Kuasa
Lingga Merajah Negara
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
27 Januari 2015
SALAH satu daya pikat Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam
kampanye pemilihan umum presiden adalah tekadnya, jika terpilih hanya akan
tunduk pada kehendak rakyat dan konstitusi. Itikad tersebut semakin menggema
karena didukung pimpinan partai politik pendukung serta tokoh lain yang dekat
dengan Jokowi. Pernyataan mereka tegas: tidak akan menagih dukungan dengan
meminta jatah portofolio kementerian dalam kabinet. Mereka memercayakan semua
itu kepada pasangan Jokowi-Kalla asal kebijakannya berguna untuk rakyat.
Harapan masyarakat sangat besar ke pundak Jokowi-Kalla.
Tidak kurang majalah Time, edisi 27 Oktober 2014, laporan utamanya bertajuk
”A New Hope; Indonesian President Joko Widodo is a Force for Democracy”.
Namun, kumandang janji tersebut semakin sayup seiring dengan penyusunan
Kabinet Indonesia Hebat dan dilanjutkan dengan pengangkatan pejabat publik
pada level yang lebih rendah. Dalam melakukan perekrutan, Jokowi tidak dapat
melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan para patron politiknya. Padahal,
Jokowi pemegang mandat kekuasaan tertinggi dalam mengelola roda pemerintahan.
Para patron politik tidak peduli terhadap kredibilitas Jokowi yang dipilih
rakyat dan memikul harapan rakyat. Rakyat mulai kecewa pada performa
Jokowi-Kalla.
Kredibilitas Jokowi-Kalla semakin dipertaruhkan ketika
Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang dijadikan tersangka olek KPK dicalonkan
sebagai Kapolri. Bahkan, dalam kasus ini, relasi antara Jokowi dan Kalla
tampak tidak terlalu hangat. Pencalonan tersebut dirasakan sangat dipaksakan,
di luar kemauan Jokowi.
Hubungan patronase antara Jokowi dan pimpinan partai
politik semakin menguat. Bola liar isu ini terus menggelinding dengan
ditangkapnya Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, yang ditetapkan menjadi
tersangka. Isu ini akan semakin memanas karena penangkapan Bambang itu
dianggap bagian dari pelemahan KPK yang selama ini berhasil membuat para
koruptor merinding. Penguatan pelemahan KPK berkorelasi positif dengan
semakin banyaknya para penguasa, baik mereka yang berasal dari lembaga
legislatif maupun eksekutif, menjadi pesakitan KPK. Membiarkan KPK menjadi
bulan-bulanan para penikmat kekuasaan merupakan sandyakala, meredupnya
semangat perlawanan terhadap kejahatan luar biasa (korupsi). Oleh karena
dapat dipastikan, rakyat akan melakukan perlawanan keras.
Pertanyaannya, mengapa patronase politik masih sangat
kukuh mencengkeram dunia politik di Indonesia? Padahal, praktik demokrasi
selama lebih kurang 16 tahun ini berhasil memilih ribuan wakil rakyat di
tingkat pusat dan daerah, serta presiden/wakil presiden. Bahkan, pilkada
langsung sampai sekarang telah dilakukan hampir 1.200 kali! Mengapa?
Mungkin salah satu jawabannya adalah konsep kekuasaan
budaya Jawa yang diinterpretasikan oleh Benedict Anderson, ”The Idea of Power in Javanese Culture”,
dalam Claire Holt (ed), Culture and
Politics in Indonesia (1972). Ia membuat distingsi diko- tomik antara
konsep kekuasaan Barat dan Jawa. Menurut dia, konsep kekuasaan Barat adalah
abstraksi yang dideduksi dari relasi sosial yang mempunyai sumber beragam,
seperti teknologi, kemampuan ekonomi, kesejahteraan, sehingga akumulasi
kekuasaan dapat tidak terbatas. Konsep kekuasaan Jawa bersifat konkret,
homogen, dan tetap. Kekuasaan berasal dari sumber yang sama dan tidak dapat
dibagi-bagi, hanya dapat berpindah dari seseorang kepada orang lain melalui
ritual mendapatkan wahyu.
Besarnya kekuasaan juga dapat dilihat dari tingkat
fertilitas penguasa. Semakin subur seseorang, semakin besar kekuasaannya. Ia
menjadi penjamin kesuburan tanah, kemakmuran masyarakat, dan vitalitas
melakukan ekspansi atau memperluas wilayah negara. Maka, menurunnya kemampuan
aktivitas seksual dianggap mulai pudarnya kekuasaan. Terdapat hubungan erat
antara seksualitas dan kekuasaan. Kejantanan menjadi salah satu ukuran
kekuasaan.
Oleh sebab itu, Anderson menginterpretasikan Monumen
Nasional (Monas) adalah perwujudan dari lingga sebagai lambang tegaknya
kekuasaan. Untuk memperkuat argumentasinya, Anderson mengutip cerita rakyat
tentang wafatnya Amangkurat II (1703). Ahli warisnya bukan Amangkurat III,
melainkan Pangeran Puger yang memihak Belanda. Kisahnya, ketika Pangeran
Puger melayat, hanya dia yang dapat melihat di ujung kelelakian (lingga)
kakaknya (Amangkurat II) terlihat sinar sebesar biji merica. Tidak seorang
pun mampu melihat fenomena tersebut selain dia. Ia menelan sinar itu dan
kemudian lingga yang semula tegak menjadi lembek. Itu pertanda, wahyu
kekuasaan telah pindah dari Amangkurat II kepada Pangeran Puger.
Politik patronase adalah kuasa lingga. Ia telah merajah
negara. Perlawanan hanya dapat dilakukan dengan peradaban baru yang
memuliakan kekuasaan. Karena itu, revolusi mental jangan hanya menjadi
retorika, tetapi harus menjadi agenda politik yang nyata sehingga
menghasilkan tatanan kekuasaan yang menghargai martabat manusia sekaligus
memuliakan warisan nilai-nilai budaya yang merawat keharmonisan kehidupan
bersama.
Bagi Jokowi,
saat ini adalah moment of truth untuk menentukan pilihan: menyerah kepada
kendali patronase politik atau tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat.
Pilihan pertama, ia tetap menjadi presiden, tetapi hanya diperlakukan sebagai
”boneka politik”. Pilihan kedua, berjuang habis-habisan bersama rakyat mengukir
Indonesia yang maju, adil makmur, dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar