Demagog
Moch Nurhasim ; Peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 29 Januari 2015
Di tengah kesibukan para aktivis, tokoh-tokoh masyarakat,
rakyat, dan para pendukung Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyelamatkan
lembaga antirasuah itu, seorang mantan jenderal berbintang empat,
Hendropriyono, menyebut mereka sebagai demagog.
Tuduhan yang lain juga dilontarkan oleh Menkopolhukam
Tedjo Edhi Purdijatno bahwa para pendukung #SaveKPK adalah rakyat tidak
jelas. Secara politik, demagog dapat diartikan sebagai penggerak atau
pemimpin yang memiliki kepandaian menghasut dan membangkitkan semangat rakyat
untuk memperoleh dukungan, simpati, bahkan kekuasaan.
Memaknai dukungan masyarakat sipil untuk menyelamatkan
penghancuran KPK oleh kolaborasi “para penguasa” yang zalim dengan
tangan-tangan terampil dari kepolisian sebagai demagog adalah sebuah
penghinaan. Itu dapat pula dianggap sebagai teror dari orang-orang yang dekat
dengan para penguasa.
Sebutan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan secara
epistemologi mencerminkan watak dan laku seseorang serta pendekatan yang
“biasanya” diterapkan dalam menyelesaikan suatu masalah. Cermin itu juga
dapat ditafsir sebagai pola berpikir seseorang dalam menghadapi suatu
masalah. Lebih jauh dari itu, pemakaian istilah demagog juga berlawanan
dengan prinsip demokrasi.
Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia
meniscayakan ada partisipasi rakyat dan peran rakyat untuk mengawal
kebijakan-kebijakan pemerintahan. Partisipasi dan peran rakyat dalam proses
pengambilan keputusan serta “kekuatan opini dan partisipasi” untuk mengubah
kebijakan pemerintah yang salah bukan sebuah penyimpangan, melainkan sebagai
sebuah keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kerangka seperti itu, demokrasi memberi nilai dan
keadaban bahwa pemerintah yang dikoreksi kebijakannya karena “kurang tepat,”
keliru, atau bertentangan dengan kepentingan publik bukan sebuah kehinaan.
Sebaliknya, rakyat yang berhasil memengaruhi perubahan kebijakan bukan sebuah
kejemawaan. Keduaduanya dapat menemukan nilai saling menjaga dan saling
menghindarkan bangsa dan negara dari bencana dan bahaya. Itulah nilai dan
prinsip yang seharusnya dapat dimengerti oleh Presiden Jokowi dan para
pembantunya atau orang-orang yang dekat dengannya.
Menuduh tokoh-tokoh yang hadir di Gedung KPK dalam rangka
menyelamatkan institusi KPK dari pelemahan, penghancuran, dan pengerdilan
oleh “orang-orang yang berkuasa” sebagai rakyat tidak jelas adalah kepongahan
kekuasaan. Lebih dari itu, pola tingkah Menkopolhukam seperti itu dapat
ditafsir mewakili penguasa yang berwatak “bengis” seperti para penguasa era
Orde Baru.
Kita masih ingat, era Orde Baru, para penguasanya dengan
mudah menuduh rakyat kritis, yang tidak sependapat dengan penguasa, sebagai
PKI, pemberontak, ekstrem kiri dan kanan, serta tuduhan-tuduhan lain yang
lebih mengerikan. Bukankah cara berkuasa seperti itu sudah dikoreksi, sudah
ditentang, agar tidak dihidupkan kembali, apalagi digunakan sebagai sebuah
metode untuk memerintah.
Pelajaran
sejarah, perubahan politik dari era otoritarian ke demokratisasi (Era
Reformasi) baru saja berumur hampir 17 tahun, tetapi sudah dilupakan. Era
Reformasi antara lain menghendaki perubahan cara berpikir sebuah perubahan
mindset Orde Baru ke cara berpikir yang demokratis. Ingat, ini Era Reformasi,
sebuah era yang dilahirkan sebagai koreksi atas kehidupan berbangsa dan
bernegara pada masa lalu yang zalim akibat penguasa dapat berperilaku
sewenang-wenang, tidak dapat dikoreksi, dan berwatak otoritarian. Apa
bedanya?
Era demokrasi adalah era yang memberikan
partisipasi kepada setiap orang untuk menyuarakan kebebasan dan pendapatnya.
Negara memberikan jaminan atas semua itu. Negara bukan hadir dalam wataknya
sebagai leviathan, mirip dengan binatang yang buas dan “bengis” yang menakuti
rakyatnya. Negara justru hadir untuk menegakkan keadilan, melindungi rakyat
yang terzalimi, membela kebenaran dan keadilan.
Negara hadir
untuk memberikan kepastian bahwa prinsip-prinsip itu terwujud dalam hubungan
antarinstitusi penegak hukum, hadir pada para pejabat yang diangkat, dan
negara hadir dengan wujudnya yang humanis, dialogis, dan melindungi. Dalam
bingkai seperti itu, negara justru tidak hadir pada saat Bambang Widjojanto
ditangkap oleh Kabareskim Polri.
Justru rakyat
biasa, rakyat sipil yang tergabung dalam komunitas masyarakat, yang bertekad
menyelamatkan KPK dari kelumpuhan agar pemberantasan korupsi tidak terganggu,
disebut demagog .
Para netizen
itu hanya menggugah kesadaran civil
society karena “tidak hadirnya” peran negara saat KPK sebagai institusi
sekaligus simbol pemberantasan korupsi akan dirobohkan oleh kekuatan-kekuatan
yang berlindung di balik tameng hukum dan penegakan hukum.
Harapan
mereka yang berkumpul di Gedung KPK sangat gamblang, menanti sikap Presiden
Jokowi apakah hadir sebagai seorang kepala negara untuk menegakkan
prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum (rechtsstaat)
dan bukan membiarkan negara berjalan di atas prinsip machtsstaat atas dasar kekuasaan belaka.
Mereka
menunggu posisi Presiden Jokowi apakah akan berpihak kepada KPK ataukah
Polri, atau bersikap “ngambang.” Semua itu terjawab saat Presiden Jokowi
memberikan pernyataan singkat yang justru memicu kekecewaan baru karena sikap
dan posisi Presiden dianggap normatif, tidak menggambarkan sosok Jokowi yang
dulu dianggap tegas, cepat, serta berani. Semua label itu tidak ditemukan
pada diri Presiden pada kasus KPK versus Polri Jilid II.
Niat yang
mulia itu disalahartikan sebagai orang yang menghasut rakyat, dan rakyat
tidak jelas, sungguh pola nalar demikian perlu dibuang jauh-jauh karena nalar
seperti itu bukan yang dikehendaki oleh reformasi. Kita semua perlu khawatir
jika Presiden Jokowi justru dikelilingi oleh para pembantu yang memiliki
nalar yang menyimpang dari citacita reformasi dan cita-cita nawacita.
Kalau kita
menengok ke belakang saat pemilihan presiden yang berlangsung pada 2014,
justru orang tidak jelas dan para demagog itulah pendukung utama Jokowi.
Mereka terlibat sebagai relawan dengan caranya masing-masing. Mereka
menghidupkan harapan melalui jaringan sosial dan media netzitizen, dalam
menggelorakan perubahan politik untuk memenangkan seorang calon presiden.
Sungguh
naif kalau mereka sekarang disebut
demagog dan orang tidak jelas tatkala tujuan untuk berkuasa itu telah
tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar