Menjaga
Peradaban Sumatera
Teuku Kemal Fasya ; Ketua Panitia Mufakat Budaya Melayu Sumatera
|
KOMPAS,
24 Januari 2015
Tanggal 12-14 Desember lalu di
Banda Aceh diselenggarakan acara Mufakat Budaya Sumatera. Acara ini berbentuk
diskusi kelompok terarah yang melibatkan para akademisi, seniman, pekerja
seni, politikus, aktivis perempuan, dan tokoh masyarakat.
Peserta berasal dari Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Ketidakhadiran perwakilan semua
puak lebih pada masalah teknis dibandingkan dengan masalah etis.
Acara ini menjadi satu rangkaian
diskusi kelompok terarah (FGD) dengan wilayah lain di Indonesia. Dimulai dari
Kupang, Jakarta, Manado, Bali, dan terakhir di Banda Aceh. Hasil pertemuan
menjadi pertimbangan dalam pertemuan besar Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di
Bali pada 2015.
Namun, tidak mudah memufakati
budaya Sumatera dalam pertemuan sesingkat itu. Apa itu budaya Sumatera?
Ketika tema ini harus dinarasikan, ada banyak hal yang mungkin lepas dari
tangkap. Ada banyak sisi yang memuai dibandingkan dengan mengerucut. Secara
das sein, Sumatera bukan sebuah entitas kultural-antropologis tunggal.
Dimensi kultural
Ada banyak dimensi kultural dan
historis hadir di ”pulau emas” ini. Ada banyak biosfer dan fauna endemik
dikenal sejak era Marcopolo, seperti anggrek, meranti, damar, keruing, badak,
harimau, dan gajah Sumatera.
Ada keunikan geografis yang
menjulang- julang dan ceruk ngarai yang tajam ke dalam, berbeda dengan Jawa
atau Kalimantan.
Gugusan gunung berapi yang
sambung-menyambung yang dikenal dengan nama Bukit Barisan menjadi salah satu
wujud ikonis Sumatera. Ia penanda perusak sekaligus penyubur.
Yang paling penting dari semua itu
adalah kekayaan kultural. Apa daya, kekayaan kultural Sumatera pada era
modern kerap diganggu problem geografikal dan eksploitasi fisikal. Sumatera
mulai digarap bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-11 dan dieksploitasi
besar-besaran sejak abad ke-17.
Namun, pada era modern, bahkan
lebih jauh lagi era reformasi, alam Sumatera mengalami perusakan dan eksploitasi
berlipat-lipat. Kerusakan itu tidak hanya ekologis, tetapi juga pada aspek
antropologis dan linguistik.
Bahasa tentang alam yang asri dan
kebudayaan kosmopolis Sumatera sejak etnografer Arab, Sulayman mencatat
tentang Sriwijaya (ia menyebutnya ”Sribuza”) pada abad kesembilan hingga
James Mossman merekam pemberontakan Abu Beureueh pada pertengahan abad ke-20,
banyak yang luluh dan hilang.
Demikian pula kota-kota di
Sumatera. Dalam sebuah riset Hivos tentang kota-kota di Sumatera, Sumatera
modern telah mengalami degradasi besar-besaran.
Aspek kultural dan historis yang
seharusnya melekat pada kota-kota tua kini tidak terlihat lagi.
Dari dokumentasi penelitian
tersimpulkan, hanya Bukittinggi yang masih sehat secara kultural. Kebanyakan
kota-kota lain telah kehilangan muka sejarahnya.
Kota Banda Aceh yang diakui telah
berumur 810 tahun pada 22 April tahun ini saja terlalu banyak kehilangan
sejarah. Semakin sepi bangunan-bangunan tua yang bisa mengingat masa lalu.
Pecinan Peunayong tersambar
renovasi masif. Stasiun kereta api tinggal miniatur karikatural. Pohon-pohon
tua di taman Putroe Phang; taman yang diciptakan Sultan Iskandar Muda untuk
menghipnotis putri Pahang yang ditawan agar bersedia dinikahinya, juga
semakin meranggas.
Borjuis ke poskolonial
Eksploitasi dan imperialisasi bumi
Sumatera berdampak pada tubuh kulturalnya. Budaya kekerasan sambar-menyambar.
Bangsa Melayu menjadi kuli di tanah sendiri. Riau, wilayah yang dianggap
serambi Melayu yang santun, menjadi arena amook di antara warga tempatan yang
semakin kehilangan lahan karena sawitisasi, alih fungsi hutan, dan
eksploitasi migas.
Dengan mudah orang mengatakan
warga Riau kejam karena telah menyerang para pekerja di perusahaan sawit.
Orang tidak melihat latar
belakang, nadi sejarah, dan kerusakan yang telah membawa darah kotor
kebudayaan ke dalam pikiran para warga. Alam bagi bangsa Melayu adalah istana
ramahnya, tetapi kini di tanah itu mereka menjadi pekerja yang dibayar sangat
murah.
Para peneliti asing pun lebih
banyak mengkaji politik kekerasan dan perang di Sumatera ini. Tulisan Edwin M
Loeb, Paul van’t Veer, Lance Castle, Herbeth Feith, Anthony Reid, Harold
Crouch, hingga Edward Aspinall lebih mengenang Sumatera dalam darah dan
kekerasan.
Sebuah buku yang terbit setelah
tsunami seperti ingin mendekonstruksi istilah kanonik Aceh dari Serambi
Mekkah menjadi ”Serambi Barbar”. Buku yang diterbitkan Asian Studies
Political Sciences dan dieditori sejarawan asal Selandia Baru, Anthony Reid,
diberi judul Verandah of Violence: The Background to Aceh Problem.
Mungkin di sini perlu strategi
pengetahuan poskolonial yang lebih empatik tentang Sumatera. Termasuk
bagaimana mendekonstruksi dan mencari batas-batas maksimal baru dalam melihat
kemelayuan Sumatera yang, meskipun secara historis-arkeologis-kultural
disebut tanah suci Melayu, kini dengan entengnya diampu Malaysia menjadi
maharaja Melayu, kolonial.
Penting bagi kita untuk membangun
narasi baru tentang Sumatera yang berangkat dari data dan dokumen lama yang
gemilang. Jangan sampai yang terbentang hanya duka cita, sementara Sumatera
begitu menyejarah pada abad-abad lalu.
Jangan hanya dipengaruhi oleh
iklim modernisasi ekstrem dan globalisasi salah kaprah, seperti
Amerikanisasi, RCTI-sasi, Arabisasi, dan Wahabisasi. Sumatera bukan sekadar
serobek mitos atau legenda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar