Raja
Abdullah dan Wahabi
Nurman Kholis ; Peneliti
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
|
REPUBLIKA,
28 Januari 2015
Raja Kerajaan Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz wafat
dalam usia 90 tahun pada 23 Januari 2015. Para ulama di negara itu dikenal
sebagai penyebar ajaran Wahabi. Mereka pun gencar propaganda menghilangkan
tradisi turun-temurun di kalangan umat Islam yang menurut mereka syirik atau
bid’ah, seperti membuat bangunan di kuburan, peringatan maulid Nabi Muhammad
SAW, dan percaya kepada kiai yang dianggap bisa menjadi perantara mengobati
penyakit.
Dalam aspek tauhid, para ulama Arab Saudi juga gencar
menyebarkan kitab ajaran tauhid versi Wahabi. Di dalamnya, antara lain,
mengajarkan tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa al-shifah. Sebagaimana di
Indonesia, kini terjadi kontestasi kitab-kitab tersebut dengan kitab tauhid
menurut versi ulama Ahlussunnah wal
jamaah. Di dalamnya antara lain berisi ajaran sifat 20 yang wajib
diketahui bagi Allah, yaitu wujud, qidam, baqa, dan seterusnya.
Berbagai kajian pun telah dilakukan terkait penyebaran
ajaran Wahabi dan ajaran dari Timur Tengah lainnya ke Indonesia. Salah
satunya hasil penelitian Abdul Munip melalui disertasinya di UIN Yogyakarta.
Disertasi itu telah dikemas ke dalam buku berjudul Transmisi Pengetahuan
Timur Tengah Ke Indonesia: Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di
Indonesia, 1950-2004. Dalam buku yang diterbitkan oleh Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan tahun 2010 ini dijelaskan penyebaran ajaran Wahabi melalui
buku-buku terjemahan berbahasa Indonesia. Penerbit buku terjemahan itu tidak
hanya dari Indonesia, juga Kedutaan Besar Arab Saudi yang dibagikan gratis
kepada jamaah haji.
Dalam perkembangannya, ajaran Wahabi semakin banyak
diterima di Indonesia. Bahkan ajaran itu juga disebarkan oleh tokoh Nahdlatul
Ulama (NU). Sebagaimana hasil penelitian Tim Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan tentang peta lektur keagamaan pada 2013.
Melalui penelitian ini diperoleh buku berjudul Mustasyar
MWC NU Menggugat Maulid Nabi karya Buchari. Ia mantan anggota Pengurus
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tahun 1965 saat kuliah di IAIN
Syarif Hidayatullah cabang Serang, dan Wakil Ketua Persatuan Guru NU
Kabupaten Lebak 1969-1974. Jabatan terakhirnya Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi
Agama, Serang, Banten (2008-2009).
Perubahan keyakinan Buchari dari pro dan kontra terhadap
acara ritual yang dipraktikkan NU bermula sejak ia dan istrinya berangkat
haji pada 2007. Selama di sana, ia membaca buku-buku karya ulama berpaham
Wahabi, antara lain, Kasyfusy Syubuhat fit Tauhid (Menyingkap Kesalahpahaman
dalam Tauhid) karya Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Aqidah ash-Shahihah wa Ma
Yudladhuha (Aqidah Yang Benar dan Hal-Hal yang Membatalkannya) karya Syekh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan Haji, Umrah, dan Ziarah Menurut Kitab
dan Sunnah, juga karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Berdasarkan bacaannya dari buku-buku karya ulama Wahabi
ini, Buchari menyatakan, seorang Muslim yang konsisten mengikuti Alquran dan
as-Sunnah tidak akan mengikuti upacara peringatan "Maulid Nabi
SAW", Isra Mi’raj Nabi SAW, dan Nuzulul Qur’an. Sebab, tradisi ini tidak
bersumber dari Alquran dan as-Sunnah as-Shohihah. Ia juga menegaskan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal adalah mencangkok
penganut agama Nasrani dalam menyambut perayaan Hari Natal (Hari Lahirnya
Yesus Kristus) setiap 25 Desember (halaman 117 dan 211).
"Maulid" Arab Saudi
Di kalangan pendukung ajaran Wahabi terjadi dinamika perbedaan
pemahaman terhadap ajaran yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab
tersebut. Hal ini sebagaimana dituturkan KH Shiddiq Amien saat menjabat ketua
umum Persatuan Islam (Persis), organisasi yang didirikan dengan spirit
memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat. Menurutnya, dari dua lembaga
donor Arab Saudi yang biasa membantu Persis, selanjutnya hanya satu saja.
Lembaga lainnya belakangan menilai Persis bukan "Salafy" (Wahabi)
karena jamaah Persis banyak yang tidak berjanggut, celananya isbal (melewati
mata kaki), asatidzah-nya masih pada merokok, dan sebagainya (Shiddiq Amien,
Muktamar: Media Memperkokoh Solidaritas dan Kebersamaan, dalam Majalah
Risalah Edisi Khusus Muktamar Persis, No 5 Th. 43 Jumadit Tsaniyah
1426/Agustus 2005, halaman 48.
Dinamika penganut paham Wahabi lainnya juga muncul dalam
10 tahun terakhir. Sejak kepemimpinan Raja Abdullah, Arab Saudi mulai
menyelenggarakan hari nasional. Peringatan ini digelar setiap 23 September,
awal mula berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Pada mulanya acara ini mendapatkan
tentangan dari para ulama di sana. Meskipun, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi
tetap melangsungkan tanggal itu sebagai hari jadi negara.
Karena itu, terjadi hal yang paradoks. Ulama-ulama Saudi
mengharamkan gambar (fotografi), tapi pada saat yang sama foto-foto raja dan
pejabat kerajaan banyak dipasang di pinggir jalan. Paradoks lainnya adalah
penyelenggaraan acara hari jadi negara ini berpatokan pada tanggal Masehi
bukan tanggal Hijriyah (AM Waskito, 2014, halaman 194-195).
Berkenaan dengan masa kecil salah seorang cucu pendiri
Kerajaan Arab Saudi Muhammad Ibnu Saud lainnya yang juga bernama Abdullah,
Buya Hamka menceritakan pengalamannya saat ibadah haji yang kedua pada 1950.
Menurutnya, suatu hari Amir Abdullah putra Amir Faisal putra Ibnu Saud jatuh
dari atas kuda hingga kakinya patah. Dokter-dokter di Makkah pun memeriksa
dan menyatakan kaki anak itu harus dipotong. Kabar ini sampai ke dukun anak
dari Palembang yang sedang bermukim di Arab.
Ia pun mengurut sekerat rotan sambil memejamkan matanya
dan mulutnya komat-kamit membaca mantera hingga kaki anak itu sembuh. Raja
Arab Saudi pun bertanya, "Apakah itu sihir?" Dia menjawab,
"Tidak. Saya tidak ahli sihir." "Mengapa rotan yang engkau
urut bukan kaki Amir?" "Amir seorang mulia, tanganku tidak boleh
menyentuhnya."
"Apakah yang engkau baca?" "Doa kepada
Tuhan, dengan iktikad yang putus, dengan tauhid yang khalis (murni), tidak
mengharap pertolongan dari yang lain." Raja dan amir-amir pun heran.
"Tamanna! Katakanlah apa yang engkau suka!" "Kesukaanku hanya
satu." "Apa?" tanya Raja. "Semoga Baginda Raja diberi
umur yang panjang."
Hamka pun menjelaskan, konon raja memerintahkan tukang
urut dari Palembang itu mengepalai rumah sakit kerajaan di Makkah. "Anta
tabib, gairak musy tabib (Engkau yang dokter, yang lain itu bukan
dokter)." Namun, perintah raja itu ditolaknya. Sementara, banyak orang
Arab mengatakan dukun itu bodoh. Sebab, ia tidak menyahut "tamanna"
dengan baik.
Ia tidak meminta rumah, mobil, uang, dan sebagainya
melainkan hanya mengatakan supaya usia raja dipanjangkan. Menurut Hamka, itu
bukan kebodohan, melainkan jiwa asli bangsa Indonesia (Henry Chambert-Loir,
Naik Haji di Masa Silam, jilid II, 2013, halaman 852).
Karena itu, kemampuan dan akhlak dukun beranak asal
Indonesia ini dapat diasumsikan diperoleh para ulama terdahulu secara
turun-temurun. Dakwah mereka pun membuahkan hasil yang ajaib. Nusantara yang
sangat jauh dari Arab dan terdiri dari berbagai macam pulau, suku, dan
bahasa, mayoritas penduduknya menjadi Muslim. Para penduduk berbagai suku,
pulau, dan bahasa ini dapat bersatu dalam wilayah melalui terjalinnya
silaturahim antarsultan dan antarulama berbagai daerah.
Karena itu, apakah pendirian bangunan berikut nisan dan
nama yang di kubur itu bid’ah yang sesat? Hal ini tetap menjadi perdebatan di
kalangan umat Islam. Namun, tradisi ini bagi sebagian besar Muslim di
nusantara telah memberikan manfaatnya, sebagaimana setelah gelombang tsunami
di Aceh pada 26 Desember 2004. Jika di kompleks makam Sultan Malikus Saleh
tidak terdapat batu nisan dan nama beliau, maka tidak diketahui jasad siapa
yang Allah selamatkan dari amukan tsunami.
Daripada
terus berdebat tentang syirik atau bid’ahnya tradisi secara turun-temurun
itu, umat Islam saat ini sebaiknya bersatu. Dengan sama-sama melihat dalam
perspektif sunnah, apakah bangsa Arab yang satu daratan, satu bahasa, serta
umumnya satu agama, tapi pecah jadi belasan negara sejak berdirnya Arab
"Saudi" pada 1932 adalah bid'ah atau sunah? Sebaliknya, nusantara
yang sejak zaman para sultan dulu meski beda pulau, suku, dan bahasa, tapi
bisa bersatu dalam satu wilayah di nusantara mendekati sunah atau mendekati
bid'ah? Pertanyaan ini harus dimunculkan. Sebab, di dalam Alquran dan hadis
yang ditulis dalam bahasa Arab, umat Islam diperintahkan untuk bersatu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar