
memberikan kesaksian palsu di depan sidang sengketa hasil pilkada di Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan keterangan Ujang, ada 68 saksi yang dituduh
Sugianto memberikan kesaksian palsu. Bareskrim Mabes Polri pun memeriksanya.
Hasilnya nihil. Tuduhan tak terbukti. Akhirnya, Sugianto mencabut laporannya.
Proses Supercepat
Namun, pada 19 Januari 2015, Sugianto Sabran kembali
melaporkan kasus itu ke Bareskrim sebagaimana dicatat dengan laporan bernomor
LP/67/I/2015/ Bareskrim. Sehari setelahnya, 20 Januari 2015, terbit surat
perintah penyidikan bernomor SP.Sidik/53/I/2015/ Dittipideksus. Bagai
mendapat angin segar menghantam KPK, penyidik Bareskrim pun menangkap BW tiga
hari setelahnya. Sungguh proses yang supercepat.
Ketiga; proses penangkapan tidak diawali prosedur yang
layak oleh penyidik Bareskrim. Setelah proses administratif di Bareskrim
selesai, penyidik langsung bergerak menggelandang BW tanpa mengindahkan
misalnya Pasal 19 Ayat (2) KUHAP. Berdasarkan pasal itu, penyidik semestinya
memanggil dulu tersangka secara sah maksimal dua kali. Faktanya, tak ada
pemanggilan yang layak kepada BW. Bahkan satu kali pun tidak. Bukankah ini
menyimpang?
Tiga alasan tersebut tak bisa dipisahkan satu per satu
mengingat semuanya harus dirunutkan. Hasilnya, seperti ada usaha melemahkan
KPK melalui penangkapan salah satu pimpinannya. Ada usaha sistematis dan
merajalela (rampant) untuk
mempereteli gerakan pemberantasan korupsi melalui kriminalisasi pimpinan KPK.
Memang, kolektif kolegial dalam Pasal 21 Ayat (5) UU Nomor
30 Tahun 2002 bisa diartikan: pokoknya lebih dari satu masih bisa dianggap
kolektif. Tapi tak bisa dimungkiri bila pimpinan KPK berkurang satu maka
sedikit banyak bakal mengganggu kinerja komisi antikorupsi.
Kriminalisasi
terhadap KPK berarti perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Saya
kira, rakyat Indonesia tidak akan membiarkan kriminalisasi ini terus
berlangsung mengingat korupsi adalah musuh bersama. Cita-cita memiliki negara
yang bersih dari korupsi bukan lagi jadi kewajiban, melainkan kebutuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar