Keseimbangan
Investasi dan Konsumsi
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina,
Guru Besar FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 26 Januari 2015
Pertemuan World
Economic Forum (WEF) Ke-45 yang berlangsung 21-24 Januari 2015 dan
dihadiri tidak kurang dari 2.500 partisipan baru saja ditutup.
Salah satu hal menarik selama pembahasan dalam sesi The New Growth Context , Zhang Xin,
CEO dan pendiri SOHO China, menyampaikan bahwa perlambatan pertumbuhan China
dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh fenomena too much investment and not enough consumption.
Pernyataan yang sama jauh hari juga disampaikan oleh Prof
Nouriel Roubini awal November 2014, di mana pertumbuhan ekonomi China akan
terus mengalami perlambatan karena ada ketidakseimbangan antara investasi dan
konsumsi: too much fixed investment,
not enough consumption.
Banyak kalangan memprediksi pertumbuhan ekonomi China
sepanjang 2014 dalam kisaran 7,3-7,5%. Sementara lembaga pemeringkat Fitch baru-
baru ini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China 2015 hanya 6,8% dan 2016
sebesar 6,5%. Salah satu persoalan yang dihadapi ekonomi China adalah overcapacity dari banyak industri
ditambah dengan memburuknya profil kredit.
Sementara konsumsi baik domestik maupun internasional
melambat yang membuat ekspansi ekonomi semakin terbatas. Bila proyeksi banyak
kalangan benar tentang pertumbuhan ekonomi China, negara itu akan mengalami
tren pertumbuhan ekonomi terendah dalam satu dekade sepanjang 2014, 2015, dan
2016.
Pengalaman China mengelola ekonomi merupakan pelajaran
berharga bagi pengambil kebijakan di Indonesia. Keseimbangan antara investasi
dan konsumsi perlu dijaga. Indonesia sebenarnya mengalami tren yang
berlawanan arah dibandingkan dengan China. Ketika China mengalami situasi oversupply, Indonesia menghadapi
situasi overdemand.
Konsumsi domestik tumbuh jauh lebih cepat seiring semakin
membesarnya kelas menengah dibandingkan dengan pertumbuhan output produksi
dalam negeri. Akibat itu, ekonomi Indonesia mengalami defisit perdagangan
sejak 2012 sampai saat ini. Pada 2011 neraca perdagangan Indonesia masih
mencatatkan surplus sebesar USD26 miliar, menjadi defisit sebesar USD1,6
miliar pada 2012.
Pada 2013 neraca perdagangan Indonesia kembali defisit
sebesar USD4,06 miliar dan selama Januari-November 2014 terjadi defisit
neraca perdagangan sebesar USD2,1 miliar. Tingginya permintaan domestik
memerlukan percepatan pembangunan industri manufaktur nasional. Arsitektur
industri nasional perlu diarahkan untuk menghasilkan output, baik yang
bersifat substitusi impor maupun berorientasi ekspor.
Import-substitution mendesak dilakukan agar kenaikan
permintaan domestik tidak menghasilkan ledakan barang-barang impor akibat
masih terbatasnya produk dan skala produksi nasional. Sementara arah
pengembangan export-oriented menjadi semakin penting agar bangsa kita tidak
hanya mengekspor barang mentah.
Hilirisasi
produk perkebunan dan perikanan dengan memperbanyak berdirinya industri
olahan di banyak daerah penghasil perlu terus dikembangkan. Selain itu,
konsistensi dalam menerapkan UU Minerba yang mengharuskan ada proses
pemurnian hasil mineral-tambang juga perlu terus dilakukan.
Melalui kebijakan
ini, ekspor kita akan lebih bernilai tambah. Seiring intensifikasi dan
ekstensifikasi pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah saat ini,
menjaga daya beli masyarakat untuk tetap meningkatkan konsumsi perlu terus
dilakukan. Menjaga daya beli masyarakat dapat dilakukan melalui peningkatan
keterjangkauan barang-barang kebutuhan pokok. Inflasi harus terus dijaga
melalui kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi.
Selain itu,
daya beli masyarakat juga terkait erat dengan terjaganya lapangan kerja baik
di sektor formal maupun informal. Terus menjaga iklim dunia usaha melalui
serangkaian kebijakan stabilitas politik dan keamanan, debirokratisasi
perizinan usaha, sampai stimulus fiskal untuk mendorong semakin membesarnya
jumlah wirausaha nasional.
Meningkatkan
pembangunan infrastruktur nasional juga perlu diimbangi penguatan sektor
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sektor UMKM sangat berjasa dalam
menjaga dan meningkatkan konsumsi domestik. Data dari Kementerian UKM dan
Koperasi menunjukkan, sektor ini memberikan kontribusi lebih dari 52%
terhadap produk domestik bruto (PDB), menyerap lebih dari 101 juta tenaga
kerja atau lebih dari 97% total tenaga kerja nasional, dan jumlahnya lebih
dari 55 juta unit atau 99,8% dari total unit usaha di Indonesia.
Mendorong
sektor ini terus berkembang berarti juga menjaga daya beli mayoritas tenaga
kerja nasional. Selain itu, di banyak kasus barang-barang input yang dibeli
dan digunakan UMKM untuk berproduksi merupakan keluaran dari industri
menengah dan besar. Dengan kata lain, terjaganya sektor UMKM akan menopang
keberlangsungan industri besar dan menengah.
Antara
investasi di bidang infrastruktur dan menjaga kecukupan konsumsi domestik
perlu terus dijaga keseimbangannya. Terlebih konsumsi domestik selama ini
mendominasi kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional dibandingkan
dengan sektor lain seperti belanja pemerintah, pembentukan modal dan
net-ekspor.
Tercatat
kontribusi konsumsi domestik berada dalam kisaran 54-56% terhadap PDB
Indonesia. Terganggunya konsumsi domestik akan berdampak sangat besar
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Pengalaman
China yang oversupply produksi dan
berhadapan dengan permintaan terbatas, dengan pengalaman kita yang overdemand dan terbatasnya kapasitas
produksi nasional menjadi lesson-learned
untuk menata perekonomian nasional ke depan.
Semangat dan
prioritas program kerja pemerintah saat ini yang mengedepankan pembangunan
infrastruktur dasar perlu terus diimbangi dengan upaya menjaga konsumsi
nasional dan daya beli masyarakat. Itu agar keluaran/output industri nasional
dapat terserap dan memberikan jaminan keberlangsungan dunia usaha nasional.
Sementara
infrastruktur dasar dan pendukung secara bersamaan dapat terus dibangun.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional dapat terus tumbuh tinggi,
berkelanjutan, dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar