Pembangunan
Manusia dan Hak atas Pangan
Rainy MP Hutabarat ; Wakil
Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik
|
KOMPAS,
27 Januari 2015
PEMBANGUNAN manusia sebagai tujuan
utama Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 memprioritaskan program
kepada masyarakat bawah. Biasanya sumber daya manusia ini suka terlupakan,
dikalahkan pembangunan infrastruktur dan beragam langkah operasional lain
yang menjadi alat, bukan tujuan.
Salah satu sektor unggulan untuk
pembangunan manusia adalah kedaulatan pangan. Saatnya petani pangan
ditempatkan sebagai soko guru perubahan; aktor-aktor kedaulatan pangan.
Namun, untuk memutuskan mata rantai persoalan, kedaulatan pangan baru bisa
dicapai jika para petani hidup dalam kemiskinan dan kurang pendidikan.
Analisis Nawa Cita mencatat,
pangan yang tak berdaulat berkait-paut dengan kemiskinan petani dan buruh
tani. Di negeri ini, petani pangan dan buruh tani hidup di bawah kemiskinan
dengan lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah mereka meningkat dari
44,51 persen menjadi 56,41 persen. Tercatat 29 juta jiwa penduduk berada di
bawah garis kemiskinan dan 18 juta jiwa di antaranya berada di pedesaan. Data
ini mengisyaratkan, petani adalah bagian terbesar dari penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Padahal, di seluruh dunia tak ada negara yang
berkedaulatan pangan jika para petaninya hidup dalam kemiskinan,
berpendidikan rendah, dan tidak ditopang penuh pemerintahnya.
Sungguh ironis, mereka yang setiap
hari bekerja membanting tulang sebagai petani pangan tak mampu memenuhi
kebutuhan pangan sehari-hari!
Pangan berbasis hak
Tak perlu berdebat soal ukuran
kemiskinan di sini. Miskin adalah kondisi dehumanisasi. Orang yang tak mampu
memenuhi salah satu hak dasarnya, yakni pangan, berarti tak mampu
melangsungkan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar
lainnya adalah pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Mereka yang sehari-hari hanya
mampu makan nasi aking yang berakibat kurang gizi, tak sanggup menyekolahkan
anak-anaknya, serta tinggal di gubuk sewaan tanpa listrik dan air bersih,
adalah yang masuk kategori miskin ini. Penghasilan dan pendidikan yang rendah
membuat mereka tak mampu membangun kehidupan yang bermartabat.
Bank Dunia mendefinisikan
kemiskinan berdasarkan pendapatan yang rendah, kekurangan gizi atau kondisi
yang buruk, serta tingkat pendidikan rendah. Beberapa Tujuan Pembangunan
Milenium (MDG) tak lepas dari hak-hak dasar ini. Deklarasi Universal HAM PBB
menyatakan, setiap orang berhak atas pendidikan, kesehatan, serta hidup dan
kehidupan yang layak, termasuk makanan (artikel 3, 5, 26). Kovenan
Internasional PBB menggolongkannya dalam hak-hak ekosob— ekonomi, sosial dan
budaya—dan Indonesia sudah meratifikasi hak-hak ini (28 Oktober 2005),
kemudian memasukkannya ke dalam Konstitusi RI (Amandemen IV UUD 1945).
Pembangunan dengan paradigma
manusia mengasumsikan terpenuhinya hak-hak dasar rakyat, seperti hak atas
pangan, pendidikan, dan kesehatan. Tak ada pembangunan manusia tanpa
pemenuhan hak-hak dasar. Pangan pun syarat hidup sehat, pertumbuhan
psikologis, dan kemampuan belajar.
Menurut Organisasi Pangan dan
Pertanian (FAO), di seluruh dunia terdapat 805 juta jiwa orang kelaparan pada
2012-2014, sebanyak 791 jiwa mengalami kelaparan kronis dengan 1 dari 9 orang
di dunia kelaparan dan kurang gizi. Dalam catatan Nawa Cita, 29 juta orang di
Indonesia hidup dalam kemiskinan, artinya juga, tak mampu memenuhi kebutuhan
pangan yang layak dan bergizi.
Namun, yang terjadi adalah
kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi disubstitusi dengan pangan pabrikan
dan instan. Publik setiap hari dibanjiri produk makanan pabrikan yang tidak
memenuhi kebutuhan gizi mereka. Pergeseran pola konsumsi ini kemudian
menyingkirkan makanan-makanan lokal yang alamiah, mudah diakses rakyat
setempat, dan bersumber pada kearifan lokal. Maka, penduduk pun menjadi
tergantung pada bahan-bahan pangan dari luar dan mahal pula.
Kedaulatan pangan
Untuk mencapai kedaulatan pangan,
perlu kedaulatan benih. Petani perlu belajar kembali menyisihkan produknya
untuk benih agar tidak bergantung pada perusahaan besar. Apalagi,
kenyataannya benih-benih tersebut untuk berproduksi tinggi membutuhkan
pestisida dan pupuk tertentu yang menambah mata rantai ketergantungan.
Petani harus dibebaskan
memproduksi bibit-bibit unggul tanaman pangan dan tidak didikte oleh
kekuasaan produsen benih domestik dan multinasional. Karena itu, mengapa
kedaulatan pangan mensyaratkan demokrasi bagi komunitas-komunitas lokal
pertanian, khususnya masyarakat adat. Sudah saatnya mereka mulai memproduksi
benih lokal seturut kearifan setempat yang telah diwarisi dan teruji beratus
tahun.
Demokrasi benih, di samping
infrastruktur terkait, seperti bank petani, jaringan irigasi, dan
transportasi, pada gilirannya memampukan petani untuk menyejahterakan diri
sekaligus memelihara keragaman hayati dan pangan lokal.
Kebijakan berasisasi Orde Baru
merupakan pengalaman buruk penyeragaman pangan yang telah menyingkirkan
keragaman pangan masyarakat lokal, seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian,
sebagai pangan bergizi. Karena itu, kedaulatan pangan dan kedaulatan benih
sebagai langkah-langkah pemenuhan hak rakyat atas pangan yang layak yang
bergizi sejatinya juga penghargaan pada sumber-sumber pangan lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar