Komunikasi
Pejabat Negara
Harliantara ; Dosen
Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University
|
KORAN
JAKARTA, 28 Januari 2015
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam),
Tedjo Edy Purdijatno, menyatakan pendukung KPK sebagai rakyat yang tidak
jelas. Pernyataan tersebut menjadi blunder komunikasi bagi pemerintah yang
dampaknya makin memperkeruh suasana. Para menteri yang duduk di Kabinet Kerja
sebaiknya menata kembali komunikasi politiknya. Rivalitas antara Polri dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan kontraproduktif bangsa yang
luar biasa. Energi bangsa habis sia-sia menghadapinya.
Publik juga tenggelam karena kegaduhan politik yang tidak
perlu. Presiden Joko Widodo sebaiknya segera membentuk tim independen untuk mengatasi
rivalitas kontraproduktif KPK-Polri dengan cara memperbaiki sinergi dan
sistem komunikasi antardua lembaga tersebut. Para penyidik KPK, yang
merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi negeri ini, mulai terganggu
dengan manuver politik.
Apalagi sebagian besar penyidik KPK adalah personel
kepolisian sehingga sangat membutuhkan harmonisasi komunikasi dua institusi
penegak hukum itu. Sejak Kabinet Kerja dibentuk telah mengalami beberapa kali
kendala berkomunikasi politik. Utamanya bila harus mengelaborasi masalah
pelik. Beberapa menteri menjadi bulan-bulanan media massa dan para pengamat
politik.
Hal ini diperparah sikap menteri yang acap kali berpikir
sektoral. Hingga kini gaya berkomunikasi Kabinet Kerja masih terkesan kaku,
monoton, dan hanya berputar-putar dalam wacana itu-itu. Efeknya menimbulkan
blunder dan kurang menstimulasi derajat kecerdasan eksponen bangsa. Olah
komunikasi politik baik dengan rakyat, antarlembaga negara, media masa,
maupun lainnya yang menempel pada Kabinet Kerja seharusnya segera
di-up-grade.
Ironisnya inner circle Presiden Jokowi justru napak tilas
cara-cara Orde Baru yang memosisikan Mensesneg dan Mensekab sebagai Jubir
Presiden sehingga semuanya di-set-up kembali dalam gaya klemak-klemek, kaku,
serta ketiadaan wacana-wacana segar. Solusi teknis utamanya dalam konteks
mengatasi olah komunikasi politik bagi lembaga kepresidenan sebenarnya dapat
ditutup dengan mengadakan jubir Presiden.
Tetapi eksistensi dan sepak terjang para jubir Presiden
harus dirancang agar tidak bermasalah seperti era Gus Dur. Presiden Jokowi
sebetulnya sangat memerlukan seorang jubir. Keberadaannya dapat membuka
kebuntuhan komunikasi massa dari lembaga kepresidenan dalam menjalankan roda
pemerintahan. Dia juga diperlukan untuk memperlancar pengomunikasian
kebijakan pemerintah dalam skala besar dan frekuensi tinggi.
Selain itu, eksistensi jubir Presiden diharapkan dapat
menerobos belantara komunikasi yang konkretnya berupa komplikasi sistem
manajemen pemerintahan dan kebekuan komunikasi politik sebagai warisan
pemerintahan lama. Efeknya hingga saat ini sulit tercipta sebuah sinergi
antar-institusi seperti kasus Polri-KPK. Kkerja jubir harus kompatibel dengan
spesifikasi gaya manajemen presiden. Jubir Presiden, utamanya di Amerika,
mampu mencegah serta mengeleminasi dampak dis-influencing.
Jubir harus berusaha keras menghindarkan langkah-langkah
lembaga kepresidenan dari kegagalan memberikan motivasi kebangsaan serta
mencegah memburuknya komunikasi politik dengan rakyat. Pesan-pesan politik
lembaga kepresidenan (dan wapres) sebagai pemimpin bangsa jangan sampai
menimbulkan turbulensi. Publik berharap agar eksistensi jubir Presiden tidak
sekadar tukang rias kebijakan presiden. Dia harus memahami metode dan
operasional dari para juru bicara Gedung Putih.
Meskipun kondisi sosial politiknya sangat jauh berbeda,
esensi Jubir Gedung Putih Amerika Serikat pranatanya sudah ideal.
Kelembagaan, yudisial, dan hubungan timbal balik dengan media setempat sudah
mapan. Apalagi didukung lembaga clearing house. Intrik Sementara itu, kondisi
di Indonesia sering kali muncul turbulensi karena intrik politik para elite
politisi, terutama merekayang berada di daerah abu-abu. Kelompok ini tidak
memosisikan diri sebagai oposan sejati, tetapi sering mengkritik pemerintah
habis-habisan.
Jubir Kepresidenan dilarang menaburkan public deceptions (kebohongan massa).
Dia harus cerdas memosisikan diri dalam melayani komunikasi rakyat. Apa pun
kondisinya, dia tidak boleh memutarbalikkan fakta. Juga tidak boleh ada
gangguan relasional media masa dengan otoritas protokol istana yang biasanya
cenderung membatasi ruang gerak pers. Jubir di sini boleh mengambil paradigma
jubir Gedung Putih. Mereka memberi ruang bagi pers seluas-luasnya. Dengan
begitu media bisa melakukan indepth reporting agar menghasilkan tulisan lebih
lengkap, mendalam, dan analitis.
UU Kebebasan Informasi yang telah diaktifkan kembali oleh
Kongres pada tahun 1966 juga mendukungnya. UU tersebut memberi hak kepada
rakyat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah federal. UU dilaksanakan The Freedom of Information Clearinghouse.
Lembaga nirlaba tersebut menyediakan bantuan teknik dan hukum bagi individu,
kelompok kepentingan, dan media massa yang ingin mendapat akses informasi
dari pemerintah.
The Clearing House juga menyediakan bantuan advokasi di
pengadilan untuk kasus tertentu untuk melawan dan memberantas public
deceptions pejabat negara. Bagi insan pers sendiri, lembaga clearing house
tersebut sangat mendukung profesi. Sebab praktisi ini dapat meminta dan
menerima setiap dokumen, file, atau catatan lain yang dimiliki pemerintah
federal. Mekanisme seperti inilah yang memungkinkan kasus-kasus besar, secara
tidak langsung, terbongkar.
Salah satu kasus yang mencuat karena sinergi clearing
house dengan pers adalah skandal Irangate era George Bush. Kandungan
informasi jubir presiden sebaiknya tidak didominasi dengan format personality
feature dan historical feature, yakni sebatas memperkenalkan wawasan serta
pendapat presiden dalam framing “kecap cap jempol”. Informasi harus juga
diimbangi dengan framing yang pahit-pahit juga. Selain itu, seorang jubir
harus sering memberi patern explanatory atau backgrounder feature, yakni
menjelaskan latar belakang suatu kebijakan atau peristiwa yang baru terjadi
dan sudah diberitakan kulit-kulitnya.
Maka, dia
harus mampu menerjemahkan dan mengelaborasi gagasan-gagasan presiden. Dia
tidak perlu larut terlalu jauh untuk meladeni suara-suara lawan politik yang
bernuansa polusi penuh intrik. Pakar komunikasi berkaliber dunia
berkompetensi hebat pun tak mampu mengelaborasi ucapan-ucapan elite politisi
negeri ini. Tugas jubir saat ini memang pelik, apalagi bila jika harus
meladeni suara-suara oposisi dengan jalan memelintir dan men-fait accompli
pernyataan Presiden. Saatnya Presiden Joko Widodo menunjuk seorang jubir guna
menjadi kepanjangan pikiran dalam mencerahkan persepsi politik rakyat dan
mengatasi kebekuan komunikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar