Pengibar
Bendera Rahmatan Lil’Alamin
Mohammad Nuh ; Dosen
Jurusan Teknik Elektro ITS
|
JAWA
POS, 30 Januari 2015
JALALUDDIN Rumi, penyair sufi yang lahir pada 1207 M (604
H) pernah berkisah tentang seorang muazin yang bersuara jelek, tidak nyaman
didengar. Dia ingin sekali mengumandangkan azan. Teman-teman di sekitarnya
menasihati agar dia tidak melantunkan azan. Mereka khawatir terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan karena mereka tinggal di tengah-tengah mayoritas bukan
muslim. Namun, si muazin bersikeras melantunkan azan karena itu adalah
perintah agama. Tidak ada yang bisa menghalangi orang untuk melakukan
kewajiban agamanya. Akhirnya, lantunan suara azan yang memekakkan telinga pun
terdengar ke mana-mana.
Dampak azan itu, seorang nonmuslim tiba-tiba hadir di
tengah-tengah jamaah kecil tersebut sambil membawa jubah, lilin, dan manisan.
Dia bertanya-tanya mencari si tukang azan. Seluruh jamaah terdiam sambil
menyesali perbuatan si muazin. Dalam kecemasan yang memuncak, tiba-tiba saja
satu kalimat terlontar dari lisan nonmuslim yang datang itu: ’’Tunjukkan
kepadaku mana tukang azan yang telah membahagiakan hatiku itu!’’ Sembari
bernapas lega, salah seorang jamaah menyahut, ’’Kebahagiaan apa yang engkau
peroleh dari azan yang memekakkan telinga itu?’’
Si nonmuslim bercerita bahwa dia mempunyai anak gadis yang
telah lama ingin menikah dengan seorang pemuda muslim. Untuk itu, dia telah
mempelajari agama Islam sebagai bekal hidup bersama pemuda tersebut. Dia
sangat ingin menyatakan masuk Islam. Tetapi, ketika mendengar suara azan itu,
dia bertanya, ’’Suara apa itu, ayah? Aku tidak pernah mendengar suara sejelek
itu!’’
Si nonmuslim menjawab bahwa itu adalah suara orang Islam
memanggil orang beribadah. Sejak itu, si anak tidak tertarik lagi untuk masuk
Islam. ’’Maka, aku sangat bahagia atas sikapnya. Selama ini, kami dibuat
susah tidur oleh anak gadis kami itu. Sekarang kami tenang dan sangat senang.
Tiada kebahagiaan yang lebih dari ini. Karena itu, tunjukkan kepadaku mana si
tukang azan itu! Aku akan memberinya hadiah-hadiah ini dan kalau aku memiliki
banyak harta, aku akan memberikannya sebagai hadiah,’’ kata si nonmuslim.
Lewat kisah parodi, Jalaluddin Rumi berpesan: Kita dapat
menegakkan ajaran Islam seperti menyuarakan azan; bisa indah, bisa buruk.
Kita dapat menampilkan Islam yang lembut dan merdu, bisa pula yang keras dan
menakutkan. Dan cara kita mengamalkan ajaran Islam akan memengaruhi sikap
orang lain terhadap Islam.
Dalam ruang publik dan peradaban yang
semakin kompleks serta terbuka, sangat dimungkinkan terjadi benturan antar
peradaban apabila etika interaksi dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan
serta nilai-nilai lain yang melekat pada suatu kelompok diabaikan. Fenomena ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang
sekarang sudah menjadi game changer
geopolitik global dan gerakan Je Suis Charlie sebagai respons atas teror
terhadap majalah Charlie Hebdo di Paris beberapa waktu lalu tidak lain adalah
contoh nyata terjadinya benturan ekstremitas peradaban karena lemahnya etika
interaksi dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan.
Konsep rahmatan lil
’alamin (RLA) (QS 21: 107) yang mengedepankan kerahmatan bagi semua
bukanlah konsep lokalistik-utopis, melainkan konsep universal yang sudah
terbukti dan teruji melalui Piagam Madinah sebagai bentuk operasionalnya.
Saat Piagam Madinah dideklarasikan pada abad ke-7, umat Islam hanya 15 persen
dari populasi penduduk Madinah yang mayoritas Yahudi dan Nasrani. Karena
dalam Piagam Madinah hak dasar dan nilai kemanusiaan universal dijunjung
tinggi serta lintas ikatan primordialisme, pihak mayoritas bisa menyetujui
dan menerima.
Konsep RLA dilanjutkan Wali Songo saat menyebarkan Islam
di tanah Jawa pada abad ke-14-an atau tujuh abad setelah zaman Rasulullah.
Dialog antara Sunan Ampel, Sunan Kalijogo, dan Sunan Kudus saat membahas
model komunikasi keagamaan serta penghormatan terhadap tradisi, adat
istiadat, dan budaya menggambarkan betapa Wali Songo menghargai serta
menjaganya sepanjang tidak bertentangan secara esensial dengan prinsip
tauhid.
Kini saatnya pada abad ke-21 atau tujuh abad setelah era
Wali Songo, kita melakukan reaktualisasi dan mobilisasi pemahaman kolektif
tentang pentingnya konsep RLA yang pangejawantahannya mengedepankan
pendekatan kultural. Dengan demikian, pembudayaan menjadi pilihan prosesnya
dan tentu harus memahami serta mempertimbangkan karakteristik masyarakat
digital saat ini.
NU yang lahir pada 31 Januari 1926 di Surabaya, dalam
dinamika sosialnya, berpegang pada prinsip toleransi (tasamuh), seimbang (tawazun),
tengah-tengah (tawassuth), dan
tegak lurus (’itidal). Hal itu
menggambarkan bahwa NU tidaklah berada pada posisi ekstremitas, melainkan
dalam posisi moderat. Posisi tersebut merupakan terjemahan RLA, baik yang
dicontohkan pada zaman Rasulullah maupun para Wali Songo.
Kini, NU yang sepuluh tahun mendatang memasuki satu abad,
sekaligus menyiapkan satu abad kemerdekaan RI (2045), menghadapi persoalan
dan tantangan yang luar biasa besar. Hal itu sekaligus menjadi peluang untuk
membuktikan bahwa NU adalah pengibar sejati bendera RLA dan penyemai
panji-panji pengibar RLA. Tantangan terbesar NU adalah melakukan transformasi
sumber daya, aset, dan organisasi NU yang sungguh sangat besar agar mampu
menjawab secara efektif berbagai persoalan serta tantangan ke depan. Tentu
pesan Jalaluddin Rumi tentang muazin itu masih relevan dalam masyarakat
digital dewasa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar