Cucu
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 25 Januari 2015
Salah satu cucu saya bernama Ammar. Umurnya 3 tahun,
tetapi dia fasih sekali bermain gagdet. Yang paling disukainya adalah
berbagai game tentang mobil.
Dia sama sekali belum bisa membaca, tetapi dia tahu persis
mana-mana yang harus disentuh dengan jari mungilnya untuk memunculkan merek
mobil yang mana yang dia mau dan mau balapan dengan mobil yang merek apa.
Bukan itu saja, dia menirukan suara-suara yang didengarnya, mulai dari bunyi
tabrakan sampai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkannya begitu saja
tanpa dia mengerti artinya, persis seperti burung beo.
Cucu saya yang lain, sepupu Ammar, namanya Khalif. Umurnya
6 tahun, sudah di kelas 1 SD. Dia juga mulai kariernya seperti Ammar. Main
gadget, dilanjutkan dengan nonton kartun Spiderman dan Ben 10, menirukan
kata-kata bahasa Inggris dari gadget dan film, maka ketika masih di TK B, dia
sudah fasih melafalkan Martin Luther King ”I have adream ” dalam bahasa
Inggris yang bebas dari aksen Tegal seperti kalau Eyang Kakungnya ceramah
bahasa Inggris di Kongres Psikologi Internasional.
Di sisi lain, ketika saya seumur kedua cucu saya itu, saya
tinggal di Tegal, dengan bahasa Jawa Tegal yang kental. Ketika saya dites
TOEFL untuk dikirim ke Amerika setelah menyelesaikan pendidikan psikolog,
saya tidak lulus karena berpikirnya pun masih bahasa Jawa Tegal. Maka saya
terpaksa les bahasa Inggris dulu di LIA (Lembaga Indonesia Amerika) dan
mengulang tes lagi, kali ini untuk ke Inggris.
Alhamdullilah, saya diterima belajar di Universitas
Edinburgh, Skotlandia, dan di sanalah saya baru belajar bahasa Inggris
betulan, sampai bisa berdiskusi dan menulis makalah dan makalah saya dimuat
dalam jurnal internasional untuk yang pertama kali. Itu terjadi di awal tahun
1970-an. Tetapi, karena saya sudah terlanjur beraksen Tegal, maka logat Tegal
itu tidak bisa lepas dari bahasa apa pun yang saya ucapkan.
Dalam hal teknologi informasi, sampai jadi mahasiswa tahun
kedua, saya hanya tahu radio. TVRI (hitam putih) baru ada ketika saya sudah
kuliah di tingkat dua itu. TV berwarna baru saya kenal ketika saya sudah
punya dua anak, komputer baru saya tahu ketika saya belajar lagi di Belanda
untuk S-3 saya (akhir 1970-an), dan sejak 1980-an saya mulai menggunakan
radio panggil atau biasa disebut Starko (salah satu merek provider radio
panggil ketika itu),
dan kemudian dengan cepat saya menggunakan internet, HP
(handphone), email, Twitter, Blog, Facebook dan tentu saja HP saya berganti
menjadi smartphone yang bisa untuk BBM, WA, selfie, bahkan untuk mencari
jalan non-macet di Jakarta dengan menggunakan fasilitas GPS Googlemap
atauWaze. Pokoknya dibandingkan dengan profesor lain seusia saya, saya
tergolong paling canggih dalam ilmu per-gadget-an.
Tetapi dibandingkan dengan cucu-cucu saya, saya tetap
kalah jauh. Baik dalam soal bahasa, maupun dalam soal per-gadget-an.
Ibaratnya, cucu-cucu saya ini adalah native speakers dalam dunia bahasa
Inggris dan per-gadget-an, karena sejak lahir sudah terpapar dengan semua hal
yang generasi saya baru mempelajarinya setelah jauh masuk ke usia dewasa.
Kesenjangan antara saya dan cucu saya memang sering
dijadikan bahan lucu-lucuan kalau seluruh keluarga sedang ngumpul, tetapi
kesenjangan tersebut sebetulnya mencerminkan perbedaan antar generasi yang di
dunia sudah menimbulkan banyak problem yang serius.
Dalam ilmu kependudukan, generasi saya yang lahir di
sekitar tahun 1940 hingga 1960-an disebut generasi Baby Boomers (BB),
anak-anak saya yang lahir antara 1960-1980-an disebut Generasi X (Gen-X) dan
generasi yang lahir setelah tahun 1980 biasa disebut Generasi Y (Gen-Y).
Ketiga generasi itu mempunyai cara pikir, perilaku dan gaya hidup serta
artifak (benda-benda yang digunakan sehari-hari) yang sangat berbeda,
terutama di masyarakat golongan menengah-atas yang rata-rata juga
berpendidikan menengah-atas.
Dengan perkataan lain, secara antropologis, ketiga
generasi itu hidup dalam budaya yang berbeda. Artinya, ketiga generasi itu
sebenarnya mengalami kesenjangan budaya, walaupun mereka boleh jadi tinggal
dalam satu rumah. Itulah sebabnya hampir setiap ABG (anak baru gede)
berkonflik dengan orangtuanya.
Di perusahaan-perusahaan, para direktur dari generasi BB
yang biasa dengan keteraturan dan disiplin, loyalitas serta kemapanan, tidak
bisa mengikuti jalan pikiran para manajer dari Gen-X yang serba mau cepat,
serba terobosan, dan cepat pindah kerja kalau ada job yang lebih baik. Gen-X
lebih loyal pada dirinya sendiri bukan pada tempatnya dia bekerja.
Tetapi, Gen-Y lebih dahsyat lagi. Dunia mereka sudah masuk
ke dunia virtual (maya), bukan dunia nyata, apalagi lokal (keluarga,
tetangga, teman sekolah dll). Seorang Gen-Y bisa duduk sama pacarnya di kafe,
sambil masing-masing ngobrol melalui gadget masing-masing dengan teman
masing-masing yang berada di tempat lain, boleh jadi si teman maya itu ada di
negara lain, ribuan mil dari kafe tempat mereka pacaran.
Karena itu, Gen-Y disebut juga generasi milenial atau
generasi internet atau bahkan generasi autis. Karena dunia mereka adalah
dunia global, dan pengaruh media sosial lebih kuat daripada media massa, maka
berbagai ide dan ideologi masuk ke kepala mereka. Kalau globalisasi Gen- X
masih terbatas pada budaya pop Amerika, termasuk McD dan KFC, globalisasi
Gen-Y sudah mengadopsi K-pop (Korea), komik Manga (Jepang), bahkan
radikalisme agama dari Timur Tengah.
Akibatnya,
nilai-nilai Pancasila yang di-kamsud sebagai nilai-nilai pemersatu bangsa
Indonesia oleh para pendiri bangsa (generasi pra-BB), sekarang ini menghadapi
tantangan yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan nilai-nilai
global dari Gen-Y yang sangat mungkin bisa mengoyak persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar