Sabtu, 31 Januari 2015

Jokowi Akhir-Akhir Ini

Jokowi Akhir-Akhir Ini

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SEWAKTU  kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo acap kali menyebut beberapa kata kunci tentang kabinet yang akan dibentuk jika terpilih sebagai presiden. Tiga kata kunci yang diucapkan adalah ”kerja”, ”ramping”, dan ”profesional”.

Kabinet ”kerja”, yang akhirnya menjadi nama resmi kabinet, merujuk pada kabinet yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dengan Djoeanda Kartawidjaja sebagai menteri pertama. Kabinet Kerja yang dibentuk Juli 1959 itu tak menyertakan seorang politisi pun.

Kabinet ”ramping” terbukti cuma sekadar janji kampanye Jokowi yang belum ditepati. Begitu juga kabinet ”profesional” hanya ilusi belaka sekalipun ada sejumlah menteri yang boleh dianggap ahli di bidang-bidang tertentu.

Politisi di negara mana pun pasti menebar ”angin surga” saat kampanye. Namun, sering terbukti bahwa memenuhi janji kampanye tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Sewaktu kampanye kita membayangkan kabinet Jokowi pasti mau bekerja, mungkin jumlahnya 20-an saja, para menterinya dari kalangan profesional, dan kalau bisa politisi segelintir saja. Namun, kita saat itu juga sadar bahwa politik bukanlah hitungan matematika 2+2=4.

Kita sudah malas berdebat tentang seberapa ideal Kabinet Kerja dan jarum jam mustahil ditarik mundur. Mungkin sebaiknya kita bersandar pada prinsip bahwa menteri adalah sebuah jabatan politis yang orangnya dipilih bukan berdasarkan pada hak prerogatif presiden semata.

Tuntutan publik dan kebutuhan politik untuk membentuk kabinet yang lebih baik tentu ada. Sebab, kabinet pemerintahan sebelumnya amburadul, khususnya karena sejumlah kementerian dijadikan sapi perah pendanaan partai.

Jika ada pertanyaan apakah Jokowi benar-benar menggunakan hak prerogatif 100 persen dalam menentukan menteri-menterinya, jawabannya tidak.

Hak prerogatif dia tergerus karena dia harus menjalani kompromi politik yang pelik dan bertele-tele dengan tokoh-tokoh partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dengan kata lain, Jokowi sampai kini masih menghadapi konflik memperjuangkan hak prerogatif yang dikombinasikan dengan ”kompromi politik”.

Apakah ini akan mengganggu slogan ”kerja, kerja, kerja”? Rasanya tidak juga. Sebab, harus diakui bahwa dalam kurun waktu sekitar tiga bulan ini Kabinet Kerja telah menunjukkan sejumlah prestasi meski belum sesuai dengan harapan rakyat.

Seperti pernah saya tulis di rubrik ini, Kabinet Kerja, ibarat rapor, layak mendapat nilai tujuh. Jika bekerja konsisten dengan merujuk pada program Nawa Cita-Trisakti, nilai tersebut kelak akan naik ke angka delapan.

Prestasi yang setidaknya kita rasakan saat ini antara lain kepedulian pemerintah pada kedaulatan fisik kita yang telah lama tergerus, baik di darat, perairan, maupun udara. Pemerintah juga sedang berupaya menegakkan hukum dengan menolak grasi sekaligus mengeksekusi para bandar narkoba yang dihukum mati.

Dan, setidaknya kita kini menyadari betapa besar dan banyaknya masalah yang diwariskan rezim sebelumnya. Sungguh pekerjaan tidak mengenakkan ketika Anda harus mencuci piring dan gelas serta menyapu dan mengepel setelah pesta berakhir.

Ini awal baik yang layak dilanjutkan Kabinet Kerja dengan harapan dukungan rakyat tidak anjlok. Masa bulan madu telah berakhir dan Kabinet Kerja hendaknya tetap berani bekerja menghadapi berbagai tantangan di depan.

Keputusan serampangan

Namun, di tengah hiruk-pikuk pemilihan menteri serta pejabat tinggi tingkat direktur/ komisaris BUMN dua bulan terakhir ini, terdapat pola proses pengambilan keputusan yang erratic (serampangan). Itu tampak jelas dari seleksi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Dan, semakin terbukalah konflik internal KIH setelah kegagalan pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Kini, keserampangan tersebut meluber ke konflik antar-institusi, termasuk Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bukan lagi rahasia kesan serampangan itu muncul sejak pembentukan Tim Transisi. Dan, jangan terkejut jikalau keserampangan ini masih akan tetap berlangsung sampai JKW-JK melakukan perombakan kabinet dalam kurun waktu 6-12 bulan ke depan.

Apakah Jokowi terganggu dengan keserampangan tersebut? Jawabannya belum tentu. Sebab, dia memimpin pemerintahan baru berjalan sekitar tiga bulan, yang sarat kompromi politik, dan yang mungkin masih canggung beraksi di atas panggung.

Selain menghadapi tekanan internal dari KIH, pemerintahan yang baru seumur jagung ini juga masih harus menghadapi DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP). Kita berharap hubungan antara eksekutif dan legislatif semakin konstruktif—bukan destruktif—demi memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Semoga saja apa yang dihadapi Jokowi akhir-akhir ini hanya sekadar riak yang tak mengganggu tugasnya memimpin dan memerintah bangsa dan negara ini. Insya Allah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar