KPK
dan Semangat Anti Korupsi
Imam Anshari Saleh ; Komisioner
Komisi Yudisial Republik Indonesia
|
KOMPAS,
29 Januari 2015
BANYAK yang mengapresiasi, mendukung, dan memuji
langkah-langkah Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak sedikit pula yang mencela,
menghujat, bahkan ingin membubarkannya. Yang terakhir setakat ini, hujatan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluas begitu menetapkan Komisaris
Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam tindak pidana penerimaan suap
dan gratifikasi. Penetapan itu hanya sehari setelah Presiden Joko Widodo
mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Kapolri).
Biasanya yang banyak mempersoalkan dan mengkritik KPK
sebatas kalangan DPR, sekarang kalangan pemerintah terlibat. Misalnya ada
pejabat negara yang berseru, ”KPK bukan dewa”, ”KPK juga manusia”, ”KPK
semaunya”, dan seterusnya. Kini Polri secara resmi mengajukan gugatan
praperadilan terhadap penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh
KPK.
Yang memuji dan mendukung KPK punya alasan: dengan
dibentuknya KPK pada 2003, telah banyak hasil yang dicapai dalam upaya
pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Selain berhasil
menyelamatkan kekayaan negara yang relatif besar, KPK juga berani menangkap
dan memidanakan sejumlah pejabat negara yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi, menerima suap, menerima gratifikasi, sampai melakukan tindak pidana
pencucian uang.
Bupati, wali kota, gubernur, menteri, dan pejabat negara
lainnya tak luput dari jangkauan penindakan KPK. Sejumlah negara telah
menganggap KPK sebagai ikon pemberantasan tindak pidana korupsi di tingkat
internasional setelah mengamati upaya KPK yang sangat serius dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih. Yang mengkritik dan menghujat mengatakan
bahwa KPK sebagai institusi yang dibentuk setelah Reformasi berdasarkan UU
Nomor 30 Tahun 2002 itu bekerja karena ada kepentingan politik, bertindak
atas pesanan orang atau kelompok kepentingan tertentu. Mereka menilai KPK
sudah menjadi lembaga kebal hukum (superbody),
lebih mementingkan langkah-langkah membangun citra ketimbang menuntaskan
masalah.
Contohnya, mereka sebut bahwa dalam banyak kasus,
penetapan seseorang sebagai tersangka sampai pada penahanan dan pengajuan ke
penyidangan memerlukan rentang waktu yang sangat panjang. Para pengkritik itu
membeberkan sejumlah fakta. Penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka
sampai penyidangan di pengadilan memerlukan waktu sekitar satu tahun. Saat
ini sejumlah tersangka, seperti Suryadharma Ali (mantan menteri Agama), Jero
Wacik (mantan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), Siti Fadilah Supari
(mantan menteri Kesehatan), Hadi Purnomo (mantan ketua BPK), dibiarkan
berlama-lama di luar. KPK tidak melakukan penahanan dan dituding ”menggantung”
para tersangka itu.
Bahwa yang diduga memiliki ”rekening gendut” di kalangan
petinggi Kepolisian tidak hanya Komjen Budi Gunawan, tetapi mengapa yang
ditetapkan sebagai tersangka hanya Budi Gunawan seorang. KPK juga dinilai tidak santun sebab ketika
Budi Gunawan ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri, terkesan buru-buru
menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka. Ini menimbulkan spekulasi
atau setidaknya melahirkan pertanyaan, ada apa di balik penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka?
Upaya mendelegitimasi
Ada pula kecenderungan sejumlah pihak tak menghargai dan
terkesan ingin mendelegitimasi KPK sebagai institusi penegak hukum. Ketika
KPK menetapkan seseorang tersangka, mestinya institusi negara lainnya
menghargai penetapan itu sehingga tak perlu terus memproses orang yang
berstatus tersangka menempati jabatan tertentu. Ini yang dilakukan DPR ketika
memproses Komjen Budi Gunawan melalui uji kelayakan dan kepatutan sebagai
calon Kapolri, lalu menyatakan layak dan patut. DPR beralasan bahwa mereka
menjalani tugas konstitusional dan atas permintaan resmi presiden.
Jauh sebelumnya kita melihat upaya sebagian anggota DPR
periode 2009-2014 ”menata” regulasi yang menyangkut KPK agar lembaga itu tak
terus jadi superbody dengan kewenangan terlalu besar. Indikasi itu terlihat
dari semangat DPR merevisi UU tentang
Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Upaya merevisi tiga undang-undang itu, seperti disuarakan
KPK lewat oleh Wakil Ketua Adnan Pandu Praja merupakan bagian dari
”pengebirian” kewenangan KPK. Kesan serupa disuarakan pula sejumlah pegiat
anti korupsi, seperti Indonesia
Corruption Watch (ICW) dan Pukat UGM. Karena itu kemudian, ada
”perlawanan” kuat dari masyarakat yang disuarakan melalui kalangan perguruan
tinggi dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat pegiat anti korupsi: KPK tetap
dikawal karena masih sangat dibutuhkan keberadaannya.
Semangat anti korupsi
Meski dukungan terhadap keberadaan KPK masih sangat besar,
kritik akan kelemahan dan kekurangannya tetaplah perlu mendapat perhatian.
Kita mesti berbaik sangka terhadap para pengkritik KPK. Mereka yang
mengkritik dan mencela KPK belum tentu anti korupsi. Bisa jadi mereka
menginginkan KPK tetap bekerja on the right track, tidak melenceng dari
ketentuan hukum positif ataupun yang bersifat universal. Mentang-mentang
mendapat dukungan luas, terus KPK bisa bertindak semau gue? Tentu bukan
begitu.
Kritik dan celaan juga merupakan mata uji paling konkret.
Kritik dan tudingan yang tidak berdasar tentu memerlukan jawaban dan
penjelasan seterang-terangnya. Apalagi kalau kritik dan cercaan itu
disampaikan secara keliru, emosional,
dan tidak obyektif, maka KPK dan para pemangku kepentingan wajib
meluruskan pandangan keliru itu.
Misalnya, kondisi obyektif di dalam KPK dengan jumlah
personel, terutama tenaga penyidik dan analis yang sangat terbatas., perlu
diketahui. Hukum acara KPK yang ternyata tak memberikan jaminan yang bersifat
asasi bagi para tersangka tindak pidana korupsi tak perlu segan-segan dikaji
ulang dan disempurnakan.
Keraguan akan obyektivitas KPK dalam menahan seseorang
perlu pula dijelaskan. Bahwa alasan melakukan penahanan tidak hanya bisa
diukur dengan obyektivitas, tetapi penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP
juga memiliki alasan subyektif untuk menahan seseorang, yakni jika
dikhawatirkan kemungkinan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau
mempersulit penyelidikan.
Hal-hal seperti itu perlu dijelaskan kepada masyarakat,
mengapa tersangka ada yang segera ditahan dan mengapa tidak memerlukan
penahanan. Jadi, bukan karena KPK melakukan ”tebang pilih” dengan alasan
politis.
Singkat kata, salah persepsi tentang KPK perlu diluruskan.
Sebaliknya, KPK dan kita semua juga perlu terus introspeksi atau muhasabah
mengenai segala kelemahan dan kekurangan KPK. KPK sebagai institusi harus
terus dibenahi dan diberdayakan, sambil kita menyebarkan dan merawat semangat
anti korupsi.
Kita harus
menyemaikan pemahaman bahwa korupsi itu musuh bersama. Kita juga sependapat
bahwa para koruptor perlu ditindak tegas. Kita harus bersama- sama bersepakat
mencegah agar negara tidak bangkrut karena tindak pidana korupsi. Dan yang
terpenting, tentu saja, kita masih tetap memercayai integritas dan
kesungguhan para pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar