Ke(tak)jelasan
Sikap Presiden
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar
Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi
FH UGM Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 28 Januari 2015
Ketika terjadi prahara perselisihan Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir semua mata
berpaling ke arah Presiden Jokowi. Presiden di mana? Demikian pertanyaan
publik yang ramai didorong di media sosial. Pertanyaan yang tentu wajar
mengingat Presiden Jokowi adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang
sah di negeri ini. Kontrol dan tanggung jawab atas pemerintah dan negara juga
sebagian berada di pundaknya. Sesungguhnya, sikapPresiden Jokowi sudah
sedikit tergambar dalam cara pandang beberapa menterinya yang kemudian nyaris
tanpa koreksi sama sekali.
Menteri yang menjadi pembantu Presiden beberapa kali
menyatakan pernyataan yang memberikan kesan bahwa Presiden tak akan mengambil
langkah langsung, memberikan kesempatan kepada penegakan hukum, bahkan
perkataan yang menyalahkan dukungan kepada KPK adalah bentuk kekanak-kanakan
dan dilakukan oleh rakyat yang tak jelas. Dengan Presiden membiarkan berbagai
ucapan ini, dapat dibaca bahwa Presiden sesungguhnya merestui ucapan-ucapan
tersebut.
Pidato Ambigu
Tak hanya melalui para menterinya, Presiden Jokowi sendiri
akhirnya menyampaikan pidatonya. Dua kali. Pertama tentu saja pada hari
penangkapan Bambang Widjoyanto (BW). Kala itu, Presiden menyatakan bahwa tak
boleh ada pergesekan antara Polri dan KPK. Hal yang tentu saja membingungkan
karena seakan menghindari kasus konkret yang terjadi.
Seakanakan Polri dan KPK jangan bergesekan, padahal pada
faktanya sudah terjadi perbenturan. Paling diingat, pidato tersebut sama
sekali tidak menyentuh perkara yang ingin diselesaikan. Tak lama berselang,
ada pidato kedua. Kali ini diimbuhi dengan mengenalkan tujuh orang yang
katanya akan menjadi tim dalam penyelesaian kasus ini. Perkembangan terkini,
tak lagi tujuh, tetapi sembilan orang.
Bahkan masih ada lagi kemungkinan berbagai tambahan lain.
Sembari kemudian dia menjelaskan dan menegaskan jangan lagi ada kriminalisasi
terhadap KPK maupun terhadap Polri. Atas dua pidato tersebut, satu hal yang
sama adalah keduanya melahirkan ambigu. Posisi yang tidak jelas.
Pertama, pidato ambigu yang tak menjelaskan apa-apa.
Posisi Presiden hanya menegaskan bahwa jangan ada gesekan dan jangan ada
kriminalisasi. Tapi, dalam hal itu, siapa pun paham itu. Jangan ada gesekan
dan jangan ada kriminalisasi adalah hal yang semua orang paham. Itu adalah
pernyataan normatif yang senilai dengan pernyataan; “Ayo kita semua berbuat
baik!” Siapa pun tahu akan hal tersebut.
Tapi tidak
jelas, gesekan itu apa, siapa yang melaku-kan dan sebagainya. Begitu juga
pernyataan soal kriminalisasi. Siapa atas siapa, dan berbagai pertanyaan
lainnya hilang tak terjawab. Kedua, membentuk tim yang belum terlalu jelas.
Pembentukan tim independen tentu adalah hal yang sangat menarik. Akan tetapi,
tim ini sendiri masih akan bergantung pada sekian banyak faktor.
Salah satunya adalah formalisasi tim. Tanpa
adanya keputusan Presiden yang mendasari pembentukannya, maka tetap dikatakan
mustahil tim ini diharapkan bisa bekerja. Keppres adalah landasan hidup untuk
sebuah kerja tim. Landasan individual dan konkret yang akan menjadi sandaran
bagi para anggota tim untuk melakukan sesuatu yang seharusnya.
Sekali lagi,
tanpa aturan dasar tentu mustahil dapat dikatakan dapat bekerja dengan benar.
Selain dasar hukum, faktor yang paling penting adalah isi dari dasar hukum
tersebut. Jika dasar hukum ini berisi hal-hal yang menjelaskan keniscayaan
sebuah tim dibentuk, tentu menjadi hal yang menarik. Akan tetapi jika tidak,
sangat percuma membentuk tim. Artinya, pertanyaan mendasar jika tim ini
dibentuk adalah apa kewenangannya?
Sejauh mana
daya jelajahnya? Apa saja yang menjadi ranah yang akan dikerjakannya? Tanpa
daya jelajah yang kuat, kemungkinan solutif untuk menyelesaikan perkara
menjadi mengecil. Makanya, jika kemudian tim ini memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan penegakan hukum, bahkan memiliki hal luar biasa semisal
melakukan verifikasi terhadap dugaan kriminalisasi dan penangkapan dan
penahanan tidak wajar tentu akan menjadi menarik.
Selain itu,
kerja-kerja yang membuktikan adanya rekayasa kasus akan sangat berfungsi
menyelesaikan. Termasuk jika rekomendasi tim yang dikeluarkan nanti punya
daya mengikat yang tidak hanya sekedar rekomendasi tanpa ikatan. Artinya,
pada faktor ini, andai timnya dibuat kuat dan taktis, akan sangat kuat
digunakan untuk mendorong penyelesaian perkara.
Selain itu,
komposisi orang yang ada di tim, serta tata cara kerja mereka juga akan
sangat menentukan kedalaman hasil pemeriksaan yang dapat berujung pada kesimpulan
yang memadai dan solutif. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, tim ini belum
kunjung diformalisasi.
Belum ada
kepastian akan hadirnya dan berbagai pernik-pernik menentukan seperti yang
dituliskan di atas. Makanya, dalam hal ini, Presiden Jokowi masih menawarkan
rencana yang masih jauh dari hitungan solutif atau tidaknya hasil yang akan
dicapai oleh tim.
Harga Ketakjelasan
Salah satu
yang jadi faktor kuat dalam dugaan ketakjelasan sikap Presiden ini tentunya
patut diduga adalah sumbangsih dari beban politik yang terlalu kuat mendera
Presiden Jokowi. Padahal, sebagai pemilik suara dengan dukungan terbanyak
pada pemilihan umum lalu, Presiden Jokowi harusnya jauh lebih pede dalam
bertindak.
Sekadar
mengingatkan, posisi yang menjadi prahara ini juga diakibatkan ketakjelasan
Presiden dalam menentukan posisi kepala Polri. Ketidakcermatan Presiden
Jokowi dalam memilih kapolri, sedikit-banyak, telah mengakibatkan posisi
mengunci saat ini. Kelambanan sikap, telah memberikan implikasi yang tidak
kecil.
Dan inilah
harga besar yang harus dibayarkan. Keberpihakan Jokowi pada kepentingan
partai, telah memberikan label harga yang teramat tinggi, sangat mahal. Dapat
dibayangkan, andai sedari awal Presiden Jokowi bersikap tegas dengan usulan
pengajuan Budi Gunawan yang lebih mendapatkan restu politik dibanding restu
publik, maka sebagian besar kisruh yang ada sekarang ini tidak akan terjadi.
Faktor
penyebab dari berbagai posisi yang membuat saling mengunci ini menjadi
hilang. Lagi-lagi, akibatnya adalah harga mahal dan kemudian posisi yang
sudah semakin sulit. Jika dikembalikan ke berbagai pidato dan janji kampanye
yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ketika menjadi
kontestanpemiluuntukmemenangkan hati rakyat Indonesia, rasanya, Jokowi telah
terlampau laju meninggalkan janji tersebut.
Belum kering
sesungguhnya ludah yang diucapkan Jokowi ketika dengan lantang mengatakan
bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia hanya akan
bekerja untuk dan atas nama rakyat. Hanya akan tunduk pada kehendak konstitusi
dan kehendak rakyat Indonesia. Tidak ada yang selain itu.
Dalam konteks
inilah lecutan peringatan dan terapi kejut mesti diberikankepada
PresidenJokowi untuk segera siuman dalam kerja yang sudah menjauh dari suara
konstitusi dan kehendak rakyat secara hukum dan moral. Ia harus mengembalikan
esensi awal dalam tunduk pada kata rakyat dan bukan kata partai politik. Dan
ketika mampu berdiri tegak di hadapan partai politik dan mengatakan lantang
akan keinginan untuk mengikuti kehendak rakyat, saya yakin, kejelasan
tindakan akan kembali hadir.
Kejelasan
yang akan menyelesaikan perkara. Bentuk tim independen yang akan
menyelesaikan perkaraperkara kriminalisasi ini. Lalu jalankan rekomendasinya
agar penyelesaiannya menjadimudah. Dan dalam hal itu juga segera tegakkan
moralitas konstitusi dengan mencari kapolri yang bukan tersangka kasus
korupsi.
Serangkaian
kerja yang sebenarnya bukan hanya berguna untuk rakyat Indonesia dan masa
depan Indonesia, tetapi juga untuk diri dan masa depan Presiden Jokowi sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar