Mantra
Sihir Menjadi Guru Profesional
Jejen Musfah ; Dosen
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2015
Pada 2015 ini pemerintah akan menghapus sertifikasi guru
melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dan akan menggantikannya
dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sebelumnya
sertifikasi guru dilakukan melalui PLPG dan/atau PPG. Setelah mengikuti PLPG
atau PPG dan dinyatakan lulus, guru akan mendapatkan sertifikat guru
profesional. Sertifikat itu bukti tertulis bahwa ia kompeten dalam mengajar
dan mendidik. Benarkah setelah mendapatkan selembar sertifikat pendidik, guru
yang tadinya dianggap tidak profesional menjadi profesional? Jawabannya jelas
tidak.
Sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali pelatihan tidak
akan menjadikan guru profesional. Menjadi guru profesional bukan proses
sebentar–seperti program PLPG dan PPG, melainkan membutuhkan proses yang
panjang dan penuh perjuangan tanpa henti. Kompetensi guru berkaitan dengan
kecerdasan, pendidikan, dan pengalaman guru.
PLPG dan PPG bertujuan meningkatkan kompetensi guru.
Namun, apakah pelaksanaan keduanya sudah sesuai prosedur standar dan harapan?
Tidak semua LPTK mengasramakan peserta PPG karena tidak punya asrama. PLPG
juga tidak luput dari kekurangan. Proses transfer pengetahuan, keterampilan,
dan sikap tidak akan berhasil jika suasana pelatihan tidak nyaman–baik saat
pelatihan maupun di luar pelatihan.
Faktor penghambat efektivitas pelatihan tersebut seperti
waktu yang padat (dari pagi hingga malam hari), ruang kelas yang tidak
nyaman, makanan, dosen yang tidak kompeten, dan tempat menginap yang tidak
layak. Aspek-aspek ini sangat bergantung pada LPTK pelaksana PLPG.
Apakah mereka mau menyediakan fasilitas yang terbaik bagi
guru agar nyaman selama pelatihan atau mengambil keuntungan materi dari
“perahu”– meminjam istilah seorang teman dosen–bernama PLPG? Jika panitia
(LPTK) memilih keuntungan materi, yang terjadi adalah pengabaian mutu. Seolah
membenarkan fakta selama ini bahwa budaya mutu lembaga pendidikan kita sangat
lemah.
Maka itu, komplain berkali-kali dari peserta dan dosen
setiap pelatihan hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Sebagaipelatihanyangmengukur kompetensi guru, hampir semua peserta PLPG
lulus– untuk tidak mengatakan 100%. Padahal kompetensi awal peserta pasti
sangat beragam.
Kelulusan jelas tidak menunjukkan kompetensi yang
sesungguhnya. Ini karena penilaian dosen atau pelatih tidak hanya menggunakan
standar objektivitas, tapi juga subjektivitas seperti belas kasihan. Ini
bentuk dukungan dosen kepada guru terhadap kebijakan pemerintah yang belum
tentu 100% benar.
Pelatihan guru melalui PLPG oke, tapi lulus PLPG sebagai
syarat menerima tunjangan profesi no. Faktanya, banyak guru yang gajinya
lebih rendah dari buruh, padahal ia kompeten. Maka itu, sebaiknya pemerintah
memberikan tunjangan profesi kepada semua guru terutama guru honorer dan guru
swasta yang gajinya jauh dari standar minimal gaji guru PNS.
Penguatan Lembaga
Pertanyaannya, program apa setelah guru memperoleh
sertifikat guru? Pertama, perkuat dan kembangkan lembaga pusat pelatihan
guru. Guru mata pelajaran umum atau di bawah Kemendikbud dilatih di Pusat
Pelatihan dan Pengembangan Pendidik dan Kependidikan (P4TK) dan Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP).
Dua lembaga tersebut sangat perlu dikembangkan agar bisa
menjangkau guru yang belum pernah mendapatkan pelatihan. Lembaga ini juga
penting karena diperlukan lembaga kredibel untuk melatih guru secara
profesional, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pelatihan.
Lembaga ini bahkan memiliki penginapan dan ruang kelas
memadai yang akan sangat memengaruhi kenyamanan peserta selama pelatihan.
Khusus untuk guru agama dan guru mata pelajaran dalamrumpunPAI(BahasaArab,
Akidah Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam) di bawah Kemenag,
mendesak didirikan lembaga pelatihan yang bertugas mengembangkan kompetensi
mereka. Hanya dengan cara ini, prinsip keadilan bagi guru bisa ditegakkan.
Guru membutuhkan model pelatihan berjenjang, dari dasar,
menengah, hingga lanjutan. Pelatihan guru sebaiknya bukan hanya diinisiasi
dan didanai oleh pemerintah pusat, tapi juga oleh pemerintah daerah, dan
sekolah. Kedua, pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru
mata pelajaran (MGMP).
Dinas Pendidikan mengembangkan dan melibatkan KKG dan MGMP
dalam program kependidikan di kota dan provinsi masing-masing. KKG dan MGMP
bekerja sama dengan LPTK terdekat untuk pengembangan pendidikan. Dua organisasi
guru tersebut sumber data tentang kondisi sekolah yang otentik sehingga bisa
dimanfaatkan untuk bahan diskusi, seminar, workshop, penelitian, bahkan
pengambilan kebijakan untuk pengembangan pendidikan.
Sangat disayangkan bahwa kerja sama antara sekolah dan
organisasi tersebut dengan LPTK tidak terjalin maksimal. LPTK mengirim
mahasiswa untuk praktik mengajar di sekolah setiap semester. Tidak sebatas
ini, mestinya LPTK dan sekolah melakukan kegiatan bersama untuk pengembangan
keilmuan bidang pendidikan dan pengajaran. Ia bisa berupa seminar, workshop,
atau penelitian.
Ketiga, benahi LPTK. Sudah saatnya sistem perekrutan calon
guru diubah. Mahasiswa calon guru harus diseleksi kemampuan bahasa asing
(Inggris untuk guru umum dan Arab untuk guru khusus [agama]), prestasi
akademik dan nonakademik, dan bakatnya menjadi guru. Penerimaan jumlah
mahasiswa LPTK harus dibatasi sesuai kebutuhan.
Kita tahu lulusan LPTK lebih banyak dibandingkan dengan
kebutuhan guru. Buat apa menerima banyak mahasiswa calon guru jika akhirnya
kita tahu bahwa mereka akan bekerja selain menjadi guru. Jika secara yuridis
tertulis bahwa PPG dibiayai oleh pemerintah dan berasrama, perlu
dipertimbangkan kemungkinan pendidikan guru sejak di LPTK didesain seperti
PPG. Pendidikan di LPTK dan PPG dibiayai pemerintah dan berasrama. Artinya,
pendidikan calon guru adalah ikatan dinas.
Pembangunan asrama di setiap LPTK penyelenggara PPG sesuai
amanah undang-undang guru dan dosen (No 14/2005) harus segera dimulai. Dampak
kebijakan ini akan terasa lima hingga 10 tahun ke depan. Perbaikan selalu
dimulai dari langkah awal dan niat yang baik. Maka itu, tidak ada alasan
menunda sesuatu yang baik bagi dunia pendidikan. Bukankah pendidikan adalah
kunci kemajuan bangsa.
Guru merupakan kunci utama mutu pendidikan suatu bangsa.
Saya kira bangsa besar adalah bangsa yang menyiapkan gurunya dengan baik dan
menempatkan mereka dalam posisi yang terhormat. Dengan demikian, tidak ada
istilah simsalabim sebagai mantra sihir untuk menyulap orang menjadi guru profesional
dalam sembilan hari atau tiga minggu pelatihan.
Menjadi guru profesional adalah proses tak berkesudahan,
di mana guru tidak boleh berhenti belajar; membaca dan praktik. Tugas
pemerintah dan sekolah adalah menyediakan lingkungan yang nyaman bagi guru
untuk melahirkan karya kreatif dan inovatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar