Rabu, 28 Januari 2015

Menko Polhukam, Minta Maaflah!

Menko Polhukam, Minta Maaflah!

Tjipta Lesmana  ;  Pengamat Politik
KORAN SINDO, 27 Januari 2015

Artikel TL ini diketik dari kolom OPINI (halaman 4) KORAN SINDO
karena (entah kenapa) tidak dimuat dalam edisi Online KORAN SINDO

                                                                                                                                     
                                                

Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, Sabtu yang lalu mempunyai implikasi sangat serius terhadap kualitas kualitas dan kapasitas pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla. Karena itu , pernyataan itu tidak boleh dianggap main-main atau “business as usual”.

Kita mulai dari latar belakang keluarnya pernyataanTedjo. Jumat, 23 Januari 2015 sekitar pukul 7.30, Bambang Widjojanto (BW), salah satu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ditangkap sejumlah petugas Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Badan dikatakan berstatus tersangka terkait kasus Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010.

Berita ini ibarat halilintar di siang hari bolong. Masyarakat serta merta mengaitkan peristiwa ini dengan status tersangka yang dikenakan KPK kepada Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, hanya beberapa jam setelah yang bersangkutan ditetapkan Presiden Jokowi sebagai sebagai calon kepala Polri. Apkah sangkaan atau persepsi benar atau keliru, kita tidak membahas di forum ini. Yang jelas persepsi keterkaitan ini ditopang oleh salah satu teori dalam ilmu komunikasi, yaitu teori first order presentation.

Yang jelas, berita penangkapan BW sepanjang hari itu menjadi bahan pembicaraan masyarakat luas. Bahan para pedagang sayur di pasar tradisional, sopir taksi, perkantoran, kampus, dan dimana-mana, semua, ngomong soal ini. Kenyataan ini disebabkan oleh eksposur media, terutama teleisi dan media social yang non stop dan live. Memang dahsyat efek media massa. Satu pertanyaan yang ingin diketahui public adalah : ada apa? Ada apa? Kenapa BW ditangkap polisi?

Sebelum pukul 11.00 hari itu, puluhan orang sudah berdatangan ke Gedung KPK di kawasan Kuningan. Mereka berunjuk rasa, berorasi, sambil membawa poster-poster.  Semua menyatakan simpati dan dukungan penuh kepada KPK, khususnya BW. Semakin siang, jumlah massa yang dating semakin besar, meluber ke luar Gedung KPK. Semua mendesak agar Presiden Jokowi bertindak cepat, tidak tinggal diam. 

Memang Presiden kita tidak tinggal diam. Jumat itu, di Istana Bogor, dia memanggil Komjenpol Badrodin Haiti, pelaksana tugas Kapolri, dan Ketua KPK Abraham Samad untuk “didamaikan”. Kabar meruak bahwa dalam pertemuan itu Presiden “mencaci-maki Badrodin maupun Abraham. Pertemuan cukup panjang dan panas.

Normatif, sangat normatif, pernyataan Presiden Jokowi usai pertemuan segi tiga itu. Dia hanya berbicara dua menit kepada pers.

Karena itu, reaksi spontan di Gedung KPK pun semakin gaduh. Jumlah massa yang datang pun terus bertambah, hingga ratusan. Mereka terus berorasi memberikan semangat kepada pimpinan KPK.

Dilatarbelakangi kejadian sepanjang hari Jumat itu, Sabtu pagi, keluarlah pernyataan Menko Polhukam yang mencengangkan kita! Tedjo antara lain mengatakan “Jangan membakar massa. Ayo rakyat, kita harus begini-begitu! KPK akan kuat bila didukung oleh konstitusi yang berlaku, bukan dukungan rakyat yang enggak jelas itu!”.

Jadi orang-orang yang sejak pagi berdatangan ke Gedung KPK untuk memberikan dukungan kepada pimpinan KPK di mata Menko Polhukam “rakyat yang enggak jelas”.

Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) kontan melaporkan politi Partai Nasdem tersebut ke Bareskrim dengan tuduhan dia telah menghina masyarakat. Apa arti “rakyat yang enggak jelas itu”?  Pertama, Tedjo tidak tahu identitas massa yang tidak henti-hentinya berdatangan ke Gedung KPK. Apakah mereka benar orang Indonesia, orang Batak, orang Jawa, Sunda, Minang, atau mereka dating dari planet Mars? Sang Menteri rupanya tidak dapat mengenali orang-orang yang bernama Imam Prasodjo, Nursyahbani, Magnis Suseno, Yenny Wahid, Todung Mulya Lubis, Fajroel Rachman, dan banyak lainnya.

Kedua, Tedjo mempertanyakan niat atau intention aksi-aksi dari rakyat yang enggak jelas itu. Mau membuat kekacauan? Membakar massa? Mengadu domba KPK dengan Polri?

Ketiga, Tedjo tidak tahu apa tujuan rakyat yang enggak jelas itu. Apakah tujuannya untuk mendiskreditkan atau menghancurkan Polri? Menggoyang Pemerintah, atau menjatuhkan Presiden Jokowi?

Secara implicit, di mata Menko Polhukam, mungkin juga di mata Presiden Jokowi, anak kalimat “rakyat yang enggak jelas itu” merefleksikan pandangan dan sikap pemerintah yang sangat mendukung Polri, sekaligus tidak suka pada KPK. Di mata Menko Polhukam, perseteruan antara kedua instansi penegak hukum ini semata-mata disebabkan status tersangka yang ditetapkan KPK kepad Komjenpol Budi Gunawan yang dinilai terburu-buru dan semata-mata untuk menggagalkan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.

Anak kalimat “rakyat yang enggak jelas itu” mengandung tiga implikasi. Pertama, pemerintah Jokowi tidak punya opsi lain, kecuali mendukung Budi Gunawan mati-matian, karena sponsor utama Budi Gunawan adalah Megawati Soekarnoputri, dan Presiden seperti “tersandera”  oleh sang Ibu.

Kedua, pemerintah dalam kasus ini tampaknya berkoalisi dengan partai-partai politik blok Merah-Putih yang hendak menggorok leher KPK. Maka, setelah BW ditersangkakan, dalam waktu kilat Wakil Ketua KPK yang lain, Adnan Pandu pun dilaporkan ke polisi. Sementara itu, Abraham Samad diserang oleh seorang petinggi PDIP, mau diseret ke Komite Etik KPK.

Ketiga, para pembantu Presiden di bidang hokum, yaitu Menko Polhukam, Menteri Hukum dan HAM, serta Jaksa Agung --  ketiganya eks orang partai politik – sulit melepaskan diri pengaruh partai di tempat mereka berkiprah sebelumnya. Lalu, kenapa Presiden hari Minggu lalu minta nasehat dari tujuh masyarakat? Kenapa tidak minta advis dari Wantimpres? Ah, begitulah kualitas para anggota Wantimpres sekarang. Tidak ada satu pun yang ahli hukum!

Sebagian besar Media kita hari Minggu dan Senin mengkritik pedas pernyataan Menko Polhukam yang ngaco dan yang sungguh menyakitkan masyarakat, khususnya tokoh-tokoh beken yang hadir di Gedung KPK Jumat pecan lalu. Sang menteri sungguh lupa bahwa mereka termasuk ujung tombak atau die hard pendukung waktu pilpres kemarin. Die hard yang besar jasanya bagi kemenangan Jokowi kini di stempel “rakyat yang enggak jelas itu”.

Maka, kita sarankan Menko Polhukam segera meminta maaf secara terbuka atau Presiden Jokowi mencopot dari jabatannya. Sebab bukan kali ini saja dia mengeluarkan pernyataan yang amat kontroversial, sekaligus menunjukkan dirinya belum level duduk di kursi Menko Polhukam.  Kalau tidak, rakyat pasti meragukan komitmen Presiden dengan Nawa Cita-nya, terutama cita keempat: “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.”

Lupakah Pak Jokowi dengan janjinya kepada rakyat Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar