Menko
Polhukam, Minta Maaflah!
Tjipta Lesmana ; Pengamat
Politik
|
KORAN
SINDO, 27 Januari 2015
Artikel TL ini diketik dari kolom OPINI (halaman 4) KORAN SINDO
karena (entah kenapa) tidak dimuat dalam edisi Online KORAN SINDO
Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, Sabtu yang lalu
mempunyai implikasi sangat serius terhadap kualitas kualitas dan kapasitas pemerintahan
Joko Widodo- Jusuf Kalla. Karena itu , pernyataan itu tidak boleh dianggap
main-main atau “business as usual”.
Kita mulai dari latar belakang keluarnya pernyataanTedjo.
Jumat, 23 Januari 2015 sekitar pukul 7.30, Bambang Widjojanto (BW), salah
satu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ditangkap sejumlah petugas
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Badan dikatakan berstatus tersangka
terkait kasus Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010.
Berita ini ibarat halilintar di siang hari bolong.
Masyarakat serta merta mengaitkan peristiwa ini dengan status tersangka yang
dikenakan KPK kepada Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, hanya beberapa
jam setelah yang bersangkutan ditetapkan Presiden Jokowi sebagai sebagai
calon kepala Polri. Apkah sangkaan atau persepsi benar atau keliru, kita
tidak membahas di forum ini. Yang jelas persepsi keterkaitan ini ditopang
oleh salah satu teori dalam ilmu komunikasi, yaitu teori first order presentation.
Yang jelas, berita penangkapan BW sepanjang hari itu
menjadi bahan pembicaraan masyarakat luas. Bahan para pedagang sayur di pasar
tradisional, sopir taksi, perkantoran, kampus, dan dimana-mana, semua, ngomong soal ini. Kenyataan ini
disebabkan oleh eksposur media, terutama teleisi dan media social yang non
stop dan live. Memang dahsyat efek
media massa. Satu pertanyaan yang ingin diketahui public adalah : ada apa?
Ada apa? Kenapa BW ditangkap polisi?
Sebelum pukul 11.00 hari itu, puluhan orang sudah
berdatangan ke Gedung KPK di kawasan Kuningan. Mereka berunjuk rasa,
berorasi, sambil membawa poster-poster.
Semua menyatakan simpati dan dukungan penuh kepada KPK, khususnya BW.
Semakin siang, jumlah massa yang dating semakin besar, meluber ke luar Gedung
KPK. Semua mendesak agar Presiden Jokowi bertindak cepat, tidak tinggal
diam.
Memang Presiden kita tidak tinggal diam. Jumat itu, di
Istana Bogor, dia memanggil Komjenpol Badrodin Haiti, pelaksana tugas
Kapolri, dan Ketua KPK Abraham Samad untuk “didamaikan”. Kabar meruak bahwa
dalam pertemuan itu Presiden “mencaci-maki Badrodin maupun Abraham. Pertemuan
cukup panjang dan panas.
Normatif, sangat normatif, pernyataan Presiden Jokowi usai
pertemuan segi tiga itu. Dia hanya berbicara dua menit kepada pers.
Karena itu, reaksi spontan di Gedung KPK pun semakin
gaduh. Jumlah massa yang datang pun terus bertambah, hingga ratusan. Mereka
terus berorasi memberikan semangat kepada pimpinan KPK.
Dilatarbelakangi kejadian sepanjang hari Jumat itu, Sabtu pagi,
keluarlah pernyataan Menko Polhukam yang mencengangkan kita! Tedjo antara
lain mengatakan “Jangan membakar massa.
Ayo rakyat, kita harus begini-begitu! KPK akan kuat bila didukung oleh
konstitusi yang berlaku, bukan dukungan rakyat yang enggak jelas itu!”.
Jadi orang-orang yang sejak pagi berdatangan ke Gedung KPK
untuk memberikan dukungan kepada pimpinan KPK di mata Menko Polhukam “rakyat
yang enggak jelas”.
Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) kontan melaporkan politi
Partai Nasdem tersebut ke Bareskrim dengan tuduhan dia telah menghina
masyarakat. Apa arti “rakyat yang enggak jelas itu”? Pertama,
Tedjo tidak tahu identitas massa yang tidak henti-hentinya berdatangan ke
Gedung KPK. Apakah mereka benar orang Indonesia, orang Batak, orang Jawa,
Sunda, Minang, atau mereka dating dari planet Mars? Sang Menteri rupanya
tidak dapat mengenali orang-orang yang bernama Imam Prasodjo, Nursyahbani,
Magnis Suseno, Yenny Wahid, Todung Mulya Lubis, Fajroel Rachman, dan banyak
lainnya.
Kedua, Tedjo mempertanyakan niat atau intention aksi-aksi dari rakyat yang
enggak jelas itu. Mau membuat kekacauan? Membakar massa? Mengadu domba KPK dengan
Polri?
Ketiga, Tedjo tidak tahu apa tujuan
rakyat yang enggak jelas itu. Apakah tujuannya untuk mendiskreditkan atau
menghancurkan Polri? Menggoyang Pemerintah, atau menjatuhkan Presiden Jokowi?
Secara implicit, di mata Menko Polhukam, mungkin juga di
mata Presiden Jokowi, anak kalimat “rakyat yang enggak jelas itu” merefleksikan
pandangan dan sikap pemerintah yang sangat mendukung Polri, sekaligus tidak
suka pada KPK. Di mata Menko Polhukam, perseteruan antara kedua instansi
penegak hukum ini semata-mata disebabkan status tersangka yang ditetapkan KPK
kepad Komjenpol Budi Gunawan yang dinilai terburu-buru dan semata-mata untuk
menggagalkan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Anak kalimat “rakyat yang enggak jelas itu” mengandung
tiga implikasi. Pertama, pemerintah Jokowi tidak punya opsi lain, kecuali
mendukung Budi Gunawan mati-matian, karena sponsor utama Budi Gunawan adalah
Megawati Soekarnoputri, dan Presiden seperti “tersandera” oleh sang Ibu.
Kedua, pemerintah dalam kasus ini tampaknya berkoalisi
dengan partai-partai politik blok Merah-Putih yang hendak menggorok leher
KPK. Maka, setelah BW ditersangkakan, dalam waktu kilat Wakil Ketua KPK yang
lain, Adnan Pandu pun dilaporkan ke polisi. Sementara itu, Abraham Samad diserang
oleh seorang petinggi PDIP, mau diseret ke Komite Etik KPK.
Ketiga, para pembantu Presiden di bidang hokum, yaitu
Menko Polhukam, Menteri Hukum dan HAM, serta Jaksa Agung -- ketiganya eks orang partai politik – sulit
melepaskan diri pengaruh partai di tempat mereka berkiprah sebelumnya. Lalu,
kenapa Presiden hari Minggu lalu minta nasehat dari tujuh masyarakat? Kenapa
tidak minta advis dari Wantimpres? Ah, begitulah kualitas para anggota
Wantimpres sekarang. Tidak ada satu pun yang ahli hukum!
Sebagian besar Media kita hari Minggu dan Senin mengkritik
pedas pernyataan Menko Polhukam yang ngaco dan yang sungguh menyakitkan
masyarakat, khususnya tokoh-tokoh beken yang hadir di Gedung KPK Jumat pecan
lalu. Sang menteri sungguh lupa bahwa mereka termasuk ujung tombak atau die hard pendukung waktu pilpres
kemarin. Die hard yang besar
jasanya bagi kemenangan Jokowi kini di stempel “rakyat yang enggak jelas
itu”.
Maka, kita sarankan Menko Polhukam segera meminta maaf
secara terbuka atau Presiden Jokowi mencopot dari jabatannya. Sebab bukan
kali ini saja dia mengeluarkan pernyataan yang amat kontroversial, sekaligus
menunjukkan dirinya belum level duduk di kursi Menko Polhukam. Kalau tidak, rakyat pasti meragukan
komitmen Presiden dengan Nawa Cita-nya,
terutama cita keempat: “Menolak negara
lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat, dan tepercaya.”
Lupakah Pak Jokowi dengan janjinya kepada rakyat
Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar