Era
Baru Industri Pertahanan
Sjafrie Sjamsoeddin ; Wakil
Menteri Pertahanan dan Sekretaris KKIP
(2010-2014)
|
KOMPAS,
31 Januari 2015
KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo ke PT PAL dan PT Pindad
membuka mata publik tentang komitmen pemerintah untuk pengembangan industri
pertahanan nasional. Untuk PT Pindad, misalnya, Presiden yang juga Ketua
Komite Kebijakan Industri Pertahanan mengatakan bahwa negara akan
mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 700 miliar. PMN yang
disampaikan Presiden tentu angin segar bagi industri pertahanan nasional. Ini
bentuk kebijakan yang menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengembangan
industri strategis.
Pada awalnya industri pertahanan di dunia tumbuh sebagai
government-created, protected and regulated industry, yakni industri yang
diciptakan, diproteksi, dan diregulasi oleh pemerintah. Ciri-ciri umumnya
tampak dari pasar yang bersifat monopsonistik, yakni pemerintah menjadi
pembeli utama atau konsumen terbesar industri pertahanan suatu negara.
Secara universal, dimulai dari Eropa, sejak akhir 1980-an
gencar desakan untuk membuka keran investasi bagi industri pertahanan terkait
maraknya iklim keterbukaan, demokratisasi, dan desakan pembayar pajak untuk
alokasi dana pemerintah bagi sektor publik lainnya.
Hasilnya bisa kita lihat dari kemunculan raksasa industri
pertahanan dunia semacam BAE dari Inggris. Industri pertahanan di Amerika
juga membuka diri masuknya pemodal lain untuk memperkuat lini bisnis dan
memperluas pasar. Tren paling akhir adalah maraknya pelaku industri
pertahanan dunia masuk ke Afrika dan Asia dengan melakukan aksi merger dan
akuisisi.
Negara-negara yang industri pertahanannya telah mengalami
”metamorfosa investasi” umumnya melewati perjalanan panjang dan turbulensi
yang tak mudah. Kita juga tidak bisa memberikan penilaian begitu saja bahwa
model mereka yang paling tepat. Ada karakteristik di berbagai region dan
negara yang melahirkan wajah investasi dan tren pertumbuhan usaha industri
pertahanan yang berbeda. Di Indonesia, misalnya, hingga sekarang industri
pertahanan bagian pokok atau strategis dari upaya pemerintah menegakkan
kedaulatan dan keamanan negara.
Dewasa ini industri pertahanan nasional masih berpusar
pada tahapan kemampuan produksi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peningkatan
capacity building, penguasaan teknologi, hingga konsistensi mutu dan layanan
kepada pengguna akhir di tiap-tiap matra masih jadi pekerjaan rumah utama.
Wajar jika pemikiran yang berkembang masih linear, kepemilikan badan usaha
yang memproduksi alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) oleh
pemerintah merupakan keharusan. Demikian pula dengan investasi dan strategi
pertumbuhan usahanya.
Walhasil, diskursus yang ada lebih bermuara pada opsi
untuk membeli dari luar negeri atau memproduksi sendiri alpalhankam
Indonesia. Itu sebabnya muncul desakan untuk adanya alih teknologi dan
kewajiban offset bagi pembelian alpalhankam dari luar negeri sesuai amanat UU
No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
Dewasa ini tren dari industri pertahanan nasional
menggandeng mitra strategis dari pelaku industri pertahanan global merupakan
peneguhan spirit alih teknologi. Tren ini patut kita sambut baik karena
implikasinya pada penghematan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun
perwujudan amanah kemandirian industri pertahanan nasional.
Perusahaan induk
Menyimak kunjungan Presiden Joko Widodo ke PT Pindad, ada
atensi strategis yang tersirat dari Presiden, yaitu menjadikan industri
pertahanan mandiri dan bersaing di pasar luar negeri. Maknanya, membesarkan
industri pertahanan nasional dengan jaringan birokrasi yang lebih sederhana
dan praktis, tetapi solid dan tidak membebani regulator korporasi
(Kementerian BUMN). Apalagi industri pertahanan punya spesifikasi yang
homogen dan melibatkan pemangku kepentingan yang luas. Konkretnya, kita bisa
merespons atensi strategis Presiden dengan penataan manajemen sekaligus
membangun perusahaan induk (holding
company) industri pertahanan nasional.
Diskusi pembentukan perusahaan induk di sektor industri
lain bukan hal baru. Inpres No 5/2008 sudah mencanangkan perampingan atau
upaya membuat jumlah dan skala usaha BUMN dalam komposisi yang tepat untuk
industri semen, pupuk, perkebunan dan perbankan. Salah satu opsi
perampingan—sesuai dengan cetak biru yang disusun pemerintah—adalah membentuk
perusahaan induk. Sejatinya, pembentukan holding juga bisa jadi opsi
pengembangan industri pertahanan, yang dapat berperan dalam pengelolaan dana
pemerintah, skema investasi hingga strategi pertumbuhan usaha antar-industri
pertahanan agar bisa lebih terintegrasi.
Peran Kementerian BUMN praktis hanya di tataran kebijakan
yang bersifat makro, seperti perencanaan dan pengawasan korporasi. Adapun
holding memainkan peranan strategis, yaitu perencanaan perusahaan secara
keseluruhan, pengembangan usaha, pengelolaan keuangan, pengendalian anak
perusahaan, menentukan arah pengembangan produk dan penelitian, serta sinergi
pemasaran, khususnya untuk pasar luar negeri.
Indonesia dulu pernah memiliki holding BUMN pertahanan, PT
Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS). Pemerintah membubarkan BPIS pada
2002 karena tidak efisien dan lebih kental nuansa birokratis daripada
korporasi. Sudah jamak diketahui para
pelaku industri modern, suatu perusahaan induk akan kehilangan maknanya jika
tak mampu memberikan benefit efisiensi dan integrasi aktivitas produksi serta
keleluasaan pengambilan keputusan kepada anak perusahaan.
Kita serius menginginkan industri pertahanan nasional masa
kini dan mendatang ditandai dengan era baru skala manajemen yang dikemas
dalam perusahaan induk. Industri pertahanan sudah saatnya memasuki era baru
dengan perusahaan induknya untuk menghapuskan inefisiensi dan disharmoni
antarkomunitas industri pertahanan. Walhasil, negara akan mudah dan praktis
dalam membuat perencanaan strategis, sekaligus memberikan benefitas bagi sektor ekonomi dan pertahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar