Mewujudkan
Swasembada Pangan
dan
Kesejahteraan Petani
Aunur Rofiq ; Sekjen
DPP PPP; Praktisi Bisnis sektor Pertambangan dan Perkebunan
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2015
PRESIDEN Joko Widodo sudah
ditunggu beberapa pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan secepatnya.
Salah satunya, sektor pertanian yang diharapkan Indonesia bisa melaksanakan
swasembada pangan dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun. Kendati secara
faktual Indonesia ialah negara agraris, tetapi sektor ini belum mampu menyejahterakan
petani dan hasil-hasil pertanian pangan belum sepenuhnya mampu memenuhi
kebutuhan domestik, baik untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan pangan.
Ironis.
Pemerintah menargetkan swasembada
pangan pada 2017. Ada ruang fiskal yang cukup untuk mendukung target itu.
Penurunan harga minyak dunia telah memangkas beban subsidi BBM yang
anggarannya bisa dialihkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur
pendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk infrastruktur sektor pertanian.
Untuk mencapai target swasembada
pangan, pemerintah akan memberikan dukungan berupa subsidi benih dan pupuk
tepat waktu, alat dan mesin pertanian, perbaikan irigasi, serta pembangunan
waduk.Tahap pertama akan membangun sekitar 24 waduk baru di beberapa daerah
guna mencapai target swasembada pangan pada 2017.Sebanyak lima waduk pertama
akan dibangun mulai Januari dan Februari 2015, yakni Bendungan Kerto di Aceh,
Kariyan di Banten, Logung di Kudus, Ratnamo di Nusa Tenggara Timur, serta
Lolak di Sulawesi Utara. Diperkirakan, pembangunan bendungan tersebut butuh
waktu dua-tiga tahun dengan investasi Rp5,6 triliun. Di samping itu, ada 52%
irigasi yang rusak, bahkan beberapa di antaranya sudah 30 tahun tidak
diperbaiki.
Untuk membenahi sektor pertanian,
memerlukan anggaran yang besar karena untuk mewujudkan swasembada pangan,
Indonesia harus mengejar tambahan produksi padi menjadi 80 juta ton per
tahun, jagung 30 juta ton per tahun, kedelai 2,7 juta ton, gula 3,5 juta ton,
daging 0,75 juta ton, dan 1,7 juta ton garam. Selama ini, untuk menutup
kekurangan produksi, pemerintah mengimpor komoditas pangan. Selain menguras
devisa, impor pangan juga bisa merusak tatanan dan kelembagaan sektor
pertanian.
Sekarang ini, volume impor
komoditas pangan dan hortikultura terus meningkat. Badan Pusat Statistik
mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346% atau empat kali lipat
selama periode 2003-2013 atau sebesar US$3,34 miliar menjadi US$14,90 miliar.
Cegah konversi
Laju pertumbuhan impor ini jauh
melampaui laju pertumbuhan jumlah penduduk selama satu dekade.Pada 2003,
jumlah penduduk Indonesia masih sekitar 214 juta dan 2013 lebih dari 252 juta
orang atau tumbuh 18%. Target pemerintah mendongkrak produksi pertanian
pangan juga harus dilakukan dengan memberikan keberpihakan dalam hal
penyediaan akses dan kebijakan di sektor pertanian yang propetani.
Penyediaan akses dan kebijakan di
sektor pertanian harus dimulai dengan mencegah terjadinya konversi lahan
pertanian yang lebih besar. Saat ini, banyak lahan pertanian di berbagai
tempat yang beralih fungsi menjadi lahan permukiman, pabrik, dan peruntukan
lain nonpertanian. Campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk
menghentikan konversi lahan produktif pertanian pangan untuk usaha lain,
seperti industri, perumahan, dan pertambangan.
BPS mencatat lahan usaha tani
menyusut sebanyak 5 juta ha menjadi 26 juta ha antara 2003-2013.Pada 2012,
Kementerian Pertanian sudah mengingatkan bahwa 2015, Indonesia diperkirakan
bakal mengalami defisit lahan pertanaman pangan (padi) hingga 730 ribu ha. Defisit
lahan itu didasarkan atas perhitungan jumlah penduduk Indonesia pada 2015
sebanyak 255 juta jiwa, konsumsi beras nasional 38,49 juta ton dengan
konsumsi per kapita 135 kg per tahun. Sementara untuk menghasilkan 38,49 juta
ton beras diperlukan luas lahan pertanaman 13,38 juta ha. Adapun lahan
pertanaman yang tersedia hanya 13,20 juta ha, masih dikurangi alih fungsi
lahan 550 ribu ha.
Defisit lahan pangan ini tentu
menjadi masalah serius dalam jangka panjang. Data Kementerian Pertanian
menyebutkan 2020 deï¬sit lahan pangan akan mencapai 2,21 juta ha, 2025
mencapai 3,75 ha, dan 2030 mencapai 5,38 juta ha. Jika pemerintah tidak mampu
membuka lahan baru untuk pertanian pangan, kemampuan produksi pangan akan
terus menurun. Sementara Indonesia tidak memiliki teknologi dan cara baru
dalam bertani yang mampu meningkatkan produksi.
Seiring dengan tekad pemerintah
mewujudkan swasembada pangan, yang tidak kalah penting ialah bagaimana
mewujudkan kesejahteraan petani. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk
Indonesia yang bekerja di sektor pertanian pada periode 2013 masih mencapai
38,07 juta orang atau menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 34,6% dari
total seluruh tenaga kerja Indonesia. Menurut data BPS 2013, hampir separuh
dari total 28,7 juta penduduk miskin Indonesia atau 13 juta orang ialah
petani.
Meski sektor pertanian masih
menyerap banyak tenaga kerja, secara perlahan penduduk usia muda yang mau
bergelut di sektor ini terus menurun. Berdasarkan data BPS, terdapat 40,61
juta jiwa berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian pada
2004. Sementara pada 2013, angkanya menyusut menjadi 39,96 juta jiwa.
Artinya, sektor pertanian harus
bertumbuh lebih baik jika ingin menarik minat generasi muda untuk terjun
menjadi petani. Jika pertumbuhan sektor pertanian terus membaik, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB akan meningkat. Sayangnya, kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB justru terus merosot. Pada periode 2003, kontribusi
pertanian atas PDB masih sebesar 15,19%, tetapi pada 2013 tercatat sebesar
14,43%. Jika ditarik sejak 2003 akan terlihat stagnasi yang cenderung menurun
di sektor pertanian.
Laporan BPS juga menegaskan apa
yang terjadi sepanjang hampir satu dekade terakhir. Pada 2013, sektor-sektor
tradable, seperti pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan; kemudian
pertambangan; dan industri pengolahan, hanya tumbuh masing-masing 3,54%,
1,34%, dan 5,56%. Pencapaian itu lebih rendah dari kinerja sektor jasa (nontradable) yang serapan tenaga
kerjanya lebih rendah, yakni listrik, air, gas (5,58%); konstruksi (6,57%);
perdagangan, hotel, restoran (5,93%); pengangkut an, komunikasi (10,19%);
keuangan, real estat, jasa perusahaan (7,56%); dan jasa-jasa (5,46%).
Kondisi ini memberikan gambaran
yang jelas bahwa mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan dengan
mewujudkan kesejahteraan petani ialah dua hal yang harus bersama sama. Kita
tidak bisa mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan, tetapi pada sisi lain
mengabaikan kesejahteraan petani. Dengan meningkatkan kesejahteraan petani,
bukan saja mengurangi penduduk miskin, melainkan juga mendorong minat
masyarakat untuk terjun menjadi petani.
Sebagai gambaran, nilai tukar
petani (NTP) pangan Indonesia per Agustus 2014 ke posisi 97,78 -- posisi
terendah dalam empat tahun terakhir. Dengan kondisi ini, ketahanan pangan
yang ingin diwujudkan harus mampu memperbaiki pula kondisi kehidupan petani.
Untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, pemerintah bisa mengalokasikan pengalihan dana subsidi BBM untuk
memberikan subsidi kepada petani dalam bentuk subsidi pascapanen. Subsidi
pascapanen diberikan melalui kenaikan pembelian harga gabah petani yang sudah
ditetapkan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar