Darurat
Kelembagaan Negara
Halili ; Pegiat
Constitutional Democracy Forum (CDF)-Setara Institute;
Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY
|
KOMPAS,
27 Januari 2015
PENETAPAN Budi Gunawan sebagai tersangka kasus ”rekening
gendut” perwira tinggi Kepolisian Negara RI memantik konfrontasi politik
melawan Komisi Pemberantasan Korupsi. Konfrontasi itu melibatkan lingkaran
terdekat kekuasaan presiden yang berpotensi merusak wibawa dan legitimasi
lembaga kepresidenan. Yang sedang menimpa Bambang Widjojanto (BW) bukanlah
persoalan hukum, melainkan konfrontasi politik melalui instrumentasi (baca:
memperalat) hukum. Perlawanan tersebut bukan atas pribadi BW, melainkan atas
kelembagaan KPK.
”Cicak vs Buaya+Banteng”
Kriminalisasi BW tak terlepas dari peristiwa politik
sehari sebelumnya, ketika Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
Hasto Kristiyanto menggulirkan isu bahwa Ketua KPK Abraham Samad ”tidak
bersih-bersih amat” dan kerap menjadikan KPK sebagai alat mewujudkan ambisi
kekuasaan pribadinya. Bukan kebetulan belaka bila kemudian terungkap bahwa
pelapor kasus hukum BW ke Bareskrim pada 15 Januari ternyata anggota Komisi
III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sugianto Sabran.
Mudah dibaca bahwa ”perang Bharatayudha” yang sedang
berlangsung sesungguhnya adalah antara Kepolisian (dengan sokongan politik
PDI Perjuangan) dan KPK. Situasi itu merupakan episode lanjutan dari
”ganjalan” hukum yang digelar KPK yang akhirnya menghambat pencalonan Budi
Gunawan (BG) sebagai Kepala Polri.
Secara yuridis kita bisa memperdebatkan langkah-langkah
hukum, mulai dari apa yang dilakukan presiden ketika mengajukan BG sebagai
calon tunggal Kapolri, KPK menetapkan BG sebagai tersangka, DPR yang akhirnya
meloloskan BG sebagai figur dalam uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi
Kapolri, presiden menunda pelantikan BG dan mengangkat Komisaris Jenderal
Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, hingga Bareskrim Polri yang menangkap dan
menetapkan BW sebagai tersangka kasus ”kesaksian palsu” dalam persidangan MK
pada 2010.
Namun, secara politis, rangkaian peristiwa itu telah
menciptakan situasi serius: darurat kelembagaan negara.
Pertama, terjadi kekosongan kekuasaan formal dalam
institusi Polri sebagai satu-satunya lembaga keamanan sipil negara. Institusi
Kepolisian tidak punya kepala, yang ada pelaksana tugas (Plt), kepala yang
tampak dipaksakan itu. Bahkan, terjadi faksionalisasi hebat di tubuh Polri.
Sinyal terang terjadinya ”perang bintang” dalam institusi Bhayangkara tampak
dalam mutasi Kabareskrim lama Komjen Suhardi Alius hingga penangkapan BW oleh Bareskrim di
bawah Kabareskrim baru Komjen Budi Waseso yang dilakukan tanpa sepengetahuan
Wakapolri sekaligus Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti.
Kedua, terjadi pelemahan secara sistematis terhadap
institusi KPK (Kompas, 24/1) sebagai satu-satunya lembaga negara superbody yang mendapat mandat khusus
untuk memberantas korupsi, penyakit akut negara- bangsa yang selama ini
merongrong upaya perwujudan cita-cita dasar negara merdeka. Penetapan BW
sebagai tersangka yang berkonsekuensi pada penonaktifannya sebagai pemimpin
KPK—berarti tinggal tiga pemimpin aktif KPK—secara obyektif melemahkan
kinerja KPK.
Ketiga, terjadi dilema bagi kelembagaan presiden, antara
melantik BG sebagai Kapolri dan membatalkan BG sebagai calon Kapolri.
Membatalkan BG sebagai Kapolri jelas sudah dihitung oleh presiden dan
lingkaran dalam kekuasaannya: akan mendatangkan bola liar konstelasi politik.
Presiden sangat mungkin akan berhadapan dengan kemungkinan manuver politik
DPR untuk menggoyang presiden sebab DPR telah menyatakan uji kelayakan dan
kepatutan calon yang diajukan presiden sendiri.
Jika presiden tetap melantik BG sebagai Kapolri, maka akan
tersaji anomali akut yang sangat menggelikan: sebuah lembaga yang memiliki
multiotoritas dalam penegakan hukum dipimpin seorang tersangka kasus hukum.
Dilema itu diperparah dengan kompleksitas politik, di mana parpol
presiden—yakni PDI Perjuangan—sepenuhnya berada di belakang BG. Pertaruhan
situasi tersebut adalah kewibawaan dan legitimasi lembaga kepresidenan.
Selamatkan negara!
Siapa yang paling diuntungkan dalam darurat kelembagaan
negara itu? Koruptor! Juga anasir-anasir ekstranegara yang tidak menginginkan
RI kuat dan demokrasi di dalamnya terkonsolidasi, pembangunan berhasil, dan
kita menjadi negara yang determinan dalam percaturan politik dunia. Saldi
Isra meminta, ”Pak Jokowi, Selamatkan KPK” (Kompas, 24/1), saya menambahkan tuntutan ”Selamatkan negara!”
Patut pula dicatat oleh presiden, beberapa pihak—yang
terbaca terutama melalui perbincangan di media sosial—mulai mengimajinasikan
situasi politik 1998. Beliau juga pasti tidak lupa bahwa hampir 47 persen
pemilih tidak mendukungnya menjadi presiden pada pilpres enam bulan lalu.
Setiap salah langkah fatal presiden pasti akan mendatangkan gelombang
kekecewaan yang dahsyat.
Dalam konteks itu, situasi aktual ”Cicak vs Buaya plus Banteng” sejatinya merupakan pertaruhan
politik bagi Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara, bukan semata-mata
kepala pemerintahan. Untuk lolos dari ujian serius itu, Presiden Jokowi hanya
harus memenuhi tuntutan publik di tengah kompleksitas politik di sekitarnya.
Pertama, pembatalan pelantikan BG sebagai Kapolri. Langkah
ini berpotensi tidak menyenangkan parpol di DPR, terutama parpol
pendukungnya, tetapi publik pasti mendukung langkah tersebut.
Kedua, instruksi penghentian kasus BW di panggung depan
atau panggung belakang.
Langkah politik penyelamatan dari situasi darurat tersebut
berpulang kepada Presiden Jokowi. Apakah beliau akan menunaikan doktrin
universal ”loyalitas terhadap parpol
selesai, begitu loyalitas terhadap negara dimulai” ataukah setia menjadi
”petugas partai” yang heteronom dan tersandera partai-partai pendukungnya.
Yang jelas,
rakyat pasti berharap dan mendukung lembaga kepresidenan dengan kepala negara
yang otonom dan menyandang wibawa politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar