Menertawakan
Bangsa Sendiri
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2015
Dalam ilmu psikologi dikenal istilah archetype yaitu sifat dan kecenderungan perilaku laten yang
melekat pada setiap orang yang merupakan bawaan turun-temurun, tanpa melalui
proses belajar.
Jenis archetype
ini puluhan jumlahnya salah satunya disebut warrior. Secara harfiah berarti naluri prajurit atau petarung
yang bertujuan untuk membela diri dan meraih kemenangan. Seorang petarung
akan merasa puas ketika berhasil menaklukkan lawannya. Pada diri anak kecil
naluri petarung itu sudah terlihat misalnya ketika mereka berebut mainan yang
berujung dengan berantem.
Ketika menginjak remaja, bertarung memperebutkan piala
dalam sebuah pertandingan. Atau berebut untuk menjadi juara kelas. Mungkin
juga bertanding memperebutkan pacar. Panggung kehidupan adalah panggung
persaingan, kompetisi, peperangan, dan masing-masing pihak ingin menang.
Hanya, dengan majunya pendidikan dan kesadaran berbudaya,
peperangan yang dulunya bersifat primitif dan sadis kemudian dijinakkan
dengan tambahan unsur seni, wasit, dan sportivitas misalnya saja dalam sepak
bola atau pertandingan seni bela diri. Nafsu bersaing untuk menang tetap
difasilitasi, bahkan ditonton dan diberi insentif hadiah, namun harus menjadi
etika dan fairness.
Dalam konteks panggung kekuasaan, dengan dibuka
lebar-lebar ruang demokrasi, perebutan kekuasaan semakin seru, meriah, dan
gegap gempita. Sejak perebutan posisi bupati, wali kota, gubernur, DPR,
hingga presiden. Bermunculan political
warriors. Sayangnya, banyak di antara petarung politik itu yang tidak
menjaga seni dan etika dalam bertarung. Mereka ingin menang, tetapi tidak
dengan cara ksatria dan fair .
Misalnya melancarkan fitnah, money politics, mengancam, dan berbagai cara lain yang tidak
rasional dan tidak etis dilakukan semata untuk menang. Kalaupun nanti
dinyatakan sebagai pemenang, dia telah menipu dirinya dan rakyat. Lebih
runyam lagi jika ternyata nanti tidak mampu melaksanakan tugas dan amanat
sebagai seorang pemimpin atau penguasa. Yang akhir-akhir ini muncul dan
membuat bingung serta sedih masyarakat adalah konflik antara lembaga Polri
dan KPK.
Akarnya adalah ada pemenang dalam panggung kekuasaan,
namun telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan
kelompoknya. Mungkin saja sebagian uangnya untuk membayar biaya yang pernah
dikeluarkan ketika mereka memenangkan pertarungan. Ini jelas bukan seorang
ksatria.
Bukan pemenang dan juara sejati. Bukan seorang warrior
terhormat, melainkan pecundang dan koruptor. Mental pecundang itu ingin hidup
aman dan nyaman, berpenampilan keren, berpretensi pejuang rakyat, namun semua
itu semu. Ketika suatu saat ketahuan dan terendus oleh petugas penegak hukum,
mereka lalu bangkit melakukan upaya penyelamatan diri. Itu naluri dasar manusia
yang selalu ingin hidup dalam ruang nyaman (comfort zone).
Jika tidak bisa lari, ketika ada ancaman, muncul
perlawanan. Terlepas siapa benar dan siapa yang salah, setiap orang punya
naluri warrior. Naluri berantem
menaklukkan lawan. Makanya, jangan heran kalau sekali-sekali terjadi
perkelahian antara maling dan tukang ronda. Antara penegak hukum dan
penjahat.
Dalam konteks Polri versus KPK, sudah pasti yang terlibat
pertengkaran dan permusuhan ada oknum. Namun, karena oknum, jabatan formal,
legalitas, otoritas dan kekuasaan berkait berkelindan makanya yang mesti
diselamatkan adalah lembaganya, sedangkan oknumnya mesti diamputasi. Yang
membuat masyarakat jengkel, marah, dan sedih adalah ketika mereka yang sudah
berpendidikan tinggi, tahu hukum, dan mengaku penegak hukum, tetapi malah
mempermainkan dan mengeksploitasi dalil-dalil hukum dan undangundang semata
untuk melindungi dirinya karena terancam posisi dan harga dirinya akibat
korupsi.
Jadinya, kita menonton adegan dan figur-figur publik yang norak,
konyol, dan membuat malu kita semua. Penyelenggaraan pemerintahan yang
mestinya dilakukan dengan rasional, fair, dan efektif untuk melayani rakyat
akhirnya menjadi ruwet. Rakyat yang belum lama ini telah taat dan berkorban
menyukseskan pemilu, sekarang mulai merasa dikhianati dan dipermainkan.
Kita ini sudah lama merdeka. Di mana-mana berdiri
perguruan tinggi. Untuk menjadi pejabat negara pun disyaratkan sarjana,
akhlak mulia, bahkan sudah berikrar sumpah jabatan untuk tidak korupsi.
Mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Lalu, mengapa
mereka yang sudah memenuhi persyaratan itu semua, sekarang malah membuat
gaduh bangsa dan rakyat? Ini kekonyolan yang tidak saja mesti ditertawakan,
tetapi juga terkutuk.
Kapan kita ini akan dewasa dalam berbangsa dan bernegara
secara rasional dan bermartabat? Setiap tahun APBN keluar untuk
penyelenggaraan pendidikan. Untuk gaji pejabat negara. Untuk training dan
pelatihan. Untuk studi banding ke luar negeri. Untuk membayar konsultan.
Tetapi, mengapa bangsa ini lari dan sibuk di tempat? Bahkan dibuat bising
oleh pertengkaran dan sandera- menyandera antarlembaga penegak hukum?
Lagi-lagi, ini bukan sekadar kelucuan dan kekonyolan yang
mahal ongkosnya. Tetapi, jangan-jangan lebih tepat dis kedunguan karena
akal sehat dan nuraninya tidak bekerja normal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar