Sabtu, 31 Januari 2015

Polisi dan Hak atas Keadilan

Polisi dan Hak atas Keadilan

Mimin Dwi Hartono  ;  Anggota Staf Komnas HAM
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

KONDISI penegakan hak asasi manusia sepanjang 2014 masih belum beranjak ke tahap yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari sekitar 7.000 berkas pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepanjang 2014. Pengaduan terbanyak terkait dengan indikasi pelanggaran hak atas keadilan (right to justice).

Dari ribuan pengaduan hak atas keadilan, 2.200 di antaranya terkait dengan kepolisian. Selama beberapa tahun terakhir, kepolisian berada di posisi pertama yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM. 

Tentu bukan tanpa sebab jika kepolisian tidak beranjak dari posisinya sebagai pihak yang paling banyak diadukan. Kepolisian memegang kewenangan dan otoritas yang sangat besar baik dalam ranah penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, maupun ketertiban masyarakat. Kewenangan yang besar tersebut diduga sebagai faktor pemicu banyaknya pengaduan dugaan pelanggaran hak atas keadilan yang ditujukan terhadap kepolisian.

Legalistik-normatif

Pengaduan hak atas keadilan tersebut di antaranya terkait dengan due process of law, yaitu penangkapan dan penahanan secara semena-mena, tersangka yang tidak disediakan pendamping hukum,  penyelidikan/penyidikan yang diskriminatif, dan tindakan semena-mena dalam proses pemeriksaan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.

Terpenuhinya hak atas keadilan adalah fondasi bagi terwujudnya masyarakat yang berbasis pada tatanan yang berdasarkan pada hukum (rule of law). Dalam bangunan rule of law, kepolisian adalah aktor penting dalam criminal justice system. Kepolisian berada di garda terdepan dalam criminal justice system, selain kejaksaan, advokat, pengadilan, Mahkamah Agung, dan lembaga pemasyarakatan.

Sebagai lembaga yang berada di hulu penanganan kasus, kepolisian dituntut profesional sehingga selektif dalam menyelidiki/menyidik kasus berdasarkan pada fakta yuridis, sosiologis, dan keadilan. Jadi bukan berdasarkan atas interpretasi hukum secara sepihak sehingga bisa melanggar hak atas keadilan.

Namun, kepolisian hanyalah salah satu lembaga dalam sistem dan alur penegakan hukum pidana. Kepolisian adalah lembaga pelaksana atau eksekutor undang-undang yang disusun legislatif. Dengan demikian, secara langsung kinerja kepolisian terkait erat dengan kualitas UU dan bagaimana kepolisian menginterpretasikannya.

Dalam banyak peristiwa, interpretasi UU secara legalistik dan normatif jadi permasalahan awal dalam penegakan hukum. Polisi sering hanya memahami pasal secara tekstual dan normatif, serta hanya melihat pada saat peristiwa dugaan tindak pidana terjadi. Polisi kurang melihat pada hulu atau akar masalah atau konteks. Misalnya, dalam kasus masyarakat adat yang memanfaatkan hutan adatnya yang telah bertahan-tahun dikuasai oleh perusahaan, dianggap sebagai bentuk pendudukan kawasan hutan negara sehingga melanggar UU tentang Kehutanan.

Padahal, jika ditelisik secara saksama dan cermat, persoalannya adalah minimnya keberpihakan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat atas hutannya. Ketika masyarakat adat mengklaim kembali hutannya, meskipun hanya untuk mengambil tanaman obat, mereka dianggap sebagai pelaku kriminalitas atau penjahat. Kriminalisasi ini berlanjut sampai pada proses hukum selanjutnya di kejaksaan dan hakim di pengadilan, yang juga sering berperspektif legalistik dan normatif dengan mengabaikan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.          

Harus berbasis keadilan

Jika tidak ada langkah mendasar untuk merombak perspektif dan paradigma penegakan hukum sehingga berbasis pada keadilan bagi masyarakat, kondisi HAM tidak akan membaik. Polisi  berdalih bahwa mereka hanya melaksanakan undang-undang dan harus menindaklanjuti laporan masyarakat. Demikian pula halnya dengan kejaksaan yang bertugas meneliti kelengkapan berkas secara yuridis formal dan hakim memutuskan berdasarkan pada fakta-fakta yuridis dan sesuai bunyi undang-undang.

Karena itu, kita sangat mendukung pemberian grasi oleh Presiden Joko Widodo terhadap aktivis agraria, Eva Bande, pada 22 Desember 2014. Eva Bande divonis bersalah oleh pengadilan dan mendekam di penjara selama beberapa bulan karena membela hak-hak rakyat melawan perusahaan sawit di Sulawesi Tengah. Grasi tersebut adalah sebuah terobosan pada saat sistem penegakan hukum pidana yang belum berpihak pada keadilan bagi masyarakat.

 Banyak orang yang terpaksa berhadapan dengan hukum, ditangkap, dan ditahan berbulan- bulan, tetapi kemudian divonis bebas tidak bersalah oleh pengadilan. Orang tersebut telah dirugikan secara sosial dan ekonomi, serta di mata publik. Namun, belum ada mekanisme yang adil dan komprehensif untuk memulihkan hak-hak korban kriminalisasi berikut kompensasi sosial dan ekonomi atas kerugian yudisial yang dialaminya. Mekanisme tersebut harus digagas, dibangun, dan diimplementasikan agar lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian, akan lebih berhati-hati dalam mengeksekusi kewenangannya.

 Untuk itu, langkah untuk membenahi institusi kepolisian sebagai garda terdepan dalam criminal justice system menjadi pekerjaan utama Presiden Joko Widodo. Presiden perlu mengkaji, merumuskan, dan memutuskan mekanisme kontrol dan pengawasan yang efektif dan akuntabel bagi kepolisian agar kewenangannya yang sangat besar bisa dijalankan secara baik, benar, dan akuntabel.

Mekanisme pengawasan internal saat ini dinilai belum cukup memadai untuk melakukan kontrol dan pengawasan anggota kepolisian secara efektif. Diperlukan adanya kontrol eksternal yang bersifat eksekutorial—bukan rekomendatif—agar kewenangan kepolisian bisa lebih terukur dan akuntabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar