Berani
Berjuang, Berani Menang! Belajar dari Kemenangan Elektoral Partai Kiri
Radikal Syriza
di
Yunani
Muhammad Ridha ; Anggota
Partai Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS,
28 Januari 2015
PADA hari Minggu kemarin, 25 Januari 2015, rakyat Yunani
melakukan Pemilu untuk menentukan siapa yang harus memegang tampuk kekuasaan
nasional. Pemilu ini begitu menarik untuk diperhatikan secara seksama, karena
untuk pertama kali kekuatan politik kiri (radikal, ya radikal kawan-kawan)
berpeluang besar untuk membangun pemerintahan nasional di Yunani. Sampai
dengan tulisan ini dibuat, exit polls pemilu setidaknya telah menunjukan
bahwa Syriza memperoleh lebih dari 36 persen suara dari 76 persen pemilih.
Suatu prosentase yang sangat besar jika kita menilik bagaimana kecenderungan
partai-partai kiri baru di pemilu Eropa yang cenderung selalu menjadi
minoritas.
Harus diakui bahwa Syriza sebenarnya sangat terinspirasi
oleh gelombang gerakan ‘Sosialisme Abad 21’ di tanah Bolivarian Amerika
Latin. Namun kita tidak dapat mengabaikan capaian historis dari Syriza itu
sendiri. Kemenangan Syriza, tepat berada di jantung terdalam kapitalisme
global, yakni di Eropa. Artikulasi politik Syriza juga meresonansikan
perlawanan popular rakyat yang terjadi secara mengglobal pasca krisis 2008,
yang ditandai dengan perlawanan lapangan Tahrir di Mesir beserta “musim Semi
Arab’-nya; Occupy Wall Street
sampai dengan perlawanan rakyat Turki di Taman Gezi. Syriza adalah salah satu
elemen aktif yang ikut serta dalam gerakan lapangan Syntagma, yang secara
lantang menyerukan perlawanan sengit terhadap kediktatoran troika (Bank
Sentral Uni Eropa, IMF, dan Komisi Uni Eropa) yang telah mengantarkan
implementasi kebijakan pengetatan (austerity)
melalui utang. Utang dari Troika ini sendiri adalah bagian dari agenda
neoliberalisme yang telah menyebabkan Negara Yunani kehilangan kapasitasnya
untuk menyediakan kebutuhan sosial mendasar bagi warga negaranya.
Memunculkan Syriza, bagi saya pribadi, adalah
merevitalisasi kembali makna ‘harapan’ (hope)
yang selalu menjadi komodititas politik yang hidup dalam rangka mobilisasi
suara mendukung kepentingan kelas yang berkuasa dalam setiap momen elektoral.
Kita mungkin tidak akan lupa bagaimana figur seperti Obama di AS dan juga
(bahkan!) Jokowi di Indonesia, yang memanipulasi kosakata ‘harapan’ sebagai
instrumen penarik rakyat yang selama ini selalu dipinggirkan dan dilemahkan
dalam proses politik yang ada. Syriza berada di tingkat yang lain, karena ia
bukanlah figur personal melainkan sebuah ekspresi politik dari gerakan rakyat
melawan neoliberalisme. Disinilah kita menemukan ‘harapan’ yang sepenuhnya
berbeda, karena melalui Syriza kita pada dasarnya tengah berharap terhadap
mereka yang berlawan dan berjuang untuk memenuhi dan menggenapi harapan
mereka sendiri. Suatu hal yang sepenuhnya asing dengan ‘harapan palsu’ ala
Obama dan (sekali lagi) Jokowi, yang pada dasarnya menitipkan harapan ke
figur tanpa menjamin apapun mengenai penguatan kapasitas politik rakyat.
Disinilah Syriza menjadi simbol kemenangan dan perubahan yang riil dari
rakyat.
Siapa Syriza?
Kemunculan Syriza (Συνασπισμός Ριζοσπαστικής Αριστεράς,
Synaspismós Rizospastikís Aristerás, Koalisi Kiri Radikal) diawali sebagai
inisiatif front kiri luas yang ada di Yunani. keberadaan front luas ini tidak
dapat dilepaskan dari konfigurasi kiri yang rumit di Yunani itu sendiri.
Semenjak tahun 1968, kiri Yunani terbagi dalam dua kutub. Kutub yang pertama
berasal dari Partai Komunis Yunani (Κομμουνιστικό Κόμμα Ελλάδας,
Kommounistikó Kómma Elládas, KKE), yang mengalami dua perpecahan besar: yang
pertama pada tahun 1968 pada masa kediktatoran militer, yang menyebabkan
berdirinya Partai Komunis Yunani (Interior), yang memiliki tendensi
eurocommunism. Perpecahan yang kedua terjadi pada tahun 1991 setelah
keruntuhan Soviet.
Syriza sendiri berada dalam gerakan kiri kutub kedua.
Kutub ini merupakan hasil dari perpecahan yang terjadi dalam Partai Komunis
Yunani (Interior) yang terjadi pada tahun 1987. Pecahan sayap kanan membentuk
Synaspismos –yang artinya Koalisi Kiri dan Kemajuan dan kemudian berganti
nama menjadi Koalisi Kiri dan Gerakan- pada tahun 1991. Sedang yang sayap
kiri membentuk Kiri Komunis Ekologis Pembaruan (Ανανεωτική Κομμουνιστική
Οικολογική Αριστερά, AKOA). Synaspismos menjadi elemen yang keanggotaannya paling
banyak mengisi tubuh politik Syriza. Alexis Tsipras, yang merupakan pemimpin
utama dari Syriza, berasal dari formasi Synaspismos.
Walau begitu, setidaknya terdapat 13 organisasi kiri yang
menjadi penyusun Syiriza selain Synaspismos. Misalnya Organisasi Komunis
Yunani (Κομμουνιστική Οργάνωση Ελλάδας, Kommounistikí Orgánosi Elládas, KOE)
yang merupakan salah satu organisasi Maois terbesar di Yunani; terdapat pula
Pekerja Kiri Internasionalis (Internationalist Worker Tendency, Διεθνιστική
Εργατική Αριστερά, DEA) yang berasal dari tradisi Trotskyis. Sebagai front
politik elektoral yang berdiri pada 2004, awal mula keterlibatan Syriza dalam
pemilu Yunani dapat dikatakan cukup sukses. Mereka mampu melampaui batas
parlemen (parliamentary threshold)
3 persen dan mendapatkan kursi di sana.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana
kompleksitas serta diversitas tendensi kiri dalam Syriza menciptakan kuatnya
perjuangan internal. Tendensi kiri (revolusioner) dan kanan (reformis)
menciptakan dinamika demokratis yang penting bagi Syriza sebagai organisasi.
Walau begitu, pertarungan internal justru memungkinkan untuk memenangkan
tendensi kiri secara lebih hegemonik dalam tubuh Syriza. Sebagai contoh,
walau Synaspismos berawal dari tendensi sayap kanan eurocommunism, namun semenjak berdirinya Syriza kepemimpinan
Synaspismos dipaksa untuk mengadopsi banyak program kiri revolusioner semasa
pembentukan awal agenda politiknya (Budgen
and Kouvelakis, 2015). Sayap kanan Synaspismos kehilangan kendali dalam
partai pada tahun 2006. Hal ini tentu saja menjadi inspirasi yang krusial
bagi kita dalam memahami pentingnya pertarungan demokratis bagi pemenangan
agenda politik revolusioner.
Tidak heran jika Syriza masih memegang teguh garis politik
anti-kapitalis. Garis inilah yang membedakan Syriza dirinya dengan partai
sosial demokrasi seperti PASOK, yang sempat menjadi ekspresi dari politik
kiri (tengah) yang dominan di Yunani. Syriza juga secara sadar mengakui bahwa
mereka adalah formasi kiri Yunani kontemporer yang merepresentasikan partai
perjuangan kelas. Garis politik inilah yang membuat Syriza mudah membangun
relasi dengan gerakan sosial yang ada. (Budgen
and Kouvelakis, 2015) menyebutkan ada dua tingkatan yang membuat Syriza
mampu membangun relasi organik dengan gerakan sosial: pertama, karena begitu
dinamisnya sayap pemuda Syriza membuat mereka mampu berhubungan gerakan
anti-globalisasi dan anti rasis. Hal ini menyebabkan Syriza sanggup membangun
pengaruh di kalangan muda, khususnya di kalangan mahasiswa dan pelajar. Karakter
gerakan muda Syriza ini banyak dipengaruhi oleh ideologi radikalisme, dan
mayoritas mereka mengidentifikasikan diri dengan Marxisme, khususnya aliran
Althusserianisme. Sedang yang kedua, peranan penting dari gerakan buruh yang
mempengaruhi dinamika Synaspismos pada tahun 2000an, menjadi jangkar bagi
sayap kiri partai. Walau banyak yang berasal dari KKE (Partai Komunis
Yunani), sayap kiri ini memiliki elemen kelas pekerja yang secara relatif
memiliki posisi perjuangan kelas dan sangat kritis terhadap Uni Eropa.
Kedekatan Syriza dengan gerakan sosial memegang kunci bagi
keberhasilan Syriza dalam mengintervensi politik elektoral Yunani. Pada
pemilu 2009, Syriza hanya mampu untuk mendapatkan 5.04 persen dari total
suara pemilu legislatif. Akan tetapi keterlibatan aktif mereka dalam gerakan
lapangan Syntagma menjadi titik kebangkitan yang penting bagi penancapan
pengaruh Syriza dalam gerakan kelas pekerja yang sedang berlawan terhadap
kapitalisme Yunani yang pada saat itu tengah dilanda krisis. Dalam momen
inilah, Syriza menjadi artikulasi politik kelas pekerja Yunani. Hal ini
kemudian berimplikasi pada meroketnya suara Syriza pada pemilu 2012, dimana
mereka mampu meraih 16,8 persen dari total suara pemilih. Hal ini tentu saja
menjadi kejutan bagi lanskap politik Yunani, dimana ekspresi perlawanan
gerakan sosial tengah mendapatkan tempatnya dalam politik elektoral melalui
Syriza.
Karena kebutuhan konsolidasi serta penguatan internal
Syriza untuk memastikan kemenangan politik elektoral gerakan sosial, maka pada
2013 seluruh elemen kiri Syriza bersepakat untuk mempermanenkan front luas
yang ada menjadi satu kesatuan partai politik. Akan tetapi proses penyatuan
ini bukannya tanpa pertarungan yang rumit. Kecenderungan politik ideologis
yang faksional harus tetap diperhatikan dalam proses penyatuan. Disinilah
kemudian proses penyatuan juga menyediakan ruang bagi pembentukan faksi-faksi
ideologis yang dimungkinkan untuk bertarung dalam ruang demokratis internal
Syriza. Setidaknya ada tiga faksi ideologis yang ikut menyusun kepemimpinan
komite sentral Syriza sekarang. Faksi pertama dan mayoritas adalah faksi
moderat dengan Alexis Tsipras adalah bagian darinya. Faksi yang kedua adalah
faksi Aliran Kiri (Left Current),
yang dipimpin oleh tokoh Marxis senior Yunani, Panayiotis Lafazanis, yang
mampu mengisi 30 persen kepemimpinan Komite sentral Syriza. Faksi ketiga yang
paling sedikit adalah faksi Platform Komunis (Communist Plaform) yang memiliki relasi kuat dengan organisasi
Trotskyis internasional, Tendensi Marxis Internasional (International Marxist Tendency, IMT), yang mana mereka mampu
mendapatkan dua kursi dalam komite sentral.
Syriza sebagai Kiri Reformis?
Walau Syriza tidak melepaskan garis anti-kapitalisnya,
namun dalam proses pemenangan mereka selama pemilu 2015, harus diakui bahwa
Syriza tengah bergerak ke garis politik yang moderat. Kebijakan
ekonomi-politik Syriza selama proses kampanye pemilu adalah kebijakan ekonomi
Keynesian yang menekankan pada kebijakan stimulus yang mampu untuk
menggerakan ekonomi riil Yunani. Syriza juga tidak berniat untuk keluar dari
Zona Eropa. Itu sebabnya Syriza tetap berkomitmen untuk membayar kembali
komitmen finansial mereka kepada Uni Eropa melalui renegosiasi utang. Ini
adalah posisi, yang bagi banyak kiri radikal, dapat dinilai sebagai
penerimaan bagi operasi hegemonik neoliberalisme di Eropa.
Moderasi inilah yang kemudian membuat partai kiri radikal
lainnya di Yunani, seperti KKE dan Antarsya menolak untuk terlibat dalam
setiap upaya ajakan Syriza untuk membangun koalisi pemerintahan Kiri Yunani.
Khusus bagi KKE, Syriza bahkan dianggap sebagai pengkhianat rakyat Yunani
karena ketidakberaniannya untuk menantang kepemimpinan Komisi Uni Eropa.
Walau terdapat kebenaran dari argumen tersebut, namun kita
perlu untuk memahami kondisi perjuangan kelas yang sekarang berada dalam
sejarah modern Yunani pasca krisis. Kebijakan pengetatan yang dilakukan oleh
rezim kekuasaan sebelumnya telah banyak menghancurkan kapasitas organisasi
gerakan sosial di Yunani. Pemogokan umum adalah hal yang lumrah terjadi di
sana. Namun demikian. sebegitu besar dan massif aksi-aksi tersebut,
mobilisasi di luar politik formal ini ternyata tidak banyak membawa perubahan
bagi situasi gerakan rakyat itu sendiri. Jika hal ini dibiarkan
berlarut-larut, gerakan rakyat akan mengalami demoralisasi, yang dengannya
mereka akan kehilangan vitalitas untuk melakukan perlawanan lebih lanjut.
Selain itu perjuangan untuk mendorong alternatif sosialis
dalam kerangka politik, baik elektoral maupun bukan, membutuhkan syarat-syarat
material yang mencukupi. Rooksby (2015), sebagai contoh, mencatat bagaimana
kalangan Marxis yang mengritik Syriza berpendapat bahwa Syriza mengeksklusi
program pengambilalihan kekuasaan melalui kekuatan dewan pekerja (Soviet).
Namun, bagi Rooksby, argumen ini mengabaikan satu fakta penting bahwa
institusi popular seperti itu tidak cukup dominan dalam dinamika perjuangan
kelas di Yunani. Dalam hal inilah, upaya untuk merujuk perjuangan sekarang
pada sepenuhnya dalam pengalaman Bolshevik justru menjadi sangat abstrak dan
tidak mengakar.
Moderasi Syriza, menurut saya, memang adalah langkah yang
sepenuhnya pragmatis, yang dilakukan Syriza untuk memastikan kemenangan
politik elektoral. Selain itu, langkah ini menjadi sangat perlu dalam
memenuhi kebutuhan segera dari rakyat Yunani yang secara terus-menerus
diterpa oleh kebijakan kediktatoran finansial á la memoranda. 25 persen
tenaga kerja produktif di Yunani adalah pengangguran. Tingkat pengangguran
yang tinggi tentu saja membuat gerakan sosial kesulitan untuk melakukan
mobilisasi yang aktif, karena pilihan yang mungkin bagi mereka yang tidak
bekerja adalah bertahan hidup, bukan untuk ikut dalam demonstrasi melawan
kebijakan pengetatan. Dengan mengambil langkah moderat, Syriza mampu untuk
merasionalisasi tuntutannya sesuai dengan kebutuhan massa yang ada. Sekaligus
juga untuk memperluas basis dukungan elektoral mereka dimana Syriza mampu
meraih simpati siapapun yang telah disiksa oleh kebijakan pengetatan
tersebut.
Walau begitu, bukan berarti tidak ada ancaman sama sekali
dalam moderasi ini. Karena kebutuhan pragmatis untuk memastikan bahwa program
politik dapat diimplementasikan, maka beberapa koridor prinsipil dianggap
perlu diterabas. Tidak mengherankan ketika kemudian Syriza tereksklusi dari
kekuatan kiri yang lain (yakni KKE dan Antarsya), maka agar terbentuk
pemerintahan mayoritas dibangunlah koalisi dengan partai kanan tengah, Partai
Yunani Independen, yang pada dasarnya adalah pecahan dari partai Demokrasi
Baru yang hanya bersepakat pada titik mengenai pentingnya melakukan
renegosiasi utang namun bertentangan sama sekali dalam isu-isu yang lain.
Dapat dilihat bahwa momen moderasi ini justru memberikan ruang kesempatan
dalam tubuh internal Syriza untuk berkapitulasi terhadap kekuatan kapital.
Disinilah pragmatisme kemudian menjadi pedang bermata dua dalam organisasi
politik Kiri
Untuk itu yang terpenting bagi moderasi Syriza bukan
terletak pada moderasi itu sendiri, namun pada bagaimana langkah moderasi ini
memungkinkan gerakan rakyat Yunani untuk berpartisipasi lebih jauh dalam
proses politik yang selama ini didominasi oleh elit korup yang didukung oleh
Komisi Uni Eropa. Dengan kata lain. kita perlu untuk melihat dinamika politik
kekuasaan Syriza bukan hanya pada tingkatan ‘politik atas’, tapi juga bagaimana
relasi ‘politik bawah’ Syriza terhadap gerakan sosial yang ada di Yunani.
Walau Syriza mengambil jalur kebijakan Keynesian, namun proses politik yang
mendasari kebijakan ini tetap dipertahankan agar tetap radikal. Mobilisasi
dalam rangka partisipasi menjadi kata kunci penting dalam setiap implementasi
yang coba dilakukan oleh Syriza kelak. Dalam hal ini ada ruang kontestasi
terbuka yang menjadi penentu bagi apapun hasil dari proses politik ketika
Syriza berkuasa nanti.
Penutup
Ilmuwan politik Leo Panitch menyebut Syriza sebagai
artikulator modern dari perjuangan kelas sekarang di Eropa. Hal ini bukan
tanpa alasan semenjak kemampuan Syriza bukan terletak pada sebatas
pragmatisme untuk meraih kekuasaan, tapi juga mendorong bagaimana kekuasaan
dapat secara operasional mendukung ideal-ideal gerakan rakyat tentang
sosialisme dan demokrasi. Proses yang dilakukan juga penuh dengan resiko.
Akan tetapi, sebagaimana Mao pernah mengingatkan, adalah wajib ain bagi
setiap kaum revolusioner untuk melakukkan perjuangan yang beresiko demi
kemenangan sosialisme.
Berani berjuang, berani menang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar