KPK,
Polri, dan Mpu Gandring
Karyudi Sutajah Putra ; Pengajar
Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi
FH UGM Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 28 Januari 2015
KELAHIRAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang benihnya
ditanam oleh gerakan reformasi, terbukti tidak dikehendaki oleh ibu
kandungnya: Presiden dan DPR. Bukti itu antara lain berupa upaya pelemahan
dan ancaman pembubaran yang disampaikan berkali-kali. Dibentuk tahun 2003
berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, yang disahkan DPR periode 1999-2004 dan
Presiden Megawati Soekarnoputri, KPK seperti lahir prematur.
Ibarat keris belum jadi sempurna tapi sudah direbut Ken
Arok (Raja Singosari abad XII di daerah Malang, Jatim) dari tangan
pembuatnya, Mpu Gandring, yang menjadi korban pertama penusukan. Pararaton
mengisahkan, menjelang ajal, Mpu Gandring sebagai empu keris tersohor di Tumapel, cikal-bakal
Kerajaan Singosari melontarkan kutukan bahwa keris buatannya itu akan menelan
korban hingga tujuh turunan. Dendam pun melahirkan dendam.
Bila keris Mpu Gandring menelan korban enam tokoh, yakni
Mpu Gandring, Kebo Ijo (teman Ken Arok), Tunggul Ametung (penguasa Tumapel),
ketiganya dibunuh Ken Arok, dan kemudian Ken Dedes, istri Ametung yang ia
rebut; lalu Ken Arok sendiri, dan Ki Pengalasan, pengawal Anusapati yang
membunuh Ken Arok; serta Anusapati, anak Ken Dedes dari Ametung, yang
memerintah Ki Pengalasan membunuh Ken Arok; dendam itu sedikitnya menelan
lima ’’korban’’ dari KPK, yakni Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto-Chandra
Hamzah, Novel Baswedan, dan kini Bambang Widjojanto (BW).
Tuduhan Pembunuhan
Antasari adalah Ketua KPK 2007-2009. Di bawah Antasari,
kasus korupsi kakap dikuak, antara lain penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan,
Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI yang menerima suap 660.000 dolar AS dari
Artalyta Suryani (Ayin) anak buah Sjamsul Nursalim pada Maret 2008.
KPK juga menangkap anggota Komisi IV DPR dari PPP Al Amin
Nur Nasution dalam kasus suap persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung
Tanjung Pantai Air Telang Sumsel pada April 2008, dan memenjarakan Aulia
Pohan, Deputi Gubernur BI yang juga besan SBY, presiden saat itu.
Tak lama kemudian Antasari menghadapi tuduhan pembunuhan
Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain yang tewas tertembak
pada 15 Maret 2009. Antasari pun dinonaktifkan oleh SBY pada 6 Mei 2009 dan
kemudian dipidana 17 tahun penjara. Publik meyakini Antasari dikriminalisasi,
dan rekayasa itu sulit dilepaskan dari sepak terjangnya melawan kekuasaan,
baik di Istana maupun Senayan.
Setelah Antasari, badai menerpa Bibit Samad-Chandra
Hamzah, waktu itu keduanya Wakil Ketua KPK. Badai bermula dari isu penyadapan
oleh KPK terhadap Kabareskrim Polri (saat itu) Komjen Susno Duadji yang
dituduh terlibat pencairan dana nasabah Century, Boedi Sampoerna.
Susno pun melawan dan melontarkan joke, ’’Cicak (KPK) kok
mau melawan buaya (Polri)’’ sehingga kemudian muncul istilah Cicak Vs Buaya
pada Juli 2009. Bibit-Chandra ditetapkan Polri menjadi tersangka dugaan
penyalahgunaan wewenang dan ditahan pada 29 Oktober 2009, namun kemudian
dilepaskan.
Pada Oktober 2012, kasus Cicak Vs Buaya kembali terulang,
gara-gara KPK mengusut dugaan korupsi proyek simulator SIM yang melibatkan
Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Tak lama setelah KPK menetapkan
Djoko sebagai tersangka, Bareskrim menetapkan penyidik KPK Kompol Novel
Baswedan, sebagai tersangka kasus penganiayaan 2004. Sebelum Polri
mengumumkan Novel tersangka, pada Jumat malam 5 Oktober 2012 puluhan polisi
menggeruduk gedung KPK hendak menangkap Novel namun penyidik KPK dari Polri
tersebut dilindungi ”benteng manusia” yang terdiri atas para aktivis
pendukung KPK.
Jumat (23/1/15) pagi, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
ditangkap Bareskrim Polri sebagai tersangka karena menyuruh saksi memberikan
keterangan palsu di MK dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat 2010,
dan dikenai Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP. Polisi menangkap BW berdasarkan
laporan Sugianto Sabran, anggota DPR dari PDIP. Sehari sebelum penangkapan
BW, Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyerang Abraham Samad bahwa Ketua KPK
itu pernah enam kali bertemu elite PDIP untuk melobi dijadikan cawapres dari
Joko Widodo pada Pilpres 2014.
Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komjen Budi Gunawan (BG)
ditetapkan KPK sebagai tersangka suap sewaktu menjabat Kepala Biro Pembinaan
Karier Polri. Budi adalah calon tunggal kapolri yang diajukan Presiden
Jokowi. Pengumuman tersangka itu hanya sehari menjelang mantan ajudan
Megawati (2001-2004) tersebut menjalani fit and proper test di DPR yang
akhirnya meloloskannya, pada Rabu, 14 Januari 2015.
Polri dan PDIP boleh membantah penangkapan BW bukan aksi
balas dendam, dan tak ada kaitan dengan penetapan BG sebagai tersangka, serta
bukan upaya pelemahan KPK. Namun sulit memercayai bantahan itu. Apalagi,
sebelumnya Hasto melontarkan tuduhan bahwa penetapan BG sebagai tersangka
merupakan aksi balas dendam karena Abraham tidak dijadikan cawapres. Di sisi
lain, mungkin saja PDIP khawatir kasus BLBI dan Budi Gunawan akan membuka
kotak pandora mengingat nama Megawati dikaitkan kasus BLBI, dan ada elite
PDIP disebut-sebut menerima cek dari BG.
Menyikapi konflik KPK-Polri, Jokowi dalam pidatonya di
Istana Bogor, Jumat (23/1/15), meminta KPK-Polri tidak bergesekan dalam
menjalankan tugas masing-masing. Seperti SBY yang ’’melerai’’ KPK-Polri
dengan membentuk Tim 8, Jokowi pun pada Minggu (25/1/15) malam membentuk Tim
7, beranggotakan mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan wakapolri Komjen
(Purn) Oegroseno, mantan ketua umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, dua mantan
wakil ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Tumpak Hatorangan Panggabean,
ditambah Bambang Widodo Umar, dan Hikmahanto Juwana.
Tidak dapat
dipastikan kapan aksi saling balas dendam itu berakhir. Kutukan Mpu Gandring
seakan-akan berlaku bagi KPK yang kelahirannya tak dikehendaki ’’ibu kandungnya’’,
Presiden dan DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar