BW
Toriq Hadad ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
25 Januari 2015
Ada yang rada aneh dari kawan saya
Abdul Simo. Dia sekarang ke mana-mana dikawal tiga orang bodyguard berbadan
kekar. Kami bertemu di sebuah sekolah dasar di pinggiran Jakarta. Anak kami
sama-sama bersekolah di sana. Dia kelihatan grusah-grusuh.
"Dul, mau ke mana sih? Kok
seperti orang dikejar-kejar," tanya saya. Sambil berbisik, saya teruskan
bertanya, "Mengapa bawa-bawa pengawal segala sih?"
"Mas, apa tak tahu keadaan
sedang gawat? Saya ngeri tiba-tiba dihadang, dicomot. Bambang Widjojanto saja
mendadak ditangkap di sekolah anaknya. Pakai diborgol segala, dan langsung
jadi tersangka. Kalau pejabat negara diperlakukan seperti maling begitu,
bagaimana nasib orang biasa-biasa seperti kita?" jawabnya, sambil terus
celingak-celinguk kanan-kiri.
Saya bertanya, "Lo, memangnya
kamu salah apa, Dul?"
"Sekarang saya balik tanya:
BW itu salah apa? Menyuruh orang bersumpah palsu? Itu peristiwa 2010 yang
sudah clear, sudah diklarifikasi
sewaktu BW diuji DPR sebelum menjadi pimpinan KPK. Kalau mau dibuka lagi
kasus itu, dengar dulu dong saksi-saksi, dengar dulu orang yang bersumpah
palsu, kok langsung BW yang diduga menyuruh sumpah palsu dicokok," Dul
menyala-nyala.
Saya menyela, "Tapi apa perlu
sampai bawa pengawal segala, Dul?"
"Justru saya ingin memberi
contoh, pimpinan KPK itu perlu dikawal seperti saya. Jangan sampai dia
ditangkap lalu tak ada yang tahu. Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti saja
mengaku tak tahu BW ditangkap sewaktu dia ditelepon Johan Budi dari KPK sejam
setelah penangkapan. Baru kemudian Kepala Humas Polri membenarkan BW
ditangkap. Artinya, Wakapolri saja tak mendapat laporan ada polisi yang
bergerak menangkap BW. Lalu, perintah siapa? Apakah ada polisi yang bergerak
di luar koordinasi? Ngeri sekali, Mas. Jadi saya bawa pengawal mulai
sekarang."
Saya menghela napas. Kali ini
sulit benar membantah kata-kata Dul. "Tapi begini, Dul. Jangan
beranggapan semua polisi buruk. Saya yakin tidak kurang polisi yang
benar-benar mencintai negeri, taat hukum, bisa diandalkan melindungi
masyarakat."
Dul "meletup" lagi.
"Kalau begitu, kita sebagai rakyat perlu bukti bahwa masih ada polisi
baik, patuh kepada aturan dan hukum. Dalam kasus BW, misalnya, mau nggak
polisi mengakui bahwa penangkapan BW salah prosedur. Lalu, beranikah pimpinan
Polri menindak anak buahnya yang "nyelonong" menangkap BW? Mas baca
nggak pernyataan budayawan Butet Kartaredjasa: segoblok-gobloknya masyarakat,
pasti melihat penangkapan BW itu terkait dengan penetapan tersangka Budi
Gunawan. Jelas, Mas, ini soal balas-membalas."
Saya cuma bisa garuk-garuk kepala,
yang sebenarnya tak gatal. "Apa tak terlalu jauh tuh, Dul?"
"Jelas toh, Mas. Setelah
calon Kapolri Budi Gunawan dijadikan tersangka oleh KPK, sampai batal jadi
Kapolri, muncul banyak hal. Budi Gunawan menempuh jalur hukum, itu wajar saja
kalau ada bukti-bukti. Yang tak jelas siapa pelakunya, foto mirip Abraham
Samad dengan cewek cantik beredar luas. Lalu diikuti penangkapan BW. Lalu
entah apa lagi nanti. Kalau polisi tak mau dituduh terlibat, tangkap semua
pelakunya. Buktikan sang pelaku bukan polisi."
Abdul Simo bergegas pergi. Sebagai
dedengkot relawan pendukung Jokowi, dia punya jalur khusus untuk bertemu. "Saya
akan mengingatkan dua janji kampanye Jokowi. Pertama: perkuat KPK. Kedua,
poin ke-38 dari 42 prioritas utama Jokowi-Kalla: akan memilih Jaksa Agung dan
Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan berkomitmen pada penegakan
hukum."
Saking cepatnya Dul berlalu, saya
tak sempat "nitip" pesan buat Presiden: KPK perlu dibela karena
korupsi akan membuat negeri kita lapuk. Membusuk. Tegaslah, Pak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar